Mohon tunggu...
Eko Arif Prasetyo
Eko Arif Prasetyo Mohon Tunggu... Freelancer - ingin segera menghamili istriku

Study at Universitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sakit Rindu

25 November 2014   01:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:57 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kubuka lembaran kesekian dari buku yang hampir tiap detik pasti ada saja orang yang membacanya, entah dimana.

Aku sedang dilanda sesuatu yang sulit kujelaskan, mataku terbelalak, jantungku berdebar, namun pada saat yang sama pula aku ingin tertawa meledak-ledak; lagi-lagi kulihat Cinta.

Tak mampu kutahan oplosan rasa ini, kuberusaha mengendurkan nafas, membuat diri serileks mungkin dan menutup mata. Kusimpan Lagi buku itu. Sedari itu, tak kuperhatikan dari tadi ada seekor kucing yang duduk memandangiku dari balik jendela kamar. Nampak seperti sedang mengamati pertandingan bola, atau sedang menikmati film yang membosankan, kucing itu terus memandangiku sambil duduk diatas pohon mangga disebelah rumah. Kubuka jendela, kulambaikan tangan padanya sambil memanggil namanya, "pus.. pus..".

Seperti seorang aktor laga yang terlatih, kucing berwarna putih dengan ekor hitam itu melompat ke genteng lantai 1; rumahku 2 lantai. Kucing itu tetap diam dan perlahan menghampiriku yang terdiam dijendela kamar dilantai atas.

Sampai didepanku, kucing putih dengan ekor hitamnya itu memancarkan sinar terang dari matanya; Aku silau dibuatnya sampai terasa tubuhku tersedot dalam terowongan kecil, sekecil mata kucing lalu tak sadarkan diri.

***

Aku menjelma deretan huruf, ada begitu banyak aksara disini. Kami saling kenal, memahami satu sama lain, tapi aku tak tau huruf apa diriku. Aku tinggal dikampung perbukuan lusuh, kuno, dan tak terawat saat pertama kali kusadari; aku sebuah aksara. Tapi aku bisa pindah kemanapun, oleh siapapun yang memanggilku. Terkadang sama sesama huruf, kadang juga sama angka. Kadang sendiri, kadang berjibun hingga ganti pasangan berkali-kali sampai bosan. Kadang aku muncul dikertas, kadang di layar komputer, laptop, HP, gadget, bahkan aku sering singgah di pepohonan, bebatuan, bahkan di tembok-tembok.

Pernah suatu saat, itu adalah saat pertama kali aku dimunculkan disebuah tempat antah berantah yang konon ia bernama 'Hati'. Saat itu yang mengutusku bukan dari golongan jari-jemari tangan manusia, tapi semacam sebuah getaran yang aneh, dan aku seperti menaiki 'awan kinton' milik Son Goku, atau seperti seorang anak kecil yang menaiki Roller Coaster tanpa rel. Bergerak perlahan, namun pasti. Terkadang Secepat Cahaya yang pernah dirumuskan Einstein.

Konon, kutahu sang pemilik Hati yang sering memanggilku itu seorang Gadis manis dan elok parasnya perpaduan China dan Jawa. Semakin hari semakin padat jadwalku melintasi hatinya, menuju Otak pun sering dengan mengendarai sesuatu yang ia sebut dengan Rindu, sama seperti namanya. Ya, gadis itu bernama Rindu Pujaningsih. Aku sempat bingung, dengan lalu lintas padatku yang sering dipanggil untuk digabungkan dengan huruf yang lain dan menorehkan sebuah nama ini tak membuatku bosan; justru aku semakin bersemangat karena terasa hangat.

Aku semakin penasaran. Memang, aku adalah huruf, tapi aku buta huruf. Tak mampu membaca, jangankan se-kata, mengeja huruf pun aku tak bisa. Lalu dengan memanfaatkan situasi, ketika aku singgah di Otak, kucoba mengintip sesuatu yang mirip seperti layar tancap dengan Pemeran atau tokoh yang sama tiap kali aku dipanggil. Karena ketatnya penjagaan diwilayah otak gadis ini, aku akhirnya melobi partikel-partikel di otak yang tugasnya menayangkan layar tancap ini.

Akhirnya aku diperbolehkan masuk diruangan itu untuk nonton layar tancep. Dimulai dengan alunan instrument Milik Kenny G yang My Heart Will Go On, aku seakan terseret kesana-kemari namun tetap tak berpindah tempat. Lalu dilayar muncul gambar Punggung seorang pemuda di pinggir Sungai yang sedang melempar batu, lalu membenamkan wajahnya di gemercik air sungai yang memantulkan warna perak menyilaukan. Seperti sedang menjadi seseorang yang melihat pemuda itu rasanya, perlahan gambar ini memberi kesan sedang berjalan mendekat. Semakin dekat, dan perlahan seperti hendak menepuk pundak pemuda berambut gondrong sebahu dengan baju warna merah itu, tapi diurungkan niatnya. Kemudian berbalik arah, menuju barisan tenda yang disekitarnya nampak banyak muda-mudi berlalu lalang, semacam Camping. Tapi sesaat kemudian, terdengar suara yang memanggilnya. "Rindu...! Aku Mencintaimu Rindu! Tapi aku sedang tak Rindu!"

Spontan ia membalikkan badan dan melihat kearah pemuda itu yang ternyata sedang berdiri diatas batu besar dipinggir sungai dengan membentangkan tangan dan menengadahkan wajahnya menantang langit. "Aku Rindu! Dan Aku selalu Rindu, Aku juga Cinta! meski kau atau aku sedang tidak Rindu! Sam!", gadis itu membalas teriakan itu.

Pemuda yang ternyata bernama Sam itu perlahan menoleh dan membalikkan badannya. Saat itu aku yang sedang menonton layar tanyap ini seperti mengenal sorot mata itu, wajah itu, gurat senyum ragu itu. Seketika mata pemuda itu memancarkan cahaya berwarna warni dan menyedotku kedalamnya, secepat kilat aku merasakan hal aneh seperti berputar seperti roda yang menggelinding di lintasan F1 dengan kecepatan maksimum sampai aku tak sadarkan diri, sakit, aku hilang.

***

Dengan mata yang masih terpejam, hidungku mengendus bau yang tak asing lagi, aroma Obat!

Terkejutnya aku dengan mata masih terpejam, merasakan sakit disekujur tubuh. Perlahan kuberanikan diri membuka mata. Kulihat pemandangan yang memang tak asing, ya, aku lagi-lagi masuk Rumah Sakit! "Bu, dimana Rindu?", Kucoba lontarkan tanya pada ibuku yang tertidur duduk dikursi sebelahku, dengan membenamkan wajah dilipatan tangannya dipinggiran kasur tempatku berbaring. Ibu perlahan mengangkat wajahnya, awalnya senyum, mungkin melihat aku sadar. Tapi kemudian raut wajahnya berubah, mungkin mendengar nam Rindu lagi.

"Ah, kamu ini... ", ibu menjawab sekenanya sambil menggigit kuncir rambut dan membenarkan rambutnya, lalu mengikatnya.

"Sudah berapa kali ibu bilang, jangan terlalu memikirkan temanmu yang itu. Kan yang susah ibu, kamu selalu masuk rumah sakit gara-gara Rindu. Entah apa yang membuatmu seperti ini, dulu ibu temukan kamu tak sadarkan diri di kamar mandi..".

"Tapi bu...", aku coba membantah.

"Kemarin, kamu telungkup dijendela dengan kepala diluar, kakimu masih didalam. Untung saja kamu gak jatuh.", sahut ibu dengan memalingkan wajah mencari jam dinding.

"Yasudah, ibu mau Subuhan dulu.", ibu beranjak cepat keluar dari ruangan.

"Ah, memang benar kata bapak dulu, Rindu itu bikin sakit!", gumamku sambil memainkan selang infus disampingku.

***

(bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun