Mohon tunggu...
EJK
EJK Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Lepas

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Money

Mimpi Sejuta Rumah Jangan Hanya Tinggal Mimpi

18 November 2017   00:15 Diperbarui: 18 November 2017   00:22 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Ikhtiar pemerintah untuk mengurangi kekurangan pasokan rumah (backlog)dengan program "Sejuta Rumah" memang patut diapresiasi. Salah satu program andalan pemerintahan Presiden Joko Widodo ini memang sangat bermanfaat disaat harga rumah membumbung tinggi dan tak sanggup dicapai oleh masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Maraknya developer memainkan harga dengan berbagai propaganda dan gimmick marketing membuat mimpi memiliki rumah bagi sebagian orang benar-benar hanya sekadar mimpi belaka. Ditambah lagi banyaknya spekulan tanah yang bermain di lapangan, membuat harga lahan semakin tinggi. Hal ini tentu menyulitkan bagi pengembang rumah subsidi untuk menyediakan rumah. Mereka kehabisan lahan sebagai bahan baku utama untuk membangun rumah rakyat itu.

Defrian Olivia, praktisi properti yang juga anggota Dewan Pertimbangan APERSI Banten, awalnya mengaku sangat otimis pada program pemerintah ini. Hadirnya program "Sejuta Rumah", kata dia,  awalnya menjadi air bagi pelepas dahaga di tengah gurun pemasalahan perumahan. Komitmen pemerintah ini disambut gembira oleh MBR. Para pengembang pun ikut optimis langkah yang diambil pemerintah ini dapat mengatasi permasalahan backlogyang sudah berkarat bertahun-tahun.

"Kami bahkan sangat mengapresiasi Paket Kebijakan Ekonomi Jilid XIII yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatur tentang percepatan proses perijinan untk pembangunan rumah MBR. Artinya ada good willdari pemerintah untuk mengurangi gapkesenjangan rumah ini. Namun di sisi lain pemerintah mengeluarkan PP No.64 Tahun 2016 yang didalamnya diharuskan adanya Sertifikat Laik Fungsi (SLF) untuk rumah MBR pada awal 2018 nanti."

"Ini sangat kontradiktif, di satu sisi pemerintah berkomitmen menyediakan rumah bagi MBR, di sisi lain pemerintah seolah mempersulit pengembang perumahan MBR dengan aturannya sendiri. SLF  ini jelas memperpanjang birokrasi dan bisa saja membuka peluang baru bagi lahan korupsi. Sementara Presiden sangat komit untuk memangkas proses birokrasi yang begitu panjang, sangat bertolak belakang. Dan ini membingungkan bagi kami," ungkap Defrian kepada penulis.

Selain permasalahan birokrasi yang kompleks, Defrian juga menyoroti ketersediaan lahan untuk pembangunan rumah bersubsidi. Menurut dia, saat ini banyak lahan yang telah dikuasai para pengembang besar dan spekulan. Hal ini berimbas pada kenaikan harga rumah yang demikian tinggi, utamanya di kota-kota besar. Bahkan di kawasan-kawasan penyangga Ibukota (sub-urban), seperti Tangerang, Bekasi, Depok dan Bogor harga rumah sudah mulai tak terjangkau oleh MBR.

"Akibatnya, pengembang yang fokus membangun rumah bersubsidi semakin tersisih, lahan yang didapat semakin ke pinggiran sub-urban. Sub-urban saja sudah dipinggir, sekarang lahan yang terjangkau malah dipinggiran sub-urban, jadi semakin jauh. Jauh dari fasilitas dan sangat minim infrastruktur. Apakah pemerintah tega menyediakan kawasan seperti itu untuk para MBR?," tanya dia.

Defrian mengungkap, kekurangan lahan ini akibat tidak tercantumnya lahan-lahan khusus untuk pengembangan rumah MBR dalam masterplan Rancana Umum Tata Ruang dan Wilayah pemerintah daerah. Akibat lanjutannya, banyak lahan yang dikembangkan hanya untuk pembangunan properti komersial. Maka konsekuensi logisnya, pengembang rumah MBR mencari lahan ke pinggiran karena harga lahan di kawasan yang establishtidak bisa untuk membangun rumah subsidi.

"Jika pemerintah benar-benar komit, seharusnya ada solusi untuk ini. Misalnya, dorong pemerintah daerah menyiapkan zonasi-zonasi kawasan rumah MBR dalam Rencana Umum Tata Ruangnya. Revisi perda Tata Ruang dan berikan zona khusus wilayah-wilayah mana saja untuk kawasan MBR. Jadi tidak semua bisa masuk ke zona itu, jika pemodal besar ingin membangun di kawasan tersebut, dia harus membangun rumah bersubsidi, tidak bisa rumah komersil."

"Zonasi ini bisa menjadi langkah positif bagi pemerintah daerah untuk menunjukkan komitmennya pada masyarakat kecil. Jangan dianggap zonasi kawasan rumah MBR ini bakal menciptakan kantong-kantong kawasan kumuh yang baru, itu samasekali salah. Ketika mereka telah memiliki rumah yang layak, fokus mereka untuk menyejahterakan keluarga akan lebih tinggi. Selanjutnya bisa saja kawasan yang tadinya MBR menjadi kawasan menengah karena adanya peningkatan kesejahteraan," jelas Defrian.

Selain itu, lanjutnya, pengembang rumah bersubsidi juga bisa diajak bekerjasama dengan BUMN atau BUMD untuk membangun rumah murah ini. Aset lahan yang dimiliki BUMN dan BUMD mulai diinventarisir, lokasi-lokasi mana saja yang cocok untuk membangun rumah subsidi, lalu rangkul pengembang-pengembang rumah subsidi untuk membangun.

Demikian juga kerjasama pengembang rumah bersubsidi dengan para pengembang kakap. Para taipan properti yang membangun kawasan-kawasan elit diharuskan membangun rumah sederhana, ini jelas tercantum dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2011 tentang perumahan dan kawasan permukiman. Untuk membangun rumah sederhananya, para taipan properti itu dapat menggandeng para pengembang rumah bersubsidi.

"Pertanyaannya, sejauh ini apakah para taipan itu sudah menyiapakan komposisi tersebut dalam satu hamparan? Padahal ini bisa menjadi solusi untuk pengadaan rumah rakyat, karena bagaimanapun undang-undang itu mengatur komposisi perumahan dan kawasan permukiman dengan perbandingan jumlah unit rumah sederhana dengan rumah menengah dan rumah mewah 3 berbanding 2 berbanding 1, dalam satu hamparan. Pengembang besar menyediakan lahan untuk rumah sederhana itu, dan pengembang rumah sederhana yang membangun," ungkapnya.

Permasalahan perumahan rakyat ini memang sangat kompleks, mulai dari birokrasi perijinan, keterbatasan lahan, hingga skema masyarakat yang berhak membeli rumah bersubsidi. Sebenarnya berbagai masalah ini sudah menjadi masalah kronis yang terus menerus terjadi selama ini. Menurut Defrian, hanya kemauan dan komitmen pemerintah sebagai regulator yang dapat mengatasi masalah ini.

"Sebenarnya merumahkan rakyat itu adalah tugas pemerintah bukan tugas swasta, bukan tugas pengembang rumah sederhana. Jelas tercantum dalam Undang-undang Dasar Negara kita, dalam Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan". Ini adalah kewajiban pemerintah, segeralah dibenahi agar mimpi sejuta rumah jangan hanya tinggal mimpi," tutup Defrian.

Tulisan ini sudah dipublish disini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun