Kemudian Syahrir dipindahkan ke RSPAD Gatot Subroto untuk mendapat perawatan. Setelah membaik, kemudian dipindahkan ke penjara di Jalan Keagungan lalu dipindahkan lagi ke Rumah Tahanan Militer di Jalan Budi Utomo.
Di Rumah Tahanan Militer inilah pada suatu malam, Syahrir pernah ditemukan terkapar di kamar mandi akibat serangan stroke. Tentara tidak segera memberikan pertolongan medis, keesokan harinya barulah dia dibawa ke rumah sakit dan dioperasi. Operasi gagal dan Syahrir tidak lagi bisa bicara.
Tanggal 21 Juli 1965 Syahri berangkat ke Zurich, Swiss untuk berobat setelah mendapat izin dari Soekarno. Meski diizinkan berobat ke luar negri dan biaya perobatan ditanggung pemerintah tapi status Syahrir tetap sebagai tahanan. Setelah bertahan selama 8 bulan lebih, akhirnya Syahrir menghembuskan nafas terakhir di luar negri. Padahal diyakini bahwa dirinya sangat ingin menghembuskan nafas terakhir di negeri yang telah dibesarkannya sekaligus membesarkan namanya ini.
Hatta, sahabat seperjuangannya dalam pidato perpisahan di TMP Kalibata menegaskan bahwa Perdana Menteri Termuda di Dunia (mungkin sampai saat ini rekor itu masih di tangan Syahrir) ini meninggal karena korban tirani :
Sutan Syahrir yang mengandung dalam kalbunya cita-cita besar itu, hidupnya hanya berjuang, menderita dan berkorban untuk menciptakan, supaya rakyat Indonesia merdeka dari segala tindasan.
Ia meninggal dengan tiada mencapainya. Ia berjuang untuk Indonesia Merdeka, melarat dalam perjuangan Indonesia Merdeka, ikut serta membina Indonesia Merdeka, tapi ia sakit dan meninggal dunia dalam tahanan Republik Indonesia yang Merdeka.
Syahrir sang pejuang kemanusiaan, dipuji dan dicintai bahkan oleh tokoh-tokoh yang berpikiran berseberangan dengannya. Lihat saja betapa Panglima Besar Sudirman yang termasuk pendukung berat Tan Malaka memuji The Smiling Diplomat sebagai pemimpin yang jujur dan bercita-cita luhur.
Padahal Sudirman dan Tan Malaka termasuk tokoh yang menolak jalur diplomasi melawan Belanda, sementara Syahrir lebih memilih jalur diplomasi. Tapi beliau (Sudirman) pada saat-saat terakhirnya berpesan pada Sultan Hamengku Buwono IX, “Jangan lupakan Syahrir. Berjuanglah bersama dia, untuk cita-cita Indonesia”.
Syahrir sang pemberani, bahkan tetap tertawa terbahak ketika seorang opsir Belanda menodongkan pistol ke wajahnya. Tidak pernah takut ditangkap dan dibuang Belanda ke tempat-tempat yang luar biasa mengerikan.
Bayangkan bagaimana dia bertahan dalam usia 25 tahun diasingkan Belanda di Nieuw Guinea di tengah hutan belantara, dengan sungai penuh buaya dan nyamuk malaria.
Syahrir sang pahlawan besar, tragis harus mengakhiri lakon hidup yang fantastis sebagai tahanan dari negeri yang diperjuangkannya.