Sudah sejak kecil saya diberi tahu bahwa puasa Ramadhan adalah untuk Tuhan. Dan Tuhanlah yang akan langsung memberikan nilai pahalanya. Dan berbagai kemudahan, diberikan Tuhan selama bulan Ramadhan. Mulai dari semua pintu sorga dibuka, pintu neraka ditutup, setan dibelenggu, segala kebaikan dicatat sekian kali lipat dan segala keburukan tidak dicatat malaikat. Dan masih banyak kemudahan lainnya.
Tapi meski begitu agung dan indahnya kemudahan yang diberikan Tuhan pada bulan Ramadhan, namun siapa yang tidak melakukannya maka dia akan berdosa. Apa sebab? Karena puasa adalah rukun Islam yang ketiga. Wajib hukumnya. Meninggalkannya berarti tidak lagi Islam secara syariat.
Semua itu saya aminkan dengan perasaan tunduk takjub. Tapi kini, setelah saya hampir mati, saya sudah bosan mendengarnya. Kenapa?
Obral Tuhan terlalu kampungan. Cocok untuk anak-anak tapi memualkan bagi saya. Kenapa memualkan? Karena tak ada pesan mendidik dalam semua itu. Kecuali hanya memupuk mentalitas pamrih. Pamrih sosial dan pamrih pada Tuhan imajiner.
Jika semua itu disebut firman Tuhan, pertanyaan pertama saya adalah benarkah itu kata Tuhan? Jika dijawab iya, maka saya tidak percaya Tuhan yang suka obral dan mengancam seperti itu. Tapi jika dijawab tidak, maka pertanyaan saya adalah, siapa penipu sejarahnya? Hingga dunia tertidur lelap dalam kebodohan yang panjang? Yang mereka sebut semua itu dengan iman?
Saya tidak anti puasa. Bahkan sangat memuja puasa. Karena secara kesehatan, terbukti puasa sangat bagus untuk organ-organ mekanisme tubuh. Dan secara psikologis, puasa juga bagus untuk menempa stabilitas emosional. Tapi semua ini bagi saya adalah mekanisme hukum alamiah tubuh. Tidak perlu saya melakukannya atas nama Tuhan pun sepanjang saya jalani dengan khidmat, maka refleks hasilnya akan didapat. Dengan kata lain, puasa, bagi saya adalah sebuah terapi kesehatan. Kesehatan fisik dan psikologis.
Jadi karena itulah saya tidak akan puasa demi Tuhan. Saya hanya akan puasa atas kemauan saya sendiri karena ingin meraih khasiat kesehatan dan psikologis. Saya puasa karena ingin terampil melenturkan diri dengan segala kondisi real yang saya hadapi. Ingin latihan menerima diri apa adanya. Walau situsi kongrit saya akan hina dan hanya sanggup makan tanah.
Puasa demi Tuhan, agar selamat dari ancaman dosa karena meninggalkan rukun Islam, puasa agar dapat pahala, puasa agar dunia tahu bahwa saya mengamalkan ajaran agama, dan seterusnya, bagi saya hanya pekerjaan kekanak-kanakan. Dan terbukti, bertahun-tahun saya puasa seperti itu tidak ada hasilnya. Tidak ada perubahan pada sikap, cakrawala hidup apalagi pada perbuatan saya. Kenapa?