Pesta malam pergantian tahun baru 2023 yang dirayakan oleh semua warga negara di belahan bumi ini sepertinya menyisakan euforia (Euphoria) pada setiap individu baik dari ras bangsa, suku, agama, dan  komunitas apapun. Tidak peduli anak-anak, orang tua, remaja dari semua gender.
Bagaimana tidak? Euforia yang muncul pada pekan terakhir pada bulan Desember, diawali dengan libur akhir semester ganjil bagi anak sekolah, kemudian ditambah dengan perayaan Hari Natal bagi umat nasrani, dan klimaksnya ditutup dengan perayaan malam pergantian tahun.
Ada letupan emosi yang tidak disadari oleh setiap individu yang mengalami perasaan euforia tersebut. Namun, harus dipahami bahwa euforia itu bisa berdampak positif dan bisa juga negatif tergantung dari kemampuan setiap individu dalam mengelola hormon Dhopamin yang mengalir dalam tubuh dan membuat mereka merasa bahagia.
Euforia yang dimaksud di artikel adalah perasaan senang yang ekstrem saat  muncul dalam diri seseorang akibat  pengaruh dari luar karena adanya peristiwa, pujian, jatuh cinta, dan masih banyak lagi dalam genre yang berbeda-beda.
Sebagai misal, lulus ujian sekolah, dua orang yang sedang jatuh cinta, menang dalam event olahraga, mendapat hadiah, menang lotre, atau mendapat amanah jabatan. Bayangkan saja, euforia ini bisa dialami pada mereka yang menjalani, bisa juga pada mereka yang menonton. Saat tim sepakbola favorit Anda menang, misalnya  dalam event Piala Dunia di Qatar beberapa pekan lalu, Anda sebagai penonton juga merasakannya, kan?!
Hal yang perlu diwaspadai adalah, saat hilangnya euforia dalam diri kita seiring berjalannya waktu, harus ada kemampuan untuk mengontrol perasaan pada diri kita semua. Kenapa, suami istri, sepasang kekasih atau lainnya, pada waktu jatuh cinta dengan euforia positif, berubah menjadi kasus euforia negatif hingga terjadi kasus pembunuhan yang menyedihkan bagi mereka.
Lagi, saat tim sepakbola unggulan kita menang, luapan euforia seperti bersifat menular dengan selebrasi yang spektakuler dalam merayakannya. Namun, Saat kalah, euforia kebalikkannya, akan menimbulkan kerusuhan di mana-mana.Â
Ambil saja contoh saat ratusan orang menjadi korban dalam peristiwa di Kanjuruhan, Malang baru-baru ini. Juga, contoh dari selebrasi kelulusan anak sekolah. Mulai dari corat-coret baju, konvoi sepedamotor dan tawuran di jalan.
Pada prinsipnya, euforia itu bersifat positif, namun apabila tidak bisa mengontrolnya, akan menimbulkan dampak negatif yang merusak bagi diri setiap individu, juga bagi mereka di sekitarnya.
Dalam budaya masyarakat Jawa, mereka yang mengalami euforia, sebaiknya tidak diperkenankan untuk berbicara atau bertindak. Euforia dari emosi muncul berupa "kebahagiaan" atau "kesedihan" sebagai kebalikkannya, dalam memberikan sambutan, pastilah tuan rumah atau orang yang punya hajat, akan diwakili oleh sodara, orang yang lebih tua, tokoh adat atau pemuka agama. Hal itu semata-mata demi menjaga kerusakan yang tidak perlu terjadi akibat perasaan euforia yang dianggap akan mengganggu "kemampuan bernalar dan berlogika".
Saat ini, saya  juga sedang menebak-nebak, apakah anak didik akan mengalami euforia saat harus masuk sekolah kembali di awal Januari 2023, setelah mereka mendapatkan liburan dua pekan?  Saya yakin semua akan mendapatkannya, hanya saja, saya tidak berani berspekulasi akan euforia mereka itu berupa kebahagiaan atau kebalikkannya. Mereka sendiri yang mengetahuinya.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H