Mohon tunggu...
EJK
EJK Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Lepas

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ali Moertopo dan Komando Jihad - Startegi Ali Membesarkan Golkar dan Menggarap DI/TII

3 Februari 2023   00:42 Diperbarui: 3 Februari 2023   00:46 1108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam dunia intelijen, Ali Moertopo bisa dibilang adalah pendekar pilih tanding karena mampu menyerap ilmu kesaktian dari dedengkot-dedengkot intelijen Indonesia. Dia mampu menyerap ilmu intelijen Zulkifli Lubis, Omar Qatab dan Yoga Soegomo sekaligus. Berbekal itulah dirinya disebut-sebut sebagai salah satu arsitek Orde Baru yang merancang kekuasaan Soeharto.

Dari Bapak Intelijen Indonesia, Kolonel Zulkifli Lubis, Ali belajar dan menerapkan jurus-jurus intelijen tempur, atau intelijen militer. Kemudian dia juga bisa mengadopsi ilmu Kombes (Pol) M Omar Qatab, ayah komedian Indro Warkop yang dikenal sebagai pendiri intelijen Polri. 

Dari Omar Qatab, Ali belajar "intelijen masyarakat", yakni kegiatan yang memonitor potensi bahaya dalam masyarakat. Sementara Kepala Bakin Yoga Soegomo, juga banyak berjasa membentuk Ali sebagai intel yang andal.

Ali Moertopo, mampu menggabungkan jurus dari tiga mahaguru intelijen Indonesia sekaligus, yakni Zulkifli Lubis, Omar Qatab, dan Yoga Soegomo. Kemudian kemampuannya itu diterapkan untuk mengawal kekuasaan daripada Soeharto.

Ali Moertopo adalah salah satu jenderal kepercayaan Soeharto yang merancang strategi kekuasaan pemimpin Orde baru meski akhirnya dia juga disingkirkan oleh Soeharto. Ali menggelar berbagai operasi khusus demi menguatkan Soeharto.

Dia berperan besar menciptakan Golkar sebagai raksasa politik yang tak tergoyahkan. Salah satu cara Ali menguatkan Golkar adalah melakukan rekayasa terhadap kelompok yang dikategorikan Islam garis keras, dengan tujuan akhir untuk melemahkan dan menjelekkan citra politik Islam.

Ali Moertopo bersama Opsus, lembaga intelijen yang dia pimpin melakukan penggalangan pada sebagian kelompok Islam garis keras, umumnya dari sempalan gerakan DI/TII. Tujuan akhirnya adalah untuk melemahkan PPP, satu-satunya partai islam yang saat itu dianggap pesaing Golkar yang paling potensial. Sementara PDI dianggap relatif lebih mudah untuk dikendalikan.

Rahman Tolleng, mantan Wapimred Suara Karya, dalam buku Rahasia-rahasia Ali Moertopo, terbitan Tempo tahun 2014, mengatakan Ali ahli dalam masalah penggalangan. Salah satu kerhjanya, penggalangan kelompok Islam DI/TII.

Jenderal Soemitro, mantan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) mengakui bahwa Ali Moertopo adalah Tokoh yang berperan amat penting dalam kemenangan Golkar pada Pemilu 1971.

Menurut Soemitro, pemanfaatan bekas anggota DI/TII ini dianggap Ali menguntungkan, mereka direkrut dengan pola pancing dan jaring. Rival abadi Ali itu menyebut bahwa kelompok ini dikumpulkan, dibina, lalu dikorbankan dan kemudian dilumpuhkan.

Melalui rekayasa, kemudian diciptakanlah kerusuhan politik sehingga mengesankan bahwa umat Islam selalu berhadapan dengan tentara, selalu memberontak, supaya timbul rasa alergi terhadap Islam.

Peristiwa Malari, Komando Jihad, kerusuhan Lapangan Banteng dan pembajakan pesawat Woyla, kata Soemitro, pada dasarnya adalah produk rekayasa intelijen.

Komando Jihad menyeret Danu Muhammad (ayah Hilmi Aminuddin, mantan Ketua Majelis Syura PKS) dan Haji Ismail Pranoto.

Danu membantah tudingan itu, dipersidangan dirinya menyebut justru berperan sebagai pembantu Bakin, tapi vonis bersalah tetap ditimpakan kepada dirinya.

Akhir hidup Danu tragis. Dia dihukum sepuluh tahun penjara. Ia meninggal beberapa jam setelah menghirup udara bebas, sekeluarnya dari penjara Cirebon. Penyebab kematian Danu masih misterius hingga kini.

Sementara Haji Ismail Pranoto atau akrab dipanggil Hispran ditangkap pada 8 Januari 1977, dia dituduh melakukan makar dengan mendirikan kembali Negara Islam era DI/TII lewat gerakan Komando Jihad.

Saat ditemui oleh Mohammad Assegaf dan Adnan Buyung Nasution, dua pengacara yang diminta pengadilan untuk membela dirinya, Hispran nampak tak antusias ketika kedua pengacara dari LBH Jakarta itu memintanya terbuka.

Hispran malah menceritakan panjang lebar cita-citanya mendirikan negara Islam, menjelaskan bahwa dia telah menyiapkan banyak hal, mulai dari mengumpulkan senjata dan menyiapkan nama-nama menteri.

Assegaf dan Buyung tercengang, Hispran mereka anggap aneh bin ajaib. Orang desa tapi fasih bicara politik layaknya intelektual. Sementara mereka tahu Hispran sebenarnya orang yang lugu dan tidak pintar.

Saat di Jakarta sebenarnya Assegaf dan Buyung sudah diwanti-wanti sejumlah orang bahwa Hispran adalah binaan Ali Moertopo. Akhirnya, kedua pengacara itu pun memutuskan untuk tidak mau membela Hispran.

Komando Jihad dinilai hanya akal-akalan Ali Moertopo dan intel-intelnya. Mantan Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas menyebut Komando Jihad Cuma gerakan jadi-jadian agar terkesan Islam itu berbahaya.

Busyro mengambil kisah gerakan Komando Jihad sebagai penelitian untuk disertasinya di Universitas Islam Indonesia.

Dari berbagai keterangan, diperoleh alasan bahwa tujuan opsus Ali ini untuk memberangus suara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang kala itu mengancam eksistensi Golkar.

Isu makar itu berhasil dan perolehan suara PPP pun jeblok. "Gerakan Komando Jihad ini rekayasa intel agar suara partai Islam anjlok," kata Busyro (Rahasia-rahasia Ali Moertopo, terbitan Tempo 2014).

Ali, lewat Operasi Khusus, memanfaatkan jaringan Danu dan Hispran. Keduanya dikompori bahwa perlu ada gerakan jihad, mengingat komunis akan bangkit kembali.

Kepada Busyro, Kepala Badan Komando Intelijen Sutopo Juwono menyatakan bahwa dia pernah menasehati Ali agar tidak bermain-main dengan Komando Jihad, karena resiko sosial politiknya besar. Penegasan Sutopo itu belakangan terbukti. Islam saat itu kemudian terpecah dan timbul saling curiga antar kelompok.

Pada penghujung karirnya, Ali tersingkir dari lingkar kekuasaan Orde Baru, ketika dia mulai berani mengkritik kegiatan bisnis anak-anak Soeharto. Pada awal 1983 namanya sempat disebut-sebut akan mendapampingi Soeharto sebagai Wakil Presiden.

Alih-alih mengangkat Ali menjadi wakilnya, pada akhirnya Soeharto menjadi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung, lembaga yang disebut-sebut sebagai tempat penampungan bagi mereka yang tersisih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun