Hari ini semua orang gembar-gembor mengaku diri sebagai bakal calon Gubernur DKI. Mulai dari mantan menteri, mantan Ketua MPR, mantan walikota, mantan artis, mantan orang waras.. dan banyak lagi laah yang mengklaim diri. Untungnya tidak ada di situ mantan Presiden. Memang tak salah jika mau, mantan Presiden sekalipun boleh mencalon menjadi Gubernur DKI, siapa tau tahun 2019 bisa naik lagi jadi Presiden. Yah, sejenis batu loncatan lah.
Dari sekian banyak yang mencalon itu, 90 persennya “big mouth”, tak berkaca diri, tak mengukur bayang-bayang setinggi badan. Bagaimana tidak, ada pimpinan partai gurem yang untuk mendudukan wakilnya di gedung dewan saja tak bisa, eh merasa mampu mendudukan diri di kursi gubernur.
Adalagi yang katanya mantan walikota berprestasi, padahal jalanan di kotanya yang tak seberapa besar itu berlubang di sana-sini. Belum lagi tata kotanya yang semrawut. Sang mantan ini mulai ikut mematut-matut diri di depan cermin, pantas juga kalau jadi Gubernur. Kita juga lihat ada mantan artis yang lebih terkenal dengan gosip-gosip murahannya dari pada prestasinya, ikut juga mencalon. Niatnya biar tetap eksis, biar tetap dianggap artis. Ya segitu sajalah contoh orang yang mencalon, tak cukup halaman ini kalau kita bahas satu-persatu. Karena memang pilkada DKI 2017 nanti bukan panggung untuk mereka.
Tahun 2017 itu tahun untuk Ahok dan Sandiaga Uno. Ini adalah pertarungan Jokowi vs Prabowo jilid dua, dan ini akan sangat sengit. Kita seperti de’javu, merasakan aroma pilpres kembali tercium di hidung seluruh masyarakat Indonesia, meski yang memilih hanya warga DKI.
Kisahnya akan kembali terulang dan mirip sekali seperti awal Jokowi didorong-dorong maju menjadi Presiden. Mula-mula PDI-P sama sekali tak berniat, berpikir pun tidak untuk mencalonkan Jokowi sebagai Presiden. Harapan mereka, Megawati masih mampu untuk maju sekali lagi. Tapi suara-suara relawan yang terbentuk karena keinginan perubahan dari masyarakat akhirnya meluluhkan PDI-P.
Begitu juga dengan Ahok hari ini. Suara-suara relawannya mendorong Ahok maju lagi menjadi Gubernur tanpa partai. Relawan ini antisipatif mengumpulkan KTP takut kalau-kalau tak ada satupun partai yang melirik Ahok. Seperti PDI-P dulu, partai-partai dipaksa mau tidak mau mendukung. Dalam bisnis, kalau ini tidak diikuti, namanya melawan keinginan pasar. Dan ini sama saja bunuh diri. Bisa-bisa partainya bangkrut, tak ada pemilih lagi.
Jelas partai tak mau rugi kehilangan sekian banyak suara pendukung Ahok di 2019 nanti. Apalagi Jakarta sangat potensial untuk mendulang suara nasional. Partai paham, banyak pemilih Ahok adalah pemilih mereka juga. Kalau mereka tak mendukung Ahok yang terlanjur disukai, bisa-bisa tahun 2019 mereka melirik partai lain.
Partai tak bakal mau mengambil resiko. Pagi-pagi, Nasdem sudah mengibarkan “bendera putih” ke Ahok. Nasdem menyatakan diri mendukung Teman Ahok meski melalui jalur indpenden. Ahok mengisyaratkan, Hanura dan PAN bakal bergabung. PKB mulai-mulai juga ikut menyerah. Demokrat masih menimang-nimang lagi, menyerah atau melawan. Tapi sepertinya Demokrat tak akan bersama Ahok.
PKS, seperti biasanya akan berada diseberang Ahok, alasannya jelas. Segmen pemilih mereka bukan lah segmen pemilih Ahok. Jadi buat apa mendukung Ahok, toh meski kalah mereka tidak bakal kehilangan pemilih loyal di pemilu 2019. Jadi buat apa mendukung Ahok?
PPP sangat kompleks, sepertinya kubu Djan Faridz masih berkuku. Kubu Romi sebenarnya ingin Ahok, agar mereka tetap mendapat kepercayaan dari Jokowi. Tapi apa daya kubu Djan Faridz bakal membawa gerbongnya bergabung melawan Ahok.
Tinggal partai-partai besar yang belum menentukan pilihan. Ada PDI-P disana, ada Golkar dan ada Gerindra. Sudah dipastikan Gerindra akan mencalon orangnya untuk melawan Ahok. Partai-partai penentang Ahok dengan senang hati bergabung. Gerindra tetap menjadi leadernya. Sandiaga Uno lah orangnya. Calon yang paling menjual dan bagus untuk dipoles melawan Ahok. Bagi Gerindra, ini adalah moment “pembalasan dendam” setelah merasa dikhianati oleh Jokowi dan Ahok.
PDI-P dan Golkar, wuiih dua partai ini unik loh. Keduanya adalah partai pemerintah loh. Jokowi sang Petugas Partai yang sudah superpower ini bisa dibilang kuasai minimal 50 persen pengaruh di PDI-P. Sedangkan Golkar, siapa yangtidak tau Jusuf Kalla adalah mantan Ketua Golkar. Bagaimanapun pengaruh Jk ke Golkar hampir sama seperti pengaruh Jokowi ke PDI-P. Mari kita lihat sama-sama, gerbong PDI-P dan Golkar bakal mengekor di belakang Ahok.
Strategi Ahok yang pastinya sudah mendapat restu Jokowi untuk menggandeng Heru Budi Hartono jelas-jelas menunjukkan diri jika dia didukung Jokowi. Sulit bagi PDI-P untuk tidak ikut di gerbong Ahok. Begitupun dengan Golkar, konflik mereka yang masih terus meruncing mendekati pemilihan calon ketua umum pasti membutuhkan dukungan kekuasaan. Dan mantan ketua umum mereka kini berkuasa sebagai Wakil Presiden. Jelas mereka tak mau mengambil resiko.
Kalau kita lihat statistik kekuatan Ahok vs Sandiaga Uno, partai-partai pendukungnya sangat mirip sekali. Hanya ada beberapa yang berubah haluan, Golkar dan PAN. Demokrat seperti biasa akan berpihak ke Parbowo CS, meski sebagian kadernya akan teriak-teriak mendukung Ahok. See...mirip kan dengan pilpres yang lalu. Tahun 2017 adalah tahunnya Ahok dan Sandiaga Uno, ini hanya cerita tetang mereka berdua, yang menjadi pemanas bagi pertarungan Jokowi vs Prabowo jilid II.
[caption caption="Statistik Ahok vs Sandiaga"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H