Mohon tunggu...
Ariel A. Kutajeng
Ariel A. Kutajeng Mohon Tunggu... -

Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Abal-abal dalam Dunia Kampus

24 Desember 2016   17:33 Diperbarui: 24 Desember 2016   17:49 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam jagat dunia kampus UIN Jakarta, demokrasi ditunjukkan dengan pengadaan Pemilihan Raya(Pemira) setiap tahunnya untuk memilih presiden Dewan Eksekutif Mahasiswa(DEMA) dan Senat Mahasiswa(SEMA) dengan prinsip dari mahasiswa, oleh mahasiswa, dan untuk mahasiswa.

Sedangkan dalam demokrasi sendiri, ada 2 prinsip penting yang wajib dipegang dalam rangka menegakkan demokrasi itu sendiri, yaitu: vox populi vox dei(Suara rakyat, suara Tuhan) dan Salus populi suprema leg(Kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi).

Dua prinsip kedigdayaan tersebut dimiliki oleh mahasiswa sebagai civil societyuntuk mewujudkan suatu bentuk demokrasi ideal dalam kampus, dengan kedua prinsip itu maka miniatur tata kelola pemerintahan dan demokrasi di kampus hendaknya berlangsung sehat.

Namun masalahnya, jika dalam demokrasi vox populi vox dei,jika suara Tuhan adalah suara mahasiswa sebagai civil societydi kampus,suara mahasiswa yang mana?

Setidaknya ada tiga organisasi mahasiswa islam yang benderanya berkibar tegak di UIN Jakarta, yaitu HMI, PMII, dan KAMMI. Namun demokrasi tidak hanya dimiliki oleh ketiga kelompok tersebut, tapi juga mahasiswa-mahasiswa yang tidak tergabung dalam organisasi apapun, atau juga sering di sebut dengan Mahasiswa ‘Netral’.

Mao Zedong pernah berkata bahwa politik adalah perang tanpa darah, namun statement ini tidak otomatis menghalalkan penggunaan agitasi, penghasutan, dan menyebar kebencian sebagai amunisi dalam perang.

Setidaknya, semua orang terutama tim sukses pasangan calon harus menunjukkan kedewasaan dalam berpolitik, sehingga masalah yang muncul ketika Pemira tidak berlanjut setelahnya.

Seperti yang terjadi beberapa waktu belakangan ini, ada saja oknum yang tetap melakukan agitasi walaupun pemira sudah berakhir, bahkan ada yang sudah memenangi pemira namun seakan gagal move ondan terus mencoba untuk menyebarkan kebencian.

Bahkan di salah satu fakultas, ‘tim’ yang memenangi pemira, masih mencoba untuk melakukan public shamingterhadap beberapa orang yang mengkritik mereka pada saat rangkaian acara pemira dilaksanakan dengan cara memposting foto-foto dengan tulisan yang mengkritik mereka dan men-tagsi kritikus di akun sosial medianya lalu melakukan playing victim seakan ia menjadi korban yang disudutkan, padalah kritik yang disampaikan tersebut bersifat general dan tidak berfokus pada satu orang.

Orang-orang seperti ini seakan meng-Amin-i kata-kata George Owell bahwa “Political language is designed to make lies sound truthful and murder respectable”, sehingga melakukan agitasi, menyebarkan kebencian, menyebut bahwa kepemimpinan BEM tahun lalu itu buruk, menghina pasangan calon lain, serta membunuh karakter, adalah ciri-umum-yang-wajib-ada dalam kanca perpolitikan.

Menurut hemat saya, hal ini memunculkan sebuah pertanyaan besar,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun