Apa yang terpikir di otak saat ada kata “POLITIK” terdengar ditelinga kita? Seketika ter-ingat akan suatu kaedah ilmu atau suatu perebutan kekuasaan? Atau kedua-duanya ? Beberapa saat kedepan, masyarakat Indonesia akan dihadapkan pada Pemilu untuk memilih pemimpin Negara kita. Apa yang akan kita lakukan saat itu? Menjadi pemilih aktif, pasif (ikut-ikutan) atau abstain (golput)?
Bagi saya pribadi, saat pemilihan Kepala Daerah beberapa waktu lalu, hampir dipastikan saya seakan-akan menjadi pemilih kucing dalam karung. Tentu saja banyak yang faham akan istilah ini. Nyaring suara kucing terdengar, tetapi kita tidak bisa memperkirakan jenis kucing apa yang bersuara tadi. Bisa juga kucing tersebut adalah kucing garong.
Kampanye-kampanye yang kita dengar, spanduk dan gambar para wakil rakyat atau Kepala Daerah yang dicalonkan, dan bahkan sekarang di televisi sudah ada tayangan dari calon Presiden masa depan kita, apakah memberikan pelajaran politik bagi masyarakat? Sepertinya yang terjadi sekarang adalah kemenangan Pemilu dari Partai-Partai dan kontrol kekuasaan menjadi satu-satunya ukuran kesuksesan. Seperti kita ketahui, bahwa Presiden sampai dengan tingkat paling bawah dipilih oleh rakyat, itu berarti ‘seharusnya’ kepentingan umum (Res Republica) harus menjadi prioritas utama daripada kepentingan pribadi atau golongan. Dan saya masih ingat itu ada dalam pelajaran saya dulu sejak SD, bahkan sampai sekarang semua orang saya yakin akan mengatakan kata sepakat untuk klausul tersebut.
Dikatakan dalam bukunya Scott McLellan yang merangkumnya dalam “Kebohongan Di Gedung Putih – Warisan Dosa-dosa Bush Bagi Penggantinya” (saya tidak perlu menceritakan tentang dosa-dosanya George Bush, silahkan baca sendiri), tetapi yang saya sampaikan adalah pelajaran lain yang berkenaan dengan ke-politik-an pemilihan wakil rakyat. Bahwa Pemerintah hanya mengikuti kepentingan politik, sehingga keterbukaan dan kejujuran disingkirkan untuk memenangkan siklus berita. Dan ini menjadi permainan yang permanen dalam dunia politik agar dapat bertahan dalam permainan kekuasaan.
Kampanye tersebut diperburuk oleh media yang mempertajam polarisasi, dimana ditonjolkan konflik, kontroversi, berfokus bukan pada realitas dampak kebijakan namun pada aspek persaingan politiknya. Kampanye dibuat untuk membentuk dan merebut dukungan publik. Karena ada pandangan dalam politik, bahwa tidak penting bagi rakyat bagaimana pemimpin meraih hasil, apakah didukung oleh kalangan luas ataukah sempit, serta apakah dia terbuka dan jujur dalam usahanya, selama program-program yang ditawarkan berhasil dan terbukti sukses. Rakyat cenderung hanya melihat hasil akhir bukan bagaimana cara pemimpin melakukannya. Siapa yang memiliki gagasan dan kebijakan terbaik tidak lagi sepenting siapa yang memenangkan opini publik.
Sebenarnya pelajaran politik apa yang telah tersampaikan kepada masyarakat kita selama ini? Dapatkah para pemimpin menyingkirkan kampanye berlebihan dan politik bumi hangus mereka, dan bekerja bersama memajukan kepentingan rakyat? Sejak kapan seharusnya pembelajaran politik diberikan, sehingga istilah ‘memilih kucing dalam karung’ tersebut tidak terlontarkan? Bukankah seharusnya politik adalah sarana untuk membuat perbedaan positip dalam kehidupan bermasyarakat, dan bukan menjadi persaingan tidak sehat? Tetapi lihatlah sekarang, apa yang terjadi saat pemilihan para wakil rakyat atau pemilihan Kepala Daerah yang terjadi di Negara kita. Silahkan mengamati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H