Bila ada pertanyaan untuk memilih bekerja WFH (Work From Home), yaitu mengajar anak didik secara daring (dalam jaringan) atau secara online ataukah WFO (Work From Office), yakni mengajar secara langsung atau pembelajaran tatap muka?
Bagi seorang guru dengan status Aparatur Sipil Negeri (ASN), PPPK atau honorer, jawaban mereka bisa jadi akan beragam tergantung pada kepribadian individu guru itu sendiri.
Namun sebaliknya, jika pertanyaan itu diberikan kepada anak didik secara keseluruhan, jawaban mereka bisa dipastikan akan homogen.
Sekiranya bisa diduga dan dikira, jawaban semua murid pastilah lebih memilih untuk belajar dalam jaringan atau online. Alasannya? Mungkin saja, mereka merasa merdeka belajar dan bebas tidak terikat aturan sekolah dengan segudang tugas di rumah.Â
Dalam hal ini, Para guru juga secara tidak langsung, bisa disebut pegawai yang bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH). Itu untuk penyempitan definisi sederhananya bagi guru yang mengajar anak didik
Apakah faktor usia guru juga ada pengaruhnya untuk memilih WFH atau WFO?
Beberapa orang di masyarakat pada umumnya berasumsi bahwa mereka yang masuk dalam para pekerja dengan kategori untuk istilah 'kawula muda' lebih cenderung untuk memilih bekerja dari rumah (WFH).
Sedangkan, bagi mereka yang ada dalam lingkaran 'Sudah Tua', dianggap menyukai Work From Office (WFO) atau bekerja dari kantor.
Hasil survei IBM yang dirilis oleh Business Insider, sebagaimana dikutip dari tempo.co.id, (06/05/2020), melaporkan bahwa 54 persen pekerja lebih suka bekerja dari jarak jauh.
Survei ini dilakukan kepada 25.000 orang dewasa Amerika Serikat selama April 2020 untuk mencari tahu bagaimana Covid-19 telah mengubah perspektif tentang trend dalam bekerja.
Hasil survei IBM lanjutan, sebanyak 75 persen mengatakan mereka ingin terus bekerja dari rumah. Sementara, 40 persen responden mengatakan mereka menuntut manajemen tempat bekerja harus memberi karyawan pilihan untuk sistem kerja jarak jauh atau bekerja dari kantor.
Bagaimana dengan dunia pendidikan?
Sebelum ada keputusan akan pencabutan status PPKM dari pemerintah pada dunia bisnis, sosial, perdagangan atau ekonomi, dunia pendidikan sudah melakukan pembelajaran tatap muka penuh pada awal ajaran baru. Tepatnya pada pertengahan bulan Juli 2022 dengan tetap memperhatikan Prosedur Kesehatan (ProKes) selama kegiatan belajar mengajar di lingkungan sekolah.
Itu artinya, semua bapak dan ibu guru serta tenaga kependidikan lainnya secara otomatis, setiap harinya sudah terbiasa bekerja dengan sistem Work From Office (WFO).
Banyak faktor yang menjadi pertimbangan kenapa dunia pendidikan bergerak lebih awal dan berani untuk meyakinkan semua stakeholders-nya untuk segera melaksanakan proses pendidikan tatap muka penuh meskipun pandemi Covid-19 masih dianggap belum reda di masyarakat.
Faktor tersebut adalah:
1. Loss Education, yaitu kerugian akan kualitas sumber daya manusia yang semakin rendah akibat terganggunya transfer of knowledge pada anak didik karena pandemi.
2. Charaters Changing, adalah adanya perubahan pada anak didik selama pembelajaran online. Murid cenderung sulit terawasi oleh para guru, bahkan orangtuanya sendiri selama proses masa proses pengembangan kognitif, keterampilan dan afektifnya.
3. Lost Generation. Pemerintah ketakutan bila kualitas pendidikan tidak diprioritaskan setelah dunia kesehatan, negara akan dalam ambang kehancuran karena ada generasi yang hilang atau terputus dalam estafet pembangunan bangsa.
Ketiga faktor utama di atas merupakan dasar kuat kenapa dunia pendidikan tetap melaksanakan Work From Office (WFO) lebih awal. Bahkan Mas Nadiem Makarim, Mendikbud Ristek, menerbitkan kurikulum darurat demi pembelajaran tetap berlangsung untuk mengatasi hal tersebut.
Memang tidak dipungkiri, selama pertengahan tahun 2020 setelah pandemi Covid-19 merebak ke seluruh penjuru dunia dan awal tahun 2022, semua kegiatan pembelajaran dilakukan secara dalam jaringan. Kemudian ada tatap muka 50% di sekolah secara sistem shift (bergantian) dengan hari masuk sekolah bergiliran bagi murid.
Hasilnya bisa ditebak. Semua kemampuan kognitif, keterampilan dan afektif anak didik menutun drastis. Juga, sulit mengukur hasil evaluasi anak didik akan penguasaan materi yang disampaikan. Semua menjadi Unreliable dan Invalid.
Perlu diketahui bahwa spirit of learning anak itu berkembang sesuai dengan usia, lingkungan, motivasi diri, peranan orang tua dan tingkat kecerdasan pada setiap individunya.
Saat metode inquiry and self discovery learning (kemampuan untuk menemukan dan menggali kemampuan belajar mandiri) belum muncul pada banyak murid.
Di sinilah letak akar permasalahan pendidikan di semua negara berkembang di banyak penjuru dunia. Bagi negara maju, pendidikan anak-anak adalah kebutuhan primer.
Mencermati semua permasalahan di dunia pendidikan di atas, baik sebelum atau setelah pandemi Covid-19, mereka yang merasa dirinya sebagai guru sejati tanpa melihat usia, fisik atau bebannya, pastilah mereka semua akan siap dan tetap memilih Work From Office (WFO) dengan segala resikonya.
***
"Berapa jumlah guru yang tersisa?" Itulah pertanyaan Kaisar Jepang saat kalah dalam perang dunia kedua.
Karena beliau tahu, bahwa Jepang akan bisa bangkit lagi melalui pendidikan dan para guru adalah sebagai ujung tombaknya demi mengantarkan anak didiknya dalam mewujudkan cita-cita di masa depan mereka untuk membangun sebuah negara menjadi maju.Â
***
Saat ini kita ketahui bersama bahwa hal itu telah terbukti, kan!!?
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H