Mohon tunggu...
EJK
EJK Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Lepas

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi, Prabowo & Megawati di Pusaran Pilkada DKI

10 Maret 2016   16:41 Diperbarui: 10 Maret 2016   17:00 1344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau kita bedah satu persatu misalnya Ahok, apa latar belakang dia mempertahankan kursi ini? Mungkin salah satunya adalah mempertahankan kebijakan yang sudah dikerjakan saat ini agar konsisten berjalan. Apakah Ahok membidik kursi RI-1? Rasanya tidak. Ahok cukup tau diri dengan kondisinya yang double minoritas. Tapi kalau untuk RI-2, bohong kalau Ahok tidak ngiler.

Yusril, jelas bapak satu ini serius membidik kursi yang lebih tinggi dari sekedar DKI-1. Kalau memang dirinya berniat membenahi Jakarta, kenapa tidak dari dulu? Ketika melihat kursi DKI-1 mampu melontarkan Jokowi ke RI-1, dia berpikir pragmatis jika hal itu akan terjadi pada dirinya. Tapi tentu awalnya menjadi pertanyaan, sekuat apa dia meyakinkan partai-partai untuk mengusungnya, mengingat angka perolehan suara partainya sendiri cukup memprihatinkan.

Sandiaga Uno, sebenarnya pengusaha muda satu inilah yang punya peluang paling besar menantang incumbent. Motivasinya perlu juga kita telusuri. Mapan, dan sudah cukup dipusingkan dengan mengelola perusahaan yang berjibun buat apa ditambah lagi beban memikirkan ibukota yang semrawut? RI-2 bersama Prabowo mungkin juga jawabannya. Dan Gerindra sebagai pengusungnya memiliki peluang sangat besar untuk bergerak kesana-sini menawarkan Sandiaga. Tentu dengan iming-iming joint operation di pemilu 2019. Dan Prabowo adalah otaknya.

Adhiaksa Dault, bapak satu ini mungkin awalnya hanya coba-coba. Istilahnya test the water. Mulai bergerak kesana-kemari dan dia sadar tingkat kepopuleran dan tingkat keterpilihannya rendah. Sampai satu saat bertemu dengan Ahok, memuji Ahok sebagai pemimpin bagus dengan kekurangan bukan bagian mayoritas. Ahok yang memang dasarnya ceplas-ceplos melontarkan pujian itu ke publik. Sakit hatilah sang mantan menpora. Termotivasilah dia menggeser Ahok, meski dia yakin bukan dia orang yang bakal mampu menggeser Ahok nantinya.

Ridwan Kamil, sebenarnya kita tidak perlu membahas tentang bapak ini karena dia sudah menyatakan diri tidak ikut terjun gelanggang. Tapi cukup menarik melihat dramatisasi panjang yang dibentuk Ridwan sampai akhirnya menarik diri. Kita lihat, jika saja bukan Ahok lawannya mungkin Ridwan tak bakal melontarkan pesan sang bunda agar menjadi pemimpin amanah yang menyelesaikan tanggung jawab, pasti dia langsung loncat mengincar DKI-1. Ridwan cerdas, dia menampar Jokowi, Ahok, sekaligus menaikkan namanya sendiri. Meski strategi itu tak efektif karena masyarakat kita pelupa. Sayang, dia melewatkan kesempatan, padahal moment seperti ini tak akan didapat Ridwan dua kali.

Ada nama Ahmad Dhani dan Fahrat Abbas, lupakan saja, tak perlu kita bahas. Kedua orang ini hanya mencari panggung saja. Dan mereka paham apa yang mereka lakukan, mereka sadar diri bukan siapa-siapa. Mereka hanya mencari panggung agar tetap eksis. Berbeda dengan Rhoma Irama yang gede rasa dan menilai diri terlampau tinggi.

Jangan lupakan nama Ganjar Pranowo dan Risma. Kedua nama ini perlu diangkat kembali sejak Ahok mendeklarasikan maju lewat jalur independent. Ahok jelas-jelas seolah menantang PDI-P untuk berhadap-hadapan. Dan hanya dua nama ini dari bilik PDI-P yang kira-kira bakal mampu menyaingi Ahok. Kenapa bukan Djarot? Nama Djarot tidak sekuat kedua kader PDI-P tersebut. Tapi....apa PDI-P betul-betul yakin berhadapan dengan Ahok?

Banyak orang berpikiran bahwa Megawati tersinggung dan sensi dengan Ahok. Megawati tidak sipicik itu. Sebagai orang lama, dia pasti memahami kemana kerasnya arus dukungan saat ini. Masyarakat Jakarta masih melihat Ahok sebagai salah satu solusi permasalahan Ibukota, dan euphoria akan Ahok ini masih bakal panjang. Megawati bakal berpikir ribuan kali untuk berhadap-hadapan dengan Ahok. Apalagi dia sadar, hasil pilkada DKI 2017 akan berdampak pada pemilu legislatif 2019 nanti.

Megawati benar-benar sadar bahwa partainya mampu menjadi mayoritas di DPRD DKI sekarang ini karena Jokowi. Sebelum pemilu legislatif 2014, PDI-P mengajukan Jokowi menjadi Capres sebagai strategi mendulang suara. Secara target partai memang tidak tercapai. Tapi, untuk DKI strategi itu sangat sukses. Terbukti sebelumnya PDI-P hanya punya 11 kursi di DKI, sekarang 28 kursi. Jadi Megawati sadar bahwa rakyat DKI memilih PDI-P bukan karena mereka berhasil menjadi oposisi selama 10 tahun. Tapi lebih dikarenakan ingin Jokowi maju menjadi RI-1.

Ahok sangat sadar akan hal itu, maka digandenglah calon wakil gubernurnya Heru Budi Hartono. Semua orang tau bahwa Heru adalah tangan kanan Jokowi, orang kepercayaan Jokowi saat dia menjadi gubernur DKI. Meski lewat jalur independent, secara tidak langsung Ahok sudah mengumumkan kepada publik bahwa Jokowi berada di belakangnya. Megawati dan sebagaian kader PDI-P sadar kalau mereka dihadapkan Ahok langsung dengan “Petugas Partai” yang sulit mereka lawan.

Serunut cerita kita ini, yang bakal memainkan kartu di pusaran pilkada DKI itu hanya Prabowo, Megawati dan Jokowi melalui Ahok. Partai-partai pemilik kursi DPDRD DKI yang signifikan seperti Golkar, PKS, dan Demokrat hanya akan menjadi penggembira saja, apalagi PPP. Karena itu Lulung tidak kita masukkan dalam nama kandidat di atas, karena tercium aroma napasnya saja pun tidak di arena pilkada DKI 2017 nanti. Jadi pilkada DKI 2017 ini tentang Jokowi, Megawati dan Prabowo. Tak ada Susilo Bambang Yudhoyono disana. Apalagi Aburizal Bakrie.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun