Mengawali pekan pertama 2013, udara terasa dingin, matahari tersipu malu menampakan sinar untuk menghangatkan pagi. Awan kelabu menggelayuti hari, saya berharap cuaca dan udara memberikan sumbangan dan energi positif. Ternyata setelah sepertiga hari dilewati, curahan hati seorang rekan menggiring saya menguraikan kisahnya dalam tulisan di bawah ini. Curahan hati rekan saya ini menyangkut urusan pekerjaan yang berlarut dan masih menyisakan persoalan untuk dirampungkan.
Urusan yang dimaksud rekan saya meskipun hanya masalah teknis kordinasi semata, membuat saya mencerna kembali dan memahami lebih dalam status twiter seorang marsekal yang di-posting sabtu, 5 Januari 2013, jam 23.33 dan di-posting ulang (retweet) sebanyak lima kali, yaitu Moto yang paling sekarang ini adalah sbb: “Utamakan Gaya daripada Mutu!”.
Rekan saya mengawali curahan hatinya dengan mengisahkan perjalanan dinas ke tanah papua. Penugasan itu sendiri, memang bukan dari instansi tempat dia bekerja, melainkan ‘jatah’ pekerjaan bagi pegawai di kantor pusat. Jatah ini, ternyata sampai minggu pertama desember belum ada tanda-tanda akan dilaksanakan. Jika sampai akhir tahun tidak dilaksanakan, maka pengelola dana harus mengembalikan semua anggaran dan mendapat catatan ‘kurang berprestasi’ yang dapat berujung dengan rotasi ke tempat lain. Sehingga, pengelola dana mulai ‘galau’ dan menetapkan pilihan untuk melibatkan orang di kantor cabang.
Berkat relasi dan jaringan kerja yang dimiliki, rekan saya yang bekerja di kantor cabang mendapat kepercayaan melaksanakan ‘jatah orang pusat’. Penetapan petugas dan waktu perjalanan pun ditentukan hanya selang kurang dari tujuh hari. Sementara wilayah timur Indonesia, termasuk papua di saat menjelang natal yang ditandai dengan kesibukan dan kelangkaan transportasi udara antara wilayah kabupaten harus mendapat perhatian ekstra. Rekan saya yang memiliki hobi travelling tak ragu menerima penugasan, sekalipun persiapan kurang maksimal tanpa waktu cukup untuk mengeksplorasi dan mengumpulkan informasi terkait dengan perjalanan di salah satu kabupaten di wilayah Papua. Penugasan rekan saya ini bukan semata perjalanan biasa dan sendiri, namun ditambah kepercayaan sebagai ketua tim, membawahi tiga personil lain, serta bertanggung jawab mendukung kegiatan yang sama di tiga kabupaten lain yang berbeda.
Satu minggu setelah kembali dan melengkapi laporan yang diperlukan, rekan saya menyerahkan ke kantor pusat bukti bukti perjalanan seperti tiket/boarding pass pesawat, tagihan hotel dan dokumen pendukung lain yang langsung dikelola, kecuali tiga kabupaten lain yang didelegasikan kepada personil lain wakil kantor cabang di papua. Rupanya pekerjaan menyangkut pertanggungjawaban tiga kabupaten yang didelegasikan merupakan awal masalah yang berlarut-larut.
Sebagai ketua tim, rekan saya sungguh-sungguh mengendalikan urusan satu kabupaten yang langsung ditangani, dan tiga kabupaten lain yang didelegasikan serta bertanggungjawab penuh hingga laporan pertanggungjawaban yang diperlukan. Bukti-bukti perjalanan tim satu kabupaten yang dikendalikan langsung dapat diterima termasuk pengembalian dana yang tidak digunakan.
Alhasil, perjalanan dinas satu kabupaten rekan saya selesai, meskipun dinamika di dalam tim memberikan pelajaran tambahan bagaimana menghadapi tipikal/profil mahasiswa tingkat akhir yang memiliki semangat dan idealisme tinggi untuk menerapkan transparansi, dan akuntabilitas. Namun dihadapkan pada upaya menerapkan dan mewujudkan idealism yang tinggi, ‘mahasiswa’ ini lebih berkompeten mengambil pematik api, menyulut dan menghisap dalam-dalam asap rokok seraya mengatakan tidak tahu, atau bahkan berkelit bukan urusan saya karena tidak dilibatkan dari awal.
Sedangkan ketiga kabupaten lain yang didelegasikan, baik laporan dan pertanggungjawaban yang belum selesai bukan mutlak tanggunjawab rekan saya. Minggu ketiga setelah rekan saya dan tim pertama kembali, diberangkatkan tim lain ke papua. Setelah kantor pusat menghubungi rekan saya, disarankan agar laporan tiga kabupaten lain dapat dititipkan kepada tim kedua. Rekan saya tidak berkeberatan bahkan serta merta menghubungi tim kedua untuk berkordinasi dan menyampaikan keinginan kantor pusat agar menerima laporan tiga kabupaten lain yang didelegasikan tim pertama. Pada saat yang sama, suasana memasuki minggu ketiga desember, mendekati perayaan dan libur natal, membuat komunikasi dengan pihak yang menerima delegasi tidak mudah, ditambah kondisi sinyal ponsel di papua tidak ada jaminan mudah dan bisa langsung konek.
Kepada wakil tim kedua, rekan saya melalui tilpon bicara langsung dan mengingatkan agar laporan yang diterima diperiksa dan dipastikan memenuhi kelengkapan yang diperlukan kantor pusat.Wakil tim kedua yang diajak berbicara, selain mengiyakan juga mempertanyakan legalitas dan kewenangan rekan saya mendelegasikan urusan di tiga kabupaten lain. Mendapat pertanyaan seperti itu, sontak rekan saya merasa ‘diajari’ namun tetap dapat menahan emosi dan perasaan terhadap mitra kerja. Di kemudian hari, mitra kerja wakil tim kedua yang ‘mengajari’ rekan saya ternyata adalah bukan pegawai kantor pusat melainkan pihak ketiga yang diminta membantu.
Awal minggu keempat desember, tim kedua menyampaikan titipan laporan tiga kabupaten yang didelegasikan oleh tim pertama. Wakil tim kedua sama sekali tidak memberikan kabar status titipan laporan sudah disampaikan. Setelah laporan diterima, hingga akhir minggu pertama januari kantor pusat pun tidak menghubungi tim pertama yang mendapat penugasan dan mendelegasikan pekerjaan di tiga kabupaten lain. Bahkan ketika awal minggu pertama januari, rekan saya yang menyengajakan diri singgah ke kantor pusat sekaligus menyelesaikan urusan yang lain, menemukan kantor pusat tidak menyinggung masalah tiga kabupaten lain, pengelola dana yang berhubungan langsung dengan pertanggungajawaban bahkan tidak dijumpai di meja kerjanya hingga malam.
Minggu pagi ini (6/1), rekan saya menunjukkan dua SMS salah seorang pengelola dana, pertama : “terkait dengan pemeriksaan … hari senin, mohon SPJ (laporan dan pertanggungjawaban, pen.) di antar hari ini (minggu, pen.) ke kantor pusat…”. SMS kedua: “Kalo saya yg penting SPJ saya beres, itu aja dan ga ada masalah waktu pemeriksaan, koordinasi aja lagi dg pihak di papua yang menerima delegasi”. Rekan saya mengapresiasi kedua SMS tadi cukup panjang seperti yang diperlihatkan sebelum dikirim sebagai balasan: “lha apa yg akan dikordinasikan atau dibereskan kalau gak tahu statusnya (SPJ tiga kabupaten yang dititipkan kepada tim kedua, pen.) … tadi tlp dengan pengelola keuangan juga masih mau dicek (periksa ulang kelengkapan SPJ tiga kabupaten yang sudah diterima, pen.), saya malah harus nunggu mesti ngapain, senin (padahal rabu, pen) kita ketemu sepertinya sudah beres. Saya sendiri anggap titipan kantor cabang ke tim kedua sudah semua, apalagi wakil tim kedua (yang dihubungi, pen.) merasa lebih tahu dan sempat ‘ngajari’ saya (urusan SPJ, pen) *).
Setelah SMS dikirimkan nampak rekan saya kembali ‘sumringah’, kembali menghirup kopi dan goreng ubi manis seraya mengakhiri curahan hati dengan mengarisbawahi sikap dan filosofi dia, yaitu dalam bekerja bukan hanya urusan beres tidak ada masalah, tapi juga hidup tenang. Rekan saya yang bekerja di kantor cabang padahal pernah mengenyam bekerja di perusahaan multinasional dan lembaga international, melihat rekan-rekan kerja di kantor pusat tempat bekerja sekarang, mereka ini dilengkapi fasilitas kerja baik barang pribadi dan inventaris kantor yang ‘high end’ namun ternyata memiliki mutu kerja ‘low end’. Kesimpulan ini seolah mewakili makna: mengutamakan gaya daripada mutu.
Sebelum waktu makan siang menjelang, rekan saya melanjutkan aktifitas akhir pekan yang sudah diagendakan dan mencoba menemuka menu hidangan santap makan siang yang tidak mengutamakan tampilan tapi juga bermutu dan bergizi.
*) nama dan jabatan sengaja disamarkan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H