Mohon tunggu...
Eko Arif Prasetyo
Eko Arif Prasetyo Mohon Tunggu... Freelancer - ingin segera menghamili istriku

Study at Universitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bagong Curhat lewat Orasi

17 Agustus 2013   13:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:12 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Jika kamu memutuskan untuk mendapatkan pasangan atau mengalami getaran bersama seseorang, dan kamu tidak mendapatkan apa yang kamu inginkan, janganlah mengeluh atau ngotot atau merasa kesal pada orang itu agar dia berubah sesuai keinginanmu. Jika kamu menetapkan suatu nilai bagi dirimu sendiri dan tidak menciptakannya, kemudian ubah sajalah realitasmu dan teruslah sendirian sampai bertemu dengan seseorang yang mencerminkan nilaimu", terdengar suara bagong yang lantang dan menggema di tebing-tebing jurang lukik.

"Mbok ya saya dibantu ngarit sini gong, daripada kamu prustasi ndak jelas gitu", petruk nimpali teriakan bagong dengan santai.

"Saya ndak prustasi mas! dan ini jelas-jelas saya sedang berteriak lantang menyeru kepada diri saya sendiri! biar segenap dan seganjil diri saya tetap tegar!", sahut bagong dengan membusung dadanya meski lebih membusung perutnya.

"bilang aja kamu nggak laku di pasaran kaum hawa gong, tapi baguslah kamu nampaknya mulai pandai menghibur diri.", petruk njawab sambil tetep fokus ngarit.

"lho kok gitu mas!", gertak bagong lalu melompat tepat didepan petruk yang masih jongkok nyari rumput.

Petruk terkesiap dan berdiri, memandang menembus sorot mata bagong yang merah menyala.

"saudaraku yang baik hatinya",petruk ambil suara nge-bass.

"super sekali!", bagong spontan menyambar.

"aku, mas gareng, dan romo semar tidak perlu repor-repot nyewa gedung, datangkan katering,  bikin undangan, dan panggilken biduan dari khayangan hanya untuk menghiburmu yang duduk dipelaminan bersama mempelaimu."

"Lha itu namanya ndak adil ! mosok saya ndak boleh nikah!", protes bagong.

"lha itu tadi orasimu bilang apa?", ejek petruk.

"itu.. nganu mas, sebenarnya saya habis ditolak cewek", bagong curhat

"bagus, teruslah sendirian sampai bertemu dengan seseorang yang mencerminkan nilaimu", petruk menirukan kalimat bagong lalu pulang memanggul sekarung rumput.

"woooi, petruk edyan! dengarkan aku! Kita seharusnya menghargai diri sendiri, sehingga kita tidak terpaku untuk sebuah cinta yang menyamar." teriak bagong dengan ludah yang muncrat sampai memenuhi jurang.

langit retak menjingga, terpisah dibarat warna gelap dan terang di timur. senja menghampiri bagong yang tetap berdiri sendakep dan melotot ke arah petruk yang tertawa terpingkal-pingkal sampai air matanya memenuhi jurang sebelah karena orasi terakhir si bagong. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun