Pengembangan studi terhadap hadits Nabi jauh lebih komplek dan berat daripada studi al-Quran. Studi atas al-Quran dapat begitu terbuka luas tanpa harus ada kekhawatiran dari pihak penaafsir akan berkurangnya otoritas al-Quran sebagai pedoman hidup di manapun dan sampai kapanpun. Lain halnya dengan hadits, para ulama ahli hadits lebih cenderung mengendalikan diri dan mengutamakan sikap reverse (segan) dalam melakukan kajian ulang dan pengembangan pemahaman atau pemikiran terhadap hadits, karena hadits adalah segala ucapan, perbuatan, persetujuan (taqrir) atau apapun yang disandarkan kepada Nabi.[1] Jadi ada semacam pengkultusan Nabi, karena itulah sikap ketidak kritisan ulama kepada hadits bisa jadi bukan karena sisi ilmiah, namum karena sosok Nabi sebagai pemimpin agama, sebagai utusan Tuhan yang memiliki sifat ma'shum, maka pengkultusan ini tidak terlekkan dan ini adalah bagian dari kondisi psikologis belaka, bukan pada sisi ilmiahnya. Di lain pihak, dinamika masyarakat dewasa ini begitu cepat menghendaki adanya pengkajian ulang terhadap hadits.
Pada abad ke-7 H, sebuah gerakan dimulai dari Damaskus. Melihat Islam telah bercampur dengan kesyirikan, perbuatan bidah dan tercampur aduk dengan praktek keagamaan lain, Ibn Taimiyyah bersama muridnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengobarkan semangat tajdid, proyek purifikasi Islam yang bertolak dari kembali kepada al-Quran dan hadits. Seiring dengan berjalannya waktu, gerakan ini makin meluas dan mendapatkan tempatnya di kalangan muslimin. Gerakan salafi, atau sebuah gerakan pemurnian Islam dengan kembali ke al-Quran dan hadits menyebar, membuka kembali pintu ijtihad yang sudah tertutup dan menolak taqlid adalah slogan-slogan yang selalu diteriakkan kaum salafi.
Seorang Ibn Taimiyyah saja jika tidak didukung dengan semangat para muridnya menyebarkan ajaran Ibn Taimiyyah, tentu tidak akan meluas seperti dewasa ini. Sikap fanatis Ibnul Qayyim terhadap gurunya tentu sebuah mata rantai sanad gerakan salafi modern, walaupun tidak semuanya dapat digeneralisir seperti ini.[2]
Profil Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
Nama lengkapnya adalah Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’ad bin Huraiz az-Zar’i, kemudian ad-Dimasyqi. Dikenal dengan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah atau Ibnul Qayyim (putra pendiri [madrasah] al-Jauziyyah), nisbat namanya kepada sebuah madrasah yang dibentuk oleh Muhyiddin Abu al-Mahasin Yusuf bin Abdil Rahman bin Ali al-Jauzi yang wafat pada tahun 656 H, sebab ayah Ibnu Qayyim adalah tonggak bagi madrasah itu. Ibnu Qayyim dilahirkan di tengah keluarga berilmu dan terhormat pada tanggal 7 Shaffar 691 H. Di kampung Zara’ dari perkampungan Hauran, sebelah tenggara Damaskus sejauh 55 mil.
Ia belajar ilmu faraidl dari bapaknya karena beliau sangat menonjol dalam ilmu itu. Belajar bahasa Arab dari Ibnu Abi al-Fath al-Baththiy dengan membaca kitab-kitab: al-Mulakhkhas li Abil Balqa’ kemudian kitab al-Jurjaniyah, kemudian Alfiyah Ibnu Malik, juga sebagian besar Kitab al-kafiyah was Syafiyah dan sebagian at-Tas-hil. Di samping itu belajar dari syaikh Majduddin at-Tunisi satu bagian dari kitab al-Muqarrib li Ibni Ushfur. Belajar ilmu Ushul dari Syaikh Shafiyuddin al-Hindi, Ilmu Fiqih dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Isma’il bin Muhammad al-Harraniy. Selain itu beliau juga berguru pada al-Qadli as-Syirazi, Ibn Maktum, 'Alauddin al-Kindi, Ayyub bin al-Kamal, Ismail bin Muhammad, Abul Fath al-Ba'labaki, dan lainnya.[3]
Hubungannya dengan Ibnu Taimiyyah sanget dekat, karena beliau berguru secara intensif (mulazamah) kepada Ibnu Taimiyah semanjak masa mudanya, yaitu sesudah kembalinya Ibnu Taimiyah dari Mesir tahun 712 H hingga wafatnya tahun 728 H. Tidaklah salah jika Ibnu Qayyim adalah "anak emas"-nya Ibnu Taimiyyah, sebab dialah penerus utama hasil pemikiran Ibnu Taimiyyah. Oleh karena itulah Ibnul Qayyim amat mencintainya, sampai-sampai beliau mengambil kebanyakan ijtihad-ijtihadnya dan memberikan pembelaan atasnya. Ibnul Qayyim yang menyebarluaskan ilmu Ibnu Taimiyyah dengan cara menyusun karya-karyanya yang bagus dan dapat diterima.
Diantara murid-murid Ibnul Qayyim yang terkanal diantaranya adalah anak beliau sendiri bernama Syarafuddin Abdullah dan Burhanuddin Ibrahim, kemudian Ibnu Katsir ad-Dimasyqiy, al-Imam al-Hafizh Abdurrahman bin Rajab al-Hambali al-Baghdadi, Ibnu Abdil Hadi al-Maqdisi, Syamsuddin Muhammad bin Abdil Qadir an-Nablisiy, Ibnu Abdirrahman an-Nablisiy, Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz adz-Dzhahabi at-Turkumaniy asy-Syafi’i, Ali bin Abdil Kafi bin Ali bin Taman As Subky, Taqiyuddin Abu ath-Thahir al-Fairuz asy-Syafi’i dan lain-lain.[4]
Pernah menjabat sebagai Imam di Madrasah al-Jauziyyah, mengajar di Madrasah as-Shadriyyah, sekolah terbesar kedua di Damaskus setelah Madrasah al-Jauziyyah, dan juga sebagai khatib di masjid besar Damaskus.[5]
Ibnul Qayyim pernah dipenjara, dihina dan diarak berkeliling bersama Ibnu Taimiyah sambil didera dengan cambuk di atas seekor onta. Setelah Ibnu Taimiyah wafat, Ibnul Qayyim pun dilepaskan dari penjara. Dalam penjara, beliau ditempatkan dalam sel yang terpisah dari gurunya ini. Tidak hanya sekali, namun beliau merasakan tiga kali dipenjara pemerintah yang berkuasa, yang kedua beliau dipenjara karena membela fatwa Ibn Taimiyyah, dan yang ketiga karena pendapatnya yang secara tegas menolak syaddur rihal (menziarahi makam Nabi).[6]
Ibnul Qayyim hidup pada zaman yang carut-marut secara politik, keamanan, ekonomi, dan juga keagamaan. Pasukan Tartar menyerang Islam tidak hanya di pusat pemerintahan di Baghdad, namun meluas hingga ke Damaskus. Yang terjadi adalah ketidakstabilan, di mana penjajah selalu menginjak-injak kaum muslimin, di mana keamanan dan keselamatan tiap orang tidak bisa terjamin, maka usaha yang dilakukan adalah berjihad secara fisik, dan berijtihad dengan segala upaya melepaskan kekangan dari pasukan penjajah. Di lain pihak, keadaan keagamaan telah lepas dari rel yang murni, telah bercampur dengan pelbagai macam unsur non-Islami. Bagi Ibnu Qayyim –yang meneruskan paham Ibn Taimiyyah dalam hal ini- Islam harus dikembalikan menuju Islam yang murni, tidak tercampur oleh bid'ah, filsafat, khurofat kaum sufi, hingga percampuran dari luar Islam seperti peribadatan yang mirip dengan agama Hindu dan logika Yunani.
Dari ruang lingkup zaman dan komunitasnya, maka semangat kembali pada al-Quran dan Hadits yang didengungkan Ibn Taimiyyah diterima Ibnul Qayyim. Pemahaman keagamaan model ini merupakan gambaran dari perlawanan seorang Ibnul Qayyim terhadap hegemoni –kekuasaan, pemahaman agama, politik- yang sukar dirubah. Walaupun bermadzhab Hambali, namun tidak sedikit pandangan fikih beliau tidak sama dengan hasil ijtihad Ahmad bin Hambal. Tidak mengherankan memang, karena Ibnul Qayyim adalah seorang ulama ensiklopedis yang menguasai berbagai macam disiplin ilmu. Diketahui beliau adalah ulama ahli tafsir, hadits, fikih, bahasa, sejarah, ilmu kalam dan filsafat. Sesuai dengan semangat tajdid, beliau lebih memilih berijtihad sendiri dengan ilmu yang beliau miliki jika ada ketidakcocokan dalam masalah agama, dan sangat menolak taklid.
Di antara dakwahnya yang paling menonjol adalah dakwah menuju keterbukaan berfikir. Sedangkan manhajnya dalam masalah fiqih ialah mengangkat kedudukan nash-nash yang memberi petunjuk atas adanya sesuatu peristiwa, namun peristiwa itu sendiri sebelumnya belum pernah terjadi.
Adapun cara pengambilan istinbath hukum, beliau berpegang kepada al-Quran, al-Hadits, Ijma’ Fatwa-fatwa shahabat, Qiyas, Istish-habul Ashli (menyandarkan persoalan cabang pada yang asli), al-Mashalih al-Mursalah, Saddu adz-Dzari’ah (tindak preventif) dan al-‘Urf (kebiasaan yang telah diakui baik).
Beberapa Karyanya
1. Tahdzib Sunan Abi Daud,
2. I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin,
3. Ighatsatul Lahfan fi Hukmi Thalaqil Ghadlban,
4. Ighatsatul Lahfan fi Masha`id asy-Syaithan,
5. Bada I’ul Fawa’id,
6. Amtsalul Qur’an,
7. Buthlanul Kimiya’ min Arba’ina wajhan,
8. Bayan ad-Dalil ’ala istighna’il Musabaqah ‘an at-Tahlil,
9. At-Tibyan fi Aqsamil Qur’an,
10. At-Tahrir fi maa yahillu wa yahrum minal haris,
11. Safrul Hijratain wa babus Sa’adatain,
12. Madarijus Salikin baina manazil Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in,
13. Aqdu Muhkamil Ahya’ baina al-Kalimit Thayyib wal Amais Shalih al-Marfu’ ila Rabbis Sama’
14. Syarhu Asma’il Kitabil Aziz,
15. Zaadul Ma’ad fi Hadyi Kairul Ibad,
16. Zaadul Musafirin ila Manazil as-Su’ada’ fi Hadyi Khatamil Anbiya’
17. Jala’ul Afham fi dzkris shalati ‘ala khairil Am,.
18. Ash-Shawa’iqul Mursalah ‘Alal Jahmiyah wal Mu’aththilah,
19. Asy-Syafiyatul Kafiyah fil Intishar lil firqatin Najiyah,
20. al-Manarul Munif fis Shahih wad Dla'if,
21. Hadi al-Arwah ila biladil Arrah,
22. Nuz-hatul Musytaqin wa raudlatul Muhibbin,
23. al-Jawabul Kafi Li man sa`ala ’anid Dawa`is Syafi,
24. Tuhfatul Wadud bi Ahkamil Maulud,
25. Miftah daris Sa’adah,
26. Ijtima’ul Juyusy al-Islamiyah ‘ala Ghazwi Jahmiyyah wal Mu’aththilah,
27. Raf’ul Yadain fish Shalah,
28. Nikahul Muharram,
29. Kitab tafdlil Makkah ‘Ala al-Madinah,
30. Fadl-lul Ilmi,
31. ‘Uddatus Shabirin wa Dzakhiratus Syakirin,
32. al-Kaba’ir,
33. Hukmu Tarikis Shalah,
34. al-Wabilus Shayyib minal Kalamit Thayyib,
35. Al-Fathul Muqaddas,
36. At-Tuhfatul Makkiyyah,
37. Syarhul Asma il Husna,
38. Al-Masa`il ath-Tharablusiyyah,
39. Ash-Shirath al-Mustaqim fi Ahkami Ahlil Jahim,
40. Al-Farqu bainal Khullah wal Mahabbah wa Munadhorotul Khalil li qaumihi,
41. Ath-Thuruqul Hikamiyyah,
42. Naqdul Manqul wal Muhakkil Mumayyiz bainal Mardud wal Maqbul, dan masih banyak lagi karya beliau yang lain.
Ibnul Qoyyim meninggal dunia pada waktu isya’ tanggal 13 Rajab 751 H. Ia dishalatkan di Mesjid Jami’ Al-Umawi dan setelah itu di Masjid Jami’ Jarrah; kemudian dikuburkan di Pekuburan Babush Shagir, Damaskus.[7]
Pemikiran Ibnul Qayyim mengenai Hadits
Sebagai ulama ensiklopedis yang menguasai berbagai macam disiplin ilmu, Ibnul Qayyim berpendapat tidak sembarangan, namun segala sesuatunya berdasarkan hasil ijtihad yang penuh ketelitian. Di lain pihak, sebagai penganut aliran salafi, pembelaan atas pendapat Ibn Taimiyyah sangat kental, dan pengaruhnya bisa dengan mudah ditemui di segala buku yang beliau tulis.
Ibnul Qayyim dikenal sebagai seorang muslim puritan yang teguh pendiriannya dalam mempertahankan kemurnian aqidah Islam. Guru yang paling berpengaruh dan banyak mewarnai pemikirannya adalah Ibnu Taimiyah, bahkan ia merupakan penyebar ide-ide gurunya tersebut. Misalnya penolakan Ibnu Taimiyah terhadap Mu‟tazilah dan Khawarij tentang penetapan sifat-sifat Tuhan dan bahwasanya nama-nama Tuhan bukanlah dzat Tuhan, yang mana kemudian pandangan ini menjadi pandangan Ibnul Qayyim al-Jauziyah.[8] Meskipun demikian, tidak jarang ia berbeda pandangan dengan gurunya tersebut. Misalnya pandangan Ibnu Qayyim al-Jauziyah bahwa perbuatan baik dan buruk dapat diketahui akal semata, sementara menurut Ibnu Taimiyah hal tersebut hanya diketahui berdasar wahyu.[9] Penafsiran secara aqli sangat banyak digunakan oleh Ibnul Qayyim, dan rasio penggunaan akal yang lebih banyak inilah yang membedakannya dengan Ibn Taimiyah. Walaupun beraliran teologi ala Asy'ariyyah sangat dipegang dengan erat, namun rasio tetap beliau gunakan, hal ini dapat dilihat dalam ra'yu yang senantiasa digunakan dalam tiap ijtihadnya.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah adalah pengikut dan tokoh madzhab Hanbali sebagaimana gurunya Ibnu Taimiyah. Dalam kajian teologi Islam para pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal dikenal dengan nama kelompok salaf yang manakebanyakan pemikiran teologinya cenderung tradisional sebagaimana kelompok Asy‟ariyah. Sebagaimana tokoh Salaf lainnya dalam menafsirkan sifat-sifat anthropomorphisme yang terdapat dalam al-Quran Ibnu Qayyim al-Jauziyah menetapkan sifat-sifat tersebut tanpa mentakwilkan dan menafsirkan dengan selain pengertian zahirnya, hal ini sebagaimana penafsirannya terhadap surat Thaha ayat 5[10] dimana menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah kata الاستواء(bersemayam) harus diartikan sesuai dengan zahirnya tanpa mentakwilkan dan menafsirkannya.[11] Hanya saja bersemayamnya Allah tidak sama dengan bersemayamnya makhluk Allah, demikian pula sifat-sifat arthropomorphisme lainnya. Allah Maha suci dari segala persamaan dengan makhluk-Nya (munazzahun 'anil makhluqat).
Sejatinya, aliran hanabilah masuk dalam kategori mutakallimin yang dalam menyikapi hadits lebih memberatkan pada kritik matan hadits secara formal, namun Ibnul Qayyim menyimpang dalam hal ini dengan lebih menitikberatkan pada susbtansi, bukan formal. Maka beliau bisa dimasukkan dalam kalangan fuqaha, yang memahami hadits dengan pendekatan fikih. Epistimologinya adalah koherensi dengan ilmu-ilmu yang lain, dan beliau menggunakan ukuran sosio-historis.
Dalam mencari pemahaman hadits dalam masaah teologis, beliau cenderung memaknai secara tekstual. Bagi masalah lain, ada penggunaan pendapat salafus shalih dan analisa zhohir hadits, yaitu yang berkenaan dengan sanad dan matan hadits.
Beliau juga menolak penggunaan takwil yang berlebihan dan tanpa ilmu, dan juga menolak segala praktek keagamaan yang bidah. Semangat purifikasi yang ia dapatkan dari Ibn Taimiyyah sangat kental, kembali pada al-Quran dan hadits.
Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala, “Dan apa-apa yang dibawa Ar Rasul kepadamu maka ambillah ia, dan apa-apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (al-Hasyr:7).
Ibnul Qayyim berpendapat bahwa hadis shahih adalah hadis yang memenuhi kriteria, 1) sanadnya bersambung; 2) para perawi hadisnya adalah orang-orang yang adil; 3) para perowinya adalah orang yang dlobith (cermat); 4) terbebas dari kontroversi; dan 5) tidak memiliki cacat. Kriteria ini sama dengan pendapat para ulama ahli hadits lain, seperti Ibn Shalah, Ibn Hajar al-'Asqalani, Jalaluddin as-Suyuthi, an-Nawawi dan ulama lainnya.
Sedangkan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah juga memberikan kriteria kesahihan hadis dengan teori diametrikal (terbalik), yaitu hadits-hadits yang mengandung berbagai macam hal berikut, maka perlu dicurigai kesahihannya, bisa jadi itu adalah hadits dla'if (seperti pada kebanyakan hadits tentang shalat), ataupun bisa jadi itu adalah hadits maudlu', jika dilihat dari matan hadits. Perangkat akal menjadi sangat vital peranannya menurut Ibnul Qayyim. Jika secara matan sudah dicurigai dloif, maka perawi-perawinya juga pasti ada yang bermasalah. Namun tidak begitu jika sanadnya dloif, tidak serta merta matan menjadi dloif juga. Berikut kritertia-kriteria hadits shahih yang bisa diketahui melalui matan hadits:[12]
a. Materi hadis tidak mengandung perkiraan-perkiraan yang tidak biasa dikemukakan oleh Nabi.
b. Materi hadis tidak bertentangan dengan penemuan empirik
c. Materi hadis tidak berupa pernyataan yang kotor dan keji
d. Materi hadis tidak bertentangan dengan materi sunnah yang jelas diyakini datang dari Nabi.
e. Materi hadis tidak berisi informasi yang menyatakan bahwa Rasul Muhammad saw. telah berbuat sesuatu dihadapan para sahabatnya, tetapi para sahabat sepakat untuk tidak meriwayatkannya.
f. Materi hadis tidak batal dengan sendirinya disebabkan tidak pantas disandarkan kepada Nabi.
g. Materi hadis harus layak disebut sebagai perkataan para Nabi, lebih-lebih layak disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. yang hakekatnya merupakan wahyu.
h. Materi hadis tidak mengisahkan cerita-cerita yang aneh-aneh dan tidak masuk akal.
i. Materi hadis tidak menyerupai pernyataan-pernyataan paramedis, dokter dan dukun.
j. Materi hadis tidak dengan sendirinya dibantah dan dibatalkan oleh argumentasi dan dalil-dalil yang sahih dan kuat .
k. Materi hadis tidak bertentangan dengan al-Qur’an.
l. Materi hadis tidak dibatalkan oleh adanya indikator-indikator yang cukup jelas
m. Materi hadits tidak berisikan pernyataan-pernyataan yang mengada-ada tentang keutamaan makanan dan tempat tertentu.
Hal ini tentu sebuah terobosan pada zamannya, di mana kebanyakan ulama hadits berhenti pada analisa sanad an sich dan mengabaikan "kebenaran" matan. Sebenarnya matan hadits yang dla'if atau maudlu' dalam perspektif Ibnul Qayyim sangat mudah diketahui. Dengan 13 kriteria di atas maka tiap pembaca hadits akan "curiga" pada hadits-hadits yang berisikan hal-hal yang tidak masuk akal, dengan pengetahuan yang sederhana saja, terlebih dengan pengetahuan yang mendalam atas sirah Nabi dan pengetahuan Nabi. Misalnya dalam hadits tentang keutamaan 'adas, biji-bijian (atau kacang-kacangan) yang biasa dikonsumsi orang arab:
حديث عليكم بالعدس فإنه مبارك يرقق القلب ويكثر الدمعة قدس فيه سبعون نبيا وقد سئل عبدالله بن المبارك عن هذا الحديث وقيل له إنه يروى عنك فقال وعني ما أرفع شيئا في العدس إنه شهوة اليهود ولو قدس فيه نبي واحد لكان شفاء من الأدواء فكيف بسبعين نبيا وقد سماه الله (أدنى) البقرة.
Contoh lain yang menyebutkan kesalahan pemaknaan al-manna wa as-salwa dengan bawang merah dan bawang putih (ats-tsum wa al-bashal):
وذم من اختاره على المن والسلوى وجعله قرين الثوم والبصل أفترى أنبياء بني إسرائيل قدسوا فيه لهذه العلة والمضار التي فيه من تهييج السوداء والنفخ والرياح الغليظة وضيق النفس والدم الفاسد وغير ذلك من المضار المحسوسة .ويشبه أن يكون هذا الحديث من وضع الذين اختاروه على المن والسلوى وأشباههم[13]
Masih dalam bab makanan, ada hadits yang beliau nyatakan sebagai hadits maudlu', yakni tentang keburukan gargir (sayuran yang berbentuk seperti selada) bagi yang mengkonsumsinya malam hari:
وحديث بئس البقلة الجرجير من أكل منها ليلا بات ونفسه تنازعه ويضرب عرق الجذام في أنفه كلوها نهارا وكفوا عنها ليلا[14]
Hadits maudlu' yang lain diketahui karena tidak mungkin perkataan ini bersumber dari Nabi, karena pribadi dan sifat Nabi yang jelas sangat bertentangan dengan ucapannya, contohnya adalah hadits bahwa Nabi mengkonsumsi roti (haritsah) surga yang dibawakan Jibril, yang dapat melipatgandakan stamina 40 kali untuk bersetubuh:
حديث أتاني جبريل بهريسة من الجنة فأكلتها فأعطيت قوة أربعين رجلا في الجماع[15] .
Selain contoh-contoh di atas, yang banyak ditemukan adalah hadits-hadits falak. Banyak data-data yang "dicurigai" oleh Ibnul Qayyim berkaitan dengan keutamaan tanggal-tanggal tertentu, ataupun peristiwa-peristiwa agung yang ada pada hari atau tanggal tertentu.
Pada tataran fadhailul a'mal (keutamaan amal), hadits dla'if masih ditolerir penggunaannya, begitu juga dalam tafsir, kisah peperangan dan sirah, ijma' Ulama berpendapat bolehnya berhujjah dengan hadits dla'if pada bab ini. Namun Ibn Taimiyah dan Ibnul Qayyim memberikan syarat lagi yaitu kedla'ifannya tidak terlalu parah.Pendapat Ibn Taimiyah dan Ibnul Qayyim juga memberi isyarat kepada hal itu dan metode Imam Bukhari dan Muslim juga menunjukkan ke arah sana. Berdasarkan ini maka tidak dibolehkan beramal dengan hadits dla'if secara mutlak di seluruh bab pada pembahasan agama. Pada kondisi ini dia disebutkan hanya untuk sebagai pendukung. Dan Ibnul Qayyim telah mengisyaratkan kemungkinan dijadikannya hadits dla'if sebagai pentarjih salah satu dari dua pendapat yang sama kuat.
Penutup
Ibnul Qayyim adalah salah seorang ulama yang sangat dihargai di kalangan muslimin, terlebih bersama Ibn Taimiyyah, gurunya, beliau telah meletakkan dasar-dasar konsep tajdid dalam khazanah keilmuan Islam. Aliran yang bernama salafi belakangan ini menyandarkan pahamnya kepada Ibn Taimiyyah, melalui jalur Ibnul Qayyim. Tentunya pemikirannya dalam hadits berdampak besar sekali bagi alur gerakan salafi. Proyek purifikasi yang selalu berslogan "kembali kepada al-Quran dan hadits" senantiasa dinisbatkan kepadanya.
Hal ini sangat jelas nampak pada penolakannya tentang berbagai macam hadits yang berbau syirik, tidak masuk akal, menyalahi syariah, tidak sesuai dengan fakta historis, dan lain-lain yang menyebabkan hadits itu ditolak (mardud).
Semangat tajdid ini yang membuat ijtihad harus dibuka lebar, karena baginya taqlid adalah haram, dan ijtihad dengan bersumber pada al-Quran dan hadits menjadi ijtihad yang mulia.
Wallahu A'lam bis Shawab
Daftar Pustaka
Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim, al-Wabilus Shayyib minal Kalamit Thayyib, Beirut: Darul Kitab al-'Arabi, 1985.
______________________, Naqdul Manqul wal Muhakkil Mumayyiz bainal Mardud wal Maqbul, e-book didownload dari http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=26&book=828 pada 22 Juni 2011.
_______________, al-Manarul Munif fis Shahih wad Dla'if, e book didownload dari http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=26&book=499 Pada 22 Juni 2011
_________________, at-Taubah wal Inabah, (terj, Abdul Hayyie al-Kattanie), Jakarta: Gema Insani Press, 2006.
_________________, Zadul Ma'ad
_________________, Ijtima’ul Juyusy al-Islamiyah ‘ala Ghazwi Jahmiyyah wal Mu’aththilah, Mesir: Dar al-Hadits, t.t
Ibnu Taymiyah, al-Fatwa al-Hamawiyah al-Kubra (Kairo: al-Salafiyah, t.t.)
____________, Majmu‟ah al-Rasail, Beirut: Darul Kutub al-'Ilmiyah, 1992.
'Itr, Nuruddin, Manhajun Naqd fi 'Ulumil Hadits, Beirut: Darul Fikr, 1989.
Hijazi, 'Awwadullah Gad, Ibnu Qayyim wa Mauqifuhu minat Tafkir al-Islami, Kairo: Majma'ul Buhuts al-Islami, 1972.
Khairi, Abdurrauf Muhammad Utsman, Mauqif Ibnil Qayyim minat Tashawwuf, Disertasi Doktoral Pada Fakultas Dakwah dan Ushuluddin, Universitas Ummul Qura, Saudi Arabia, 1996.
[1] Nuruddin 'Itr, Manhajun Naqd fi 'Ulumil Hadits, … , hal. 27.
[2] 'Awwadullah Gad Hijazi, Ibnul Qayyim wa Mauqifuhu … hal. 30-33.
[3] Ibnul Qayyim, at-Thuruq al-Hikamiyyah … hal. 2.
[4] Ibnul Qayyim, at-Taubah wal Inabah … hal. 25-28.
[5] Abduurauf Muhammad, Mauqif Ibnil Qayyim … hal. 22.
[6] Ibnul Qayyim, at-Taubah wal Inabah … Hal 29.
[7] Ibnul Qayyim, at-Thuruq al-Hikamiyyah … hal. 2.
[8] Ibnu Taymiyah, al-Fatwa al-Hamawiyah … hal. 63. Bandingkan dengan Ibnu Qayyim al-Jauziyah, … Ijtima‟, 149.
[9] Ibnu Qayyim, Zadul Ma'ad, I, 19. Bandingkan dengan Ibnu Taymiyah, Majmu‟ah al-Rasail, … hal. 292.
ß`»oH÷q§9$#n?tãĸöyèø9$#3uqtGó$#ÇÎÈ[10]
(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy
[11] Ibnu Qayyim, Ijtima‟ al-Juyusy … hal. 59.
[12] Ibnul Qayyim, Naqdul Manqul wal Muhakkil Mumayyiz …. Hal 1-38.
[13] Ibnul Qayyim, Naqdul Manqul wal Muhakkil Mumayyiz …. Hal 7.
[14] Ibnul Qayyim, Naqdul Manqul wal Muhakkil Mumayyiz …. Hal 12.
[15] Ibnul Qayyim, Naqdul Manqul wal Muhakkil Mumayyiz …. Hal 12.
Nashif ‘Ubbadah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H