China memang gila, belum pernah ada satu pun negara di dunia ini yang berani menantang sang adikuasa ekonomi dan militer dunia. Siapa lagi kalau bukan si negeri Paman Sam itu. Hanya China yang berani beradu kuat ekonomi dengan AS.
Rusia, pesaing AS terkuat dari sisi militer itu pun akan berpikir ulang jika harus berhadap-hadapan dengan AS soal ekonomi. Saat Trump memanggil pulang "hot money" para investor dan para pialangnya di bursa-bursa dunia dengan iming-iming bunga The Fed, maka perkasalah dolar, jebloklah mata uang negara-negara dunia.
Saat banyak negara kelabakan mata uangnya hancur dikangkangi dolar, China bukannya mengikuti atau sengaja bertahan dari gempuran dolar, namun malah sengaja menurunkan mata uangnya. Trump kecele, ternyata strateginya menguatkan dolar dan memanggil pulang uang ke negerinya malah disambut China dengan strategi ajaib.
China sengaja mengabil langkah melemahkan yuan agar harga-harga barang produksi China menjadi murah. Tentu saja ini menarik minat para importir luar yang butuh barang-barang produksi mereka. Dan tentu saja juga sekaligus menjaga jumlah dan nilai barang yang bakal mereka ekspor.
Namun imbasnya, sejumlah negara di Asia, seperti Singapura, Selandia Baru, Australia, dan Korea Selatan nilai mata uangnya ikut melemah terhadap dolar AS. Mengikuti China, mereka melemahkan mata uang, agar barang produksi mereka juga bisa bersaing dengan China.
Ajaibnya lagi, China malah mengalami surplus perdagangan US$31,05 miliar atau sekitar Rp460 triliun dengan AS pada Agustus 2018 lalu. Jumlah surplus ini meningkat dibandingkan sebelumnya US$28,08 miliar atau sekitar Rp416 triliun pada Juli.
Surplus ini terjadi karena para eksportir China mempercepat pengiriman barang ke AS untuk mendului keaikant tarif. Artinya dalam 8 bulan pertama 2018 ini, jumlah surplus Cina telah naik 15 persen meski AS telah mengenakan kenaikan tarif atas impor sekitar US$50 miliar atau sekitar Rp741 triliun sejak Juli 2018.
Trump merespon dengan menyebut bakal menaikkan tarif untuk impor sekitar US$200 miliar atau sekitar Rp3000 triliun secepatnya. Dia juga bakal menyiapkan tarif untuk impor US$267 miliar atau sekitar Rp4 ribu triliun.
Itu hanya sebagian kejadian yang berkaitan dengan perang dua raksasa dunia itu, rentetannya banyak sekali dan berlangsung cukup panas antar dua negara. Dan ini mengkhawatirkan banyak negara-negara berkembang.
Sampai-sampai Presiden Jokowi dalam pidatonya di KTT IMF-Bank Dunia di Bali harus menyindir dua negara tersebut. Jokowi mengibaratkan kondisi dunia saat ini layaknya Game of Thrones perang hebat melawan Night King dalam cerita fiksi perebutan Iron Throne.
Dalam serial"Game of Thrones", sejumlah houses, Great Families bertarung hebat antara satu sama lain, untuk mengambil alih kendali "the Iron Throne". "Mother of Dragons" menggambarkan siklus kehidupan. Perebutan kekuasaan antar-para "Great Houses" itu bagaikan sebuah roda besar yang berputar. Seiring perputaran roda, satu Great House tengah Berjaya, sementara House yang lain menghadapi kesulitan, dan setelahnya, House yang lain Berjaya, dengan menjatuhkan House yang lain.
Namun, yang mereka lupa, tatkala para Great Houses sibuk bertarung satu sama lain, mereka tidak sadar adanya ancaman besar dari Utara. Seorang Evil Winter, yang ingin merusak dan menyelimuti seluruh dunia dengan es dan kehancuran.
Dengan adanya kekhawatiran ancaman Evil Winter tersebut, akhirnya mereka sadar: tidak penting siapa yang duduk di "Iron Throne". Yang penting adalah kekuatan bersama untuk mengalahkan Evil Winter agar bencana global tidak terjadi. Agar dunia tidak berubah menjadi tanah tandus yang porak poranda, yang menyengsarakan kita semua.
Demikian pidato Jokowi menanggapi kondisi dunia yang dipuji oleh Direktur Dana Moneter Internasional, IMF, Christine Lagarde, dan dianggap telah "meningkatkan standar dalam penyampaian pidato" di forum dunia.
Perang dagang yang panas ini, ditambah disrupsi teknologi yang sangat cepat bergerak mengakibatkan banyak industri terguncang. Tentu ini berbahaya bagi ekonomi dunia, industri apapun itu pada akhirnya ambruk jika tidak berkolaborasi dan mengikuti tuntutan teknologi.
China dan AS memang harusnya berkolaborasi saling menguatkan dan berimbas ke negara-negara lain di dunia. Industri-industri pun harus sudah mulai bergerak mengikuti tuntutan teknologi yang semakin maju jika tidak ingin mati. Teknologi telah memudahkan, namun juga mematikan jika coba-coba bertahan melawan arus perubahan jaman.
Seharusnya kedua negara ini sadar akan potensi dirinya yang dapat ikut mendorong kemajuan negara-negara lain. Tiap negara saling mengisi dengan bermacam produksi dan komoditi di sektor unggulannya, tanpa harus egois menguasai satu sama lain.
Tapi mungkinkah itu terjadi? Agaknya cukup mustahil melihat negara-negara adidaya selalu berusaha untuk menguasai ekonomi dunia, menjadi polisi dunia, menjadi pemimpin dunia, entah untuk tujuan apa.
China yang jago berspekulasi dan Trump yang tak pernah bisa dibaca arah pikirannya membuat dunia was-was, perang ini pun semakin rumit. Trump bisa saja menurunkan tarif impor terhadap negara lain, tapi ke China berlaku sebaliknya. Dan entah respon apa yang akan dilakukan China jika itu terjadi.
Kita hanya bisa berharap China dan AS menyudahi hal sia-sia ini. Semoga kicauan Trump kemarin di Twitter yang menyatakan diskusi dengan China perihal perjanjian perdagangan berlangsung positif. Kicauan Trump itu usai kesepakatan gencatan senjata 90 hari perang dagang China - AS pada KTT G20 di Argentina.
Usai gencatan senjata ini, lalu apa lagi tuan Trump? Tuan Xi Jinping? Sudahilah perang kalian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H