Mohon tunggu...
Hardy Yang Ya Tao (扬 亚 涛)
Hardy Yang Ya Tao (扬 亚 涛) Mohon Tunggu... Lainnya - Independent Researcher

menekuni dan melibatkan diri aktif dalam praktek pendidikan bagi masyarakat di luar sekolah, terutama berkaitan dengan pendidikan nonformal/informal dan pemberdayaan masyarakat untuk pembangunan wilayah dan daerah http://www.call-hardy.blogspot.com/ Mobile: +62.8562127048

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pesan Imajiner Munir: Belajarlah untuk lebih bermakna

7 September 2011   10:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:10 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Senang sekali mampir ke warung mas, suguhan tulisannya cukup tendensius cermin seorang aktifis muda, cukup galak dan bergolak.Maaf kata jika saya harus menyebut: telah membaca ’subyektifitas’ aktifis”, demikian tanggapan kompasianer atas komentar seorang yang mengaku aktifis .

Saya percaya Almarhum Munir telah membaca pula perjalanan perjuangan Tan Malaka, Soekarno, termasuk membaca jejak langkah tokoh dunia lain dalam memperjuangkan keyakinan di jaman mereka masing-masing. Mereka termasuk kita,bakal menjadi tumbal pemikiran kita masing-masing.Silakan saja hak 'kebebasan' sebagai aktifis dilakukan, namun saya percaya kebebasan ini pun dibelenggu 'tanggung jawab'. Tan Malaka saat itu 'bebas' menggelorakan ide negara Indonesia, begitu pula Sukarno. Pertarungan kebebasan ini tidak hanya dalam wacana dan debat di lingkungan termasuk, bahkan melibatkan dimensi lain.

Perjalanan awal aktifis kampus bagi seorang mahasiswa, biasanya muncul dari kesadaran ‘bebas’ dari budaya sekolah lanjutan, dominasi budaya teaching activity digantikan oleh student activity dalam mengeksplorasi, menemukan pilihan dan memecahkan masalah. Dipompa oleh masa orientasi awal sebagai mahasiswa yang melibatkan kakak angkatan, gelora jiwa muda pun tambah membara. Apalagi jika seorang calon aktifis kampus ini berasal dari keluarga menengah ke bawah. Biaya pendidikan tinggi dan biaya hidup sebagai mahasiswa mendekatkan calon ini pada figur pahlawan pembela kaum miskin. Dalam kejadian lain, masalah HAM bisa menjadi magnitude kuat memberikan alur dan menegaskan sasaran perjuangan.

Sejarah mencatat, kepedulian sosial tinggi pada diri mahasiswa dan generasi muda aktifis telah melahirkan angkatan 08, angkatan 28, hingga angkatan 45 yang banyak berperan menegakkan kemerdekaan. Semua angkatan di masa itu berhadapan dengan personifikasi penguasa yang harus dilawan yaitu penjajah dari luar, sebagian melihat lawan mereka adalah kebodohan tingkat pendidikan masyarakat pada umumnya. Setiap kubu memiliki dasar pijakan kuat untuk memilih sikap sebagai anti penjajah ataupun memilih sebagai kolaborator.

[caption id="attachment_133411" align="alignright" width="300" caption="Demokrasi terburuk lebih berguna daripada Diktator terbagus (fkpolitics.worpress.com)"][/caption] Keadaan seakan berulang, peran penguasa yaitu pemerintah di masa setelah kemerdekaan adalah bangsa sendiri yang memikul tanggung jawab luas dari Sabang hingga Merauke. Penguasa ini – jika benar – membela kepentingan rakyat, tentu tidak mudah melayani kebutuhan beragam karakter, akar budaya dan kehendak yang berbeda. Sedangkan di pihak lain jika hendak disebut oposan , adalah aktifis kampus yang nota bene mahasiswa. Aktifis ini pun bisa dikategorikan dua; anti penguasa dan kolaborator, kelompok anti penguasa banyak dijumpai berasal dari calon kolaborator yang gagal merapatkan diri dengan kehendak penguasa terutama di kampus. Penguasa di kampus bisa rektorat atau kalangan mahasiswa yang terdiri dari senat, dan himpunan, bahkan lembaga kemahasiswaan lainnya.

Interaksi mahasiswa dengan masyarakat disertai kepentingan aktualisasi diri sebagai mahasiswa turut andil dalam menentukan ‘stand position’ seorang bakal aktifis terhadap masalah sosial dan juga masalah personal seperti susah cari pekerjaan, sulit memanfaatkan waktu luang, hingga sulit menerima perbedaan dan kenyataan di luar kampus. Sehingga memunculkan aliran progresif, jika aliran di dalam jiwa ini menemukan arus masyarakat yang menuntut perubahan, maka impuls membangkitkan energi gerak yang turut membebaskan calon aktifis dari kenyataan diri sendiri, kenyataan masyarakat yang didiami dan kenyataan bangsanya. Seakan calon aktifis ini memiliki segala kekuatan untuk merubah zaman bahkan terbang hingga langit ke tujuh. Apalagi jika kemudian, aktifis ini merasa bakal menjadi ‘pesohor’ bahkan rela menjadi ‘tumbal jaman’ menyandang gelar sebagai martir.

Mengambil pelajaran dari perang bisnis, banyak perusahaan besar yang justeru belakangan menggandeng seteru mereka. Jika seorang calon aktifis tetap bersiteguh bersebarangan dengan lawan politiknya, dan tetap bersikap sebagai oposan, maka kepentingan melakukan perubahan akan beralih menjadi keinginan menghancurkan lawan. Padahal tidak sedikit, para aktifis ini kemudian meleburkan diri dengan penguasa, dan kekuasaan yang dimiliki semata-mata untuk memperjuangkan idealisme ketika menjadi aktifis untuk tujuan konstruktif membela ‘kawula alit’.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun