Di saat ada jadwal kosong di akhir pekan selepas mendampingi para pelajar Indonesia yang menjadi perwakilan delegasi lomba RoboFest Internasional di Universitas Okayama, saya menyempatkan waktu untuk pergi ke kuil Fushimi-Inari di Kyoto Jepang.
Kuil kuno tempat sembahyang orang Jepang dengan agamanya, Shinto, membuat mata saya tertuju pada satu altar di mana banyak para pengunjung dan khususnya orang Jepang sedang berdoa dan setelah itu meletakkan origami berupa replika dari burung bangau.
Ingatan saya langsung kembali di awal tahun 2000 an pada saat menjadi mahasiswa di Fakultas Pendidikan Universitas Nagasaki yang terletak di pulau Kyushu, yaitu pulau besar di paling selatan Jepang.
Jika akhir pekan, entah mengapa, saya selalu mengunjungi Museum Bom Atom yang lokasinya di belakang kampus ini. Hanya membutuhkan waktu 10 menit dengan berjalan kaki ke tempat itu. Juga, di sebelahnya ada Heiwa Koen (Taman Perdamaian).
Rasanya sudah lebih dari 5 kali, saya berkunjung, belum juga tuntas dalam mengambil dan memahami serta merenungkan setiap detil penjelasan dari puing-puing atau benda bersejarah yang menjadi saksi bisu akan dampak mengerikan dari Bom Atom setelah dijatuhkan di Kota Nagasaki tersebut pada tanggal 8 Agustus 1945. Korban mencapai 100 ribu orang, termasuk juga mereka yang setelah sekian bulan sakit kanker karena radiasi.
Di sekitar Heiwa Koen tadi, serta area Hypocenter (titik tempat jatuhnya bom), banyak sekali saya lihat lipatan origami burung bangau warna-warni tertata rapi.
Saya jadi ingat buku yang saya beli saat berada di Museum Bom Atom Nagasaki dan berkisah tentang kehidupan sebelum dan setelah bom atom dijatuhkan. Sungguh mengerikan dan hampir tidak sanggup melihatnya.
Hal itu membuat saya berkeinginan kuat untuk pergi ke Kota Hiroshima dan ingin mengunjungi Museum Bom Atom di Kota itu. Perlu diketahui, Hiroshima, pada tanggal 6 Agustus 1945 adalah kota pertama kali di dunia yang pernah dijatuhi bom atom.
Doa saya terkabul, dan pada musim dingin saat liburan kampus, berbekal Ryugakusei Kippu (Tiket murah terusan pergi pulang selama liburan bagi pelajar asing), saya pun rela berdingin ria menghabiskan waktu untuk mengeksplorasi Taman perdamaian dan Museum Bom Atom di Hiroshima.
Di kota ini, korban hampir mencapai 150 ribu jiwa. Hal itu karena topografi kota Hiroshima yang datar dan luas. ( Hiro berarti luas, dan Shima, berarti pulau).
Ada kisah yang menyedihkan dari dampak bom atom yang meledak, yaitu tentang sosok gadis kecil bernama Sadako Sasaki. Dia juga salah satu korban yang terpapar radiasi sehingga menderita sakit kanker.
Setiap hari, meskipun dalam kondisi sakit, dia berusaha membuat origami burung bangau dari kertas bekas seadanya. Sadako percaya bahwa dia akan bisa sembuh dari penderitaannya bila bisa membuat origami itu sejumlah seribu burung bangau.
Namun sayang, jari tangannya sudah tidak berdaya dalam melipat kertas untuk mewujudkan doanya agar segera sembuh. Belum lagi kulitnya yang hangus, hitam dan melepuh serta perlahan mulai membusuk juga mengelupas karena panas (heat) dari efek ledakan bom atom.Â
Setiap hari, banyak sahabatnya, bahkan orang Jepang lainnya yang tidak kenal sekalipun setelah mengetahui akan hal itu, mereka segera beramai-ramai membantu Sadako untuk membuatkan origami burung bangau agar bisa genap seribu.
Mereka semua juga mendoakan Sadako agar bisa sembuh dari sakitnya. Namun, sayang sekali, belum juga genap bisa merampungkan origami burung bangau tersebut, ajal keburu menjemput Sadako Sasaki, pada akhir tahun 1945.Â
Sejak itu, entah mulai kapan pastinya, setiap berdoa di kuil untuk bersembahyang, orang Jepang akan selalu menyematkan origami burung bangau sebanyak mungkin dengan menggantungkannya di seutas benang sampai sekarang ini dengan harapan tercipta adanya perdamaian di seluruh dunia.
Arigatou Gozaimasu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H