Mohon tunggu...
Arya Ardiyanto
Arya Ardiyanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Taruna

Nama saya, Arya Ardiyanto, saya berumur 18 tahun, saya tinggal di Banyumas Jawa Tengah, hobi saya adalah menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Indonesia Emas 2045 tapi Sekarang Masih Korupsi, Mungkinkan Terjadi?

19 Januari 2024   21:59 Diperbarui: 19 Januari 2024   21:59 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rabu (17/01/2024) kemarin, Komisi Pemberantasan Korupsi menyelenggarakan acara dialog Paku Integritas KPK dengan mengundang tiga calon presiden dan wakil presiden Indonesia 2024-2029 bertempat di Gedung Merah Putih KPK. Acara yang telah terselenggara sejak 2021 ini merupakan wujud komitmen para calon pemimpin dalam hal pemberantasan korupsi [1]. Ketiganya berorasi seputar komitmennya dalam pemberantasan korupsi, tawaran solusinya pun beragam mulai dari mengembalikan 'kewibawaan' KPK, menaikan gaji aparatur pemerintahan, hingga penguatan LHKPN dengan melibatkan semua pihak.

Isu korupsi merupakan sebuah isu krusial yang menjadi perhatian para capres-cawapres. Dasarnya bahwa Indonesia masih 'dihantui' permasalahan korupsi hampir di semua lini kehidupan. Survei yang dirilis Transparency International melaporkan hasil CPI (Corruption Prespection Index) Indonesia mengalami penurunan sebanyak 4 poin pada 2022, termasuk penurunan paling drastis [2]. Sementara ICW (Indonesian Corruption Watch) melaporkan Indonesia diperingkat pertama negara korupsi se-Asia Tengara dan dunia [3]. Pantaslah jika isu pemberantasan korupsi mencuat dan menjadi 'sajian' kepada khalayak oleh masing-masing calon pemimpin.

Namun sebuah pertanyaan besar muncul di tengah isu korupsi, yakni terkait mimpi Indonesia menjadi negara maju atau visi Indonesia Emas 2045 dengan bonus demografi yang tinggi. Mampukah Indonesia mencapai tujuan mulia tersebut dengan bermodal peringkat pertama angka korupsi di dunia?

Mengurai Korupsi dalam Lintasan Waktu
Kejahatan korupsi di Indonesia ibaratkan sebagai warisan haram yang tidak memiliki surat wasiat. Korupsi telah menjadi budaya buruk masyarakat Indonesia bahkan sejak masa kerajaan dan terus 'dilestarikan' hingga sekarang. Di balik keuntuhan Majapahit dan Sriwijaya ada budaya korup yang didukung oleh sistem kekuasaan feodalisme, seperti 'pemotongan' pajak upeti, baik oleh lurah, tumenggung, maupun abdi dalem sekalipun [4].

Mengetahui mentalitas pejabat Indonesia yang begitu korup dimanfaatkan oleh Belanda dalam melanggengkan kekuasaan di Indonesia. Melalui politik adu domba mereka berhasil menancapkan pengaruh di Indonesia, hingga mengeruk kekayaannya untuk negara induk. Para penguasa feodal yang cenderung mementingkan kepentingan pribadi dan keluarganya sekaligus terpedaya dengan 'nyaman'-nya kursi istana terus menerus bekerja sama dengan kolonial, tanpa memikirkan nasib rakyat-rakyatnya.

Sementara di kalangan pejabat rendah (sebut saja: lurah, demang, tumenggung, dan sebagainya) juga memainkan praktik korup dengan memotong upeti atau gaji pegawai pribumi, sehingga gaji yang sampai pada pekerja pribumi telah dipotong atau 'ditilap' berkali-kali, bahkan ada yang tidak sampai pada mereka. Misalnya saja sewaktu pengerjaan jalan Anyer-Panarukan oleh Daendels, begitu banyak gaji yang 'ditilap' oleh para pejabat feodal. Dampaknya pekerja pribumi mengalami kelaparan, kematian, juga telah mencoretkan narasi bahwa pemerintah kolonial melakukan kerja paksa dalam sejarah Indonesia [5].

Sementara di zaman orde lama mulai dibentuk aturan-aturan perundanagan serta badan anti korupsi guna menyelesaikan persoalan korupsi. Kala itu korupsi memang sudah mengakar luas [6]. Hingga PARAN (Panitia Retooling Aparatur Negara) sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi oleh pejabat negara, dengan AH. Nasution sebagai ketua pun belum berhasil sepenuhnya menumpas korupsi.

Menyusul masa Orde Baru yang kental dalam ingatan akan kejatuhannya akibat KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), memperburuk sejarah kelam bangsa Indonesia yang dipenuhi budaya korup. Apalagi reformasi yang digalakan bukan malah memperbaiki sistem birokrasi yang ada di masa Orde Baru, justru malah menambah 'luka' atas birokrasi dengan meledaknya tindak korupsi sepanjang masa pemerintahan. Bahkan tidak hanya berpusat pada pimpinan tertinggi, korupsi sampai pada tingkat pemerintahan yang paling rendah sekalipun. Kebijakan desentralisasi (otonomi daerah) misalnya, memang menjadi jurus jitu dalam pemerataan pembangunan, tetapi ia juga menjadi 'sarang' budaya korupsi.

Indonesia Emas 2045 dan Korupsi
Indonesia Emas 2045 kerap menjadi perbincangan ramai di kalangan masyarakat Indonesia, ia adalah sebuah cita-cita dan visi Indonesia yang lepas dari kriteria negara berkembang menuju negara maju. Memang banyak indikator yang mempengaruhi terwujudnya tujuan mulia tersebut. Suharso Manoafa (Menteri PPN/Kepala Bappenas) pada acara peluncuran Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional/RPJPN (15/06/2023) lalu menyampaikan adanya delapan agenda pembangunan serta 17 arah pembangunan, sesuai konteks SDGs (Suistainable Development Goals). Masalah kemiskinan, ketimpangan, kesehatan, dan lingkungan misalnya menjadi permasalahan krusial yang harus segera ditangani guna mewujudkan Indonesia Emas 2045 [7].

Permasalahan korupsi adalah kunci utama dalam menjawab pertanyaan mampukah Indonesia mencapai Indonesia Emas 2045. Nyatanya, korupsi telah mencederai hak-hak warga negara Indonesia, korupsi berdampak luas pada segala sektor bidang kehidupan. Kemiskinan dan ganguan kesehatan adalah salah dua dari dampak yang ditimbulkan. Kasus korupsi dana bansos oleh Juliari Peter Batubara selaku Mensos misalnya, menjadi tanda bahwa di tengah keterpurukan bangsa masih ada oknum yang menyelewengkan dana bantuan.

Memberantas korupsi dilakukan pastinya dimulai dengan memilih pemimpin yang anti-korupsi dalam setiap lima tahunnya. Sehingga janji-janji pemberantasan korupsi seakan terus digulirkan setiap pesta lima tahun sekali (bersama kemiskinan dan aspek lainnya), namun tetap saja pemberantasannya tidak kunjung tuntas. Seolah korupsi sudah menjadi 'jualan' para pencari kursi jabatan. Misalnya saja, tahun 2019 kemarin, Jokowi dengan yakin akan memberantas korupsi dan tampil sebagai garda terdepan dalam upaya pemberantasan korupsi. Namun upaya itu seolah gagal dengan laporan CPI yang turun di tahun 2022, bahkan sepanjang sejarah. Belum lagi masalah isu pelemahan KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi. Lantas apakah upaya pemberantasan korupsi hanya dijadikan citra dalam ajang pesta demokrasi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun