Mohon tunggu...
Eko Sudaryanto
Eko Sudaryanto Mohon Tunggu... Freelancer - Awam yang beropini

Awam yang beropini!

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Diplomasi Es Cendol

26 Juli 2011   15:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:21 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kegilaan saya pada es cendol, dimulai sejak saya berumur 5 tahunan. Setiap kali diajak ibu ke pasar, saya tak pernah melewatkan waktu untuk minta jajan es cendol. Setiap ada penjual es cendol keliling yang lewat depan rumah, saya tak pernah berhenti merengek sebelum dibelikan.

Pokoknya, tak seharipun terlewatkan tanpa menikmati es cendol. Kadang-kadang bapak dan ibu sampai geleng-geleng kepala, karena saya tak pernah merasa bosan minum es cendol.

Namun kecanduan saya pada es cendol, ternyata ada manfaatnya bagi bapak dan ibu. Kadang-kadang hal tersebut mereka gunakan untuk menekan saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Bagi saya waktu itu, asal dapat selalu menikmati es cendol, saya rela melakukan apapun yang diperintahkan ibu. Meskipun hal itu berarti saya harus mau melakukan hal yang paling aku benci, misalnya tidur siang. Sementara dari kamarku sayup-sayup masih terdengar gelak tawa kawan-kawan yang sedang asyik bermain.

Es cendol pula yang ibu jadikan pemikat agar aku mau menjalani ibadah puasa di bulan ramadhan. Saya masih ingat, pada hari pertama puasa, karena sangat lapar dan haus, tengah hari saya minta izin kepada ibu untuk puasa setengah hari saja. Namun hanya dengan memandangku sambil menggoyangkan telunjuk, membuat saya mengurungkan niat untuk berbuka dan berusaha bertahan sampai sore.

Itu pula yang dilakukan ibu, jika saya mengulur-ngulur waktu untuk sholat, atau malas-malasan mengikuti kuliah subuh di masjid. Cukup dengan memandangku sambil menggoyangkan jari, dan tanpa diperintah dua kali saya akan segera melakukan sholat atau pergi ke masjid.

Dalam pikiran saya, goyangan jari telunjuk ibu hanya berarti satu hal: tak akan ada es cendol waktu berbuka puasa!

Sepintas cara yang digunakan ibu terkesan sangat manipulatif. Namun karena selalu diikuti penjelasan yang mudah saya pahami sesudahnya, saya tak pernah merasa telah diperdaya atau ditipu. Justru dengan cara-cara itu, tanpa kesan terlalu menggurui, ibu berhasil menanamkan nilai-nilai luhur agama dan moral ke dalam diri saya. Nilai-nilai luhur yang tak pernah pudar, karena perkembangan zaman.

Terimakasih ibu. Terimakasih atas es cendol, didikan, petuah dan nasehatnya! Saya berjanji tak akan pernah mengecewakan ibu!(E. Sudaryanto-26072011)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun