[caption id="attachment_164933" align="aligncenter" width="620" caption="Selain di Tangerang, buruh juga berunjuk rasa di Semarang, Jawa Tengah, Rabu (7/12/2011). (KOMPAS/P. RADITYA MAHENDRA YASA)"][/caption] Pemblokiran jalan oleh demonstran buruh yang melakukan unjuk rasa di Cikarang kemarin, merupakan ilustrasi buruk tentang arogansi massa yang merasa berhak melakukan apa saja untuk menyuarakan dan memperjuangkan hak mereka. Banyak alasan yang dapat mereka katakan untuk membenarkan aksi tidak simpatik yang mereka lakukan. Namun sebanyak itu pula alasan yang dapat masyarakat kemukakan untuk mengutuk aksi mereka. Terutama mereka para pengguna jalan yang merasa dirugikan karena terhambat mobilitas mereka. Dan kerugian yang ditimbulkan akibat aksi pemblokiran jalan itu bukan hanya terkait masalah waktu yang tersia-siakan. Tetapi juga terkait dengan masalah uang, dan mungkin... NYAWA! Jika misalnya yang terhambat adalah orang sakit yang sedang meregang nyawa dan harus segera mendapatkan pertolongan medis di rumah sakit! Mungkin sebagai warga negara, para demonstran tersebut merasa berhak untuk menggunakan jalan sebagai panggung aksi mereka. Namun bukankah para pengguna jalan LEBIH BERHAK, karena mereka menggunakan jalan tersebut sesuai dengan peruntukannya? Naif jika mereka tidak tahu, bahwa aksi pemblokiran jalan yang mereka lakukan nyata-nyata merugikan banyak orang. Namun mengapa tetap mereka lakukan? Mungkin mereka berharap masyarakat yang merasa terganggu bisa mengerti, mereka terpaksa melakukan itu untuk memberi tekanan keras kepada pihak-pihak yang mereka sasar. Sebuah tekanan yang mungkin dapat memaksa pihak-pihak tersebut untuk memenuhi tuntutan mereka, atau mau mendengarkan kata-kata mereka. Namun bukankah itu berarti mereka mengambil keuntungan di atas penderitaan orang lain? Bukankah itu sama saja dengan menari-nari di atas kepala orang lain? Kini saatnya mereka berpikir dan mencari jalan agar aksi mereka tidak merugikan orang atau pihak lain. Mereka harus berpikir bahwa tidak ada atau tidak semua orang bisa memaklumi dan menerima secara sukarela kerugian dan ketidaknyamanan akibat aksi mereka. SEKALI LAGI, MEREKA HARUS MULAI BERPIKIR! Atau sebenarnya mereka tidak punya pikiran lagi, dan hanya menyisakan emosi negatif dan sikap arogan?(E. SUDARYANTO-200112)ï¿»
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H