Sebenarnya cukup mengherankan ketika wahyu pertama yang turun pada Muhammad Saw sebagai nabi terakhir dalam ajaran umat islam adalah perintah "Bacalah!".
Hal ini karena konon Rasulullah Saw adalah seseorang yang buta huruf.Â
Namun, Tuhan pasti punya alasan sendiri mengapa membaca justru menjadi kata pengantar untuk keseluruhan petunjuk hidup manusia yang kemudian dirangkum ke dalam sebuah kitab suci bernama Al-Qur'an.
dalam tulisan ini sendiri kita tidak akan membahas mengenai membaca secara universal, tapi spesifik pada membaca buku.
Kenapa harus buku?
di era media sosial ini, arus informasi berlalu begitu cepat. maka segala bentuk informasi dapat dengan mudah ditemukan melalui browsing internet dan dari begitu banyak artikel-artikel kecil yang sudah ringkas, jelas, dan padat. Begitu sesuai dengan pribadi manusia zaman ini yang ingin segala sesuatu hadir serba instan.
namun, artikel tetap tidak bisa menggantikan posisi buku sebagai sumber informasi utama. Tidak hanya karena sumber dan kebenaran dalam artikel sering kali diragukan, melainkan buku menyediakan pengalaman luar biasa untuk masuk ke dalam sudut pandang pengarang, merasakan setiap detail penjelasan dan penjabaran secara komprehensif, serta memiliki kemampuan unik untuk menarik pembaca ke dalam alam idea untuk bertemu langsung dengan pikiran pengarang.
Itulah mungkin mengapa Said Nursi, ulama turki yang disebut-sebut sebagai Bediuzzaman atau keajaiban zaman berulang kali menekankan bahwa membaca Risalah Nur(kumpulan tulisan Said Nursi) lebih penting dari pada bertemu dengan beliau langsung.Â
Dulu ketika saya berusaha menamatkan "Islam Rahmatan lil Alamin", buku dengan tebal lebih dari 400 halaman karangan Fatullah Gulen. Memang pada awalnya saya yang duduk di bangku kelas dua SMA kala itu cukup sulit untuk memahami buku tersebut, namun hal itu yang menjadikannya menarik.
terkadang saya merasa bosan. Sehingga alih-alih membaca, saya malah menghitung jumlah lembar dari buku tersebut.
saat itu, berminggu-minggu buku itu tak pernah hilang dari tas gendong yang selalu saya bawa ke manapun saya pergi. lalu setiap ada kesempatan saya membuka buku tersebut untuk melanjutkan bacaan atau mengulang-ulang halaman yang belum saya pahami.
hingga tanpa sengaja saya pernah menumpahkan kuah bakso ke buku tersebut lalu harus menyetrika setiap halaman yang mengkerut karena basah.
hal-hal seperti itu adalah sesuatu yang tidak pernah bisa kita temukan dalam internet, apa lagi jika hanya membaca sebatas pada judul artikelnya saja.
Namun hal ini yang menjadikan buku-buku itu memiliki suatu kebermaknaan yang melancarkan jalan ide  yang ingin disampaikan penulis pada pembaca.
Milan Kundera pernah berkata bahwa, "Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa, hancurkan buku-bukunya". Artinya, membaca buku tidak hanya sekedar menerima informasi tapi juga menjaga informasi tersebut yang sekaligus mengemban amanat untuk melanjutkan atau bahkan menciptakan peradaban.
Untuk itu maka membaca tidak boleh dilakukan seperti orang yang sholat tapi hanya ingin sekedar menggugurkan kewajiban sholat, bukan untuk benar-benar beribadah.
Membaca berarti mempertemukan antara satu buku dengan buku lain, satu ide dengan ide lain, lalu membenturkannya pada realitas yang dihadapin hingga menghasilkan suatu sintesis baru.
bagaimana jika tidak suka membaca?
belajarlah untuk menyukainya, karena ini sebuah kebutuhan.
lagipula, benar kata Mark Twain bahwa sebenarnya, seseorang yang tidak membaca tidak lebih baik dari pada mereka yang tidak bisa membaca.
Maka semuanya kembali lagi kepilihan anda~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H