Empat tahun lalu tepatnya 28 Oktober 2019. Sekelompok anak muda dari kalangan Karang Taruna merancang sebuah diskusi memperingati hari sumpah pemuda di atas bukit Sangga Timoro.Â
Tenda dibangun berjejer membentuk persegi, memberi ruang  kosong agar di bagian tengah dapat menggelar matras dan sisa-sisa spanduk sebagai alas.Â
Mereka memantik semangat dengan membuka lembaran sejarah awal kebangkitan pemuda Indonesia. Megaphone dan pantulan cahaya laptop menemani diskusi malam itu.
Anak muda di sana menyebut kampungnya Ujung Aspal, karena  jalan penghubung desa berakhir di Sangga Timoro, kampung yang terletak di bagian utara desa Kampala kecamatan Eremerasa kabupaten Bantaeng.
Sangga Timoro berbatasan langsung dengan hutan lindung yang diakses masyarakat melalui skema  perhutanan sosial. Penghasilan utama masyarakat diperoleh dari pertanian kopi dan cengkeh.Â
Penguasaan lahan yang sebagian besar dikuasai oleh bangsawan menjadikan warga hanya berstatus sebagai petani penggarap dan masuk ke dalam hutan menanam kopi.
Setidaknya terdapat 29 kepala keluarga yang berasal dari Sangga Timoro menanam kopi di kawasan hutan. Kopi menjadi komoditi penting , dalam kawasan hutan desa terdapat sekitar 25 ribu pohon kopi yang ditanam oleh petani Sangga Timoro dengan potensi produksi setara dengan 300 juta per panen.
Berada di atas ketinggian sekitar 1200 Mdpl menjadikan udara sejuk dengan suhu rata-rata 20 derajat Celcius, dan akan sangat dingin pada malam hari. Â
Berbatasan dengan hutan membuat Sangga Timoro memiliki banyak potensi, dari pertanian hingga pemandangan bentang alam, hamparan kebun kopi, dan landscape kawasan hutan lengkap dengan kabut.
Lewat potensi itu anak-anak muda menggalang kekuatan, di Pimpin oleh Jufri, Saso dan beberapa orang lainnya. Â Mereka barusaha mengeksplor kampungnya agar dikenal oleh orang luar. Bahu membahu membangun spot selfie yang terbuat dari bambu. Upaya mereka saat itu menampakkan hasil, orang mulai mengetahui bahwa terdapat tempat yang bisa dikunjungi bernama "Ujung Aspal".
Tidak berhenti sampai di situ, Saso, Jufri dan kawan-kawannya memanfaatkan setiap kesempatan untuk mengasah pengetahuan. Mengikuti beberapa pelatihan yang berkaitan dengan perawatan dan pengolahan kopi, mereka ingin agar kopi yang diproduksi oleh petani di kampungnya dapat diolah sebelum dijual.
Empat tahun telah berlalu saat pertama kali saya bertemu dengan Jufri, Saso, dan kawan-kawannya. Beberapa spot foto Ujung Aspal sudah lapuk tidak terurus. Tapi keyakinan mereka tidak pupus, menurutnya kemajuan hanya dibatasi oleh pengetahuan. Dari petani, Â kopi akan tetap ditanam, hutan tetap lestari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI