Mohon tunggu...
Ear Ekspresi
Ear Ekspresi Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

Freelancer

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bhinneka Tunggal Ika, Apa Kabarmu?

20 November 2016   19:28 Diperbarui: 20 November 2016   19:33 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Slogan Bhinneka Tunggal Ika, kian berkumandang di seluruh pelosok negeri. Slogan yang terpampang tegas dibawah cengkraman sang Garuda, slogan yang senantiasa di elu-elukan oleh putra-putri Ibu Pertiwi. Bhinneka Tunggal Ika, moto yang digadang-gadang sebagai lambang persatuan bangsa Indonesia, ia adalah simbol meleburnya warna, agama, lidah (logat), dan semangat. Para founding father and mother berkeyakinan bahwa persamaan latar belakang dan sejarah, telah merekatkan bangsa ini sehingga kesatuan dan persatuan adalah sesuatu yang niscaya adanya. Semangat persatuan dan kesatuan itu, melandasi rumusan Pancasila dan UUD 1945. Bahkan format organisasi Negara Indonesia dibentuk menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang kemudian melahirkan slogan “NKRI harga mati”. Bentuk Kesatuan negara kita tidak dapat ditawar-tawar, ia disakralkan dan keramat. Lantas, benarkah masyarakat kita telah terjiwai dengan semangat kesatuan dan persatuan tersebut? ayo kita merenung sejenak, dan lebih jeli melihat kenyataan.

Indonesia adalah negara yang penduduknya sedemikian heterogen, pluraritas masyarakat indonesia teramat kompleks. Keanekaragaman itu meliputi suku, agama, ras, dan adat-istiadat. Masing-masing golongan diatas masih memfragmentasikan dirinya, saling meng-aku-kan dirinya sebagai yang ter-jagoan, ter-sopan, ter-didik, ter-santun, ter-baik dan ter ter lainya yang menyiratkan pengkotakan. Masing masing suku menganggap dirinya sebagai yang paling luhur, paling tua, dan paling benar. Demikian pula dengan agama, atas nama kebenaran tuhan mereka mencerca agama yang lain, memaki keyakinan yang berseberangan dan seterusnya. Sungguh ironi yang luar biasa.

Dikota dan lingkungan yang memilki heterogenitas tinggi, golongan-golongan tersebut saling berbisik merendahkan yang lain, mencerca mereka, memaki gaya hidup mereka, menghakimi kebiasaan mereka, mencela bentuk fisik dan warna kulit, mengolok-olok si rambut keriting atau lurus, dan masih banyak lagi percikan-percikan SARA yang meletup dibawah permukaan.

Saat ini kita tidaklah benar-benar terintegrasi, kebersamaan negara ini hanyalah kebersamaan yang semu, kebersamaan yang dibangun oleh belunggu bentuk negara dan ketakutan. Bahasa, bendera, dan lambang lambang pemersatu hanyalah atribut kenegaraan agar terakui sebagai sebuah negara. Kondisi saat ini tidaklah tereprsentasi oleh lambang-lambang itu, kata timur dan barat masih menggema, sebutan orang hitam, orang coklat, orang putih masih tergiang dipenjuru negeri. Rambut lurus dan keriting masih dipakai sebagai identitas.

Pendatang teralienasi oleh pribumi adalah perkara niscaya di negara ini. Pendatang didiskriminasi dengan segala bentuk alasan yang mengangkat perbedaan diantara mereka. Tak jarang kita melihat tulisan “menerima kost putra atau putri dari salah satu agama”, atau “tidak menerima kost dari orang luar pulau” maupun “tidak menerima kost orang dari salah satu bagian negeri ini”. Pernyataan yang luar biasa diskriminatif tersebut, disaksikan sepintas lalu oleh kita, tanpa disadari bahwa itu adalah pertanda runtuhnya persatuan yang diimpi-impikan. Persatuan yang senantiasa kita elu-elukan dan kita peringati pada hari-hari kebesaranya. Ternyata semuanya semu, semuanya omong kosong, kita hari ini masih melakukan, menikmati, atau setidak-tidaknya membiarkan bentuk-bentuk diskriminasi itu. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa “jauh panggang dari api” untuk mewujudkan persatuan itu.

Tapi atas segala kondisi itu, tidaklah berarti kita harus berputus asa dan menyerah, lalu membiarkan keruntuhan negeri ini dalam lautan darah putra-putrinya. Bukanlah pilihan untuk membiarkan segala ancaman disintegrasi tersebut terus bergulir bagaikan bola salju yang terus membesar kemudian menjadi sebuah gunung yang melulu-lantahkan indahnya mimpi tentang persatuan dan keharmonisan. Tidak seorangpun dari kita mencita-citakan untuk saling meminum darah dari saudara sebangsa.

Bhinneka Tunggal Ika, adalah kalimat suci yang haram untuk dinodai oleh persoalan remeh-temeh yang tentang perbedaan ini dan itu. Sikap yang membeda-bedakan berdasarkan SARA wajib kita kutuk dan kita perangi. Tidak ada tempat bagi para pelaku diskriminasi, kalaupun ada biarkan mereka berakhir di kesunyian dan keterasingan yang abadi agar mereka mengerti bahwa kebersamaan dan persaudaraan itu begitu indah.

Ayo kita buang istilah timur dan barat, kulit hitam dan kulit putih, rambut lurus dan rambut keriting, agama ini dan itu. Bohong, apabila persatuan akan diraih tatkala kata timur dan barat masih terucap. Persatuan akan terwujud saat kita mampu berkata bahwa timur dan barat itu Indonesia, saat kita mampu mengucap bahwa kamu dan aku adalah kita, saat kita melihat orang hitam dan putih adalah manusia Indonesia, dan saat kita mengakui bahwa tuhan mu dan tuhan ku sesungguhnya bersahabat.

Perbedaan itu ada agar lukisan yang tertoreh di bumi pertiwi ini semakin indah dan berkilau.

Perbedaan itu ada bukan untuk dibanding-bandingkan, tapi untuk disandingkan menuju keharmonisan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun