Perkembangan teknologi, khususnya media sosial, telah mempercepat penyebaran narasi politik identitas. Platform seperti Facebook, Twitter, dan WhatsApp memungkinkan informasi dan misinformasi terkait isu identitas menyebar dengan cepat. Fenomena echo chamber (ruang gema), di mana individu hanya terpapar pada informasi yang memperkuat pandangan mereka sendiri, memperkuat polarisasi.
Di dunia maya, hoaks dan ujaran kebencian sering kali memicu ketegangan antar kelompok, memperdalam perbedaan pandangan, dan memperburuk hubungan antar komunitas. Hoaks yang memanipulasi sentimen keagamaan atau etnis sering kali viral dan digunakan untuk memperkuat narasi politik identitas.
3. Elit Politik yang Memanfaatkan Sentimen Identitas
Elit politik sering kali memanfaatkan politik identitas untuk mendapatkan suara, terutama di daerah-daerah dengan sentimen identitas yang kuat. Retorika populis yang mengangkat sentimen mayoritas-minoritas atau memperuncing perbedaan antar kelompok digunakan untuk meraih simpati massa. Kampanye politik yang mengandalkan sentimen identitas ini efektif dalam memobilisasi massa, terutama di masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah atau kurang terpapar informasi politik yang objektif.
Dampak Polarisasi akibat Politik Identitas
1. Perpecahan Sosial
Polarisasi yang muncul akibat politik identitas menyebabkan perpecahan sosial yang signifikan. Masyarakat yang sebelumnya hidup berdampingan secara damai dapat terpecah menjadi kelompok-kelompok yang saling berseberangan berdasarkan identitas mereka. Hal ini terlihat dalam berbagai peristiwa politik, seperti Pilkada DKI Jakarta 2017, di mana hubungan antar kelompok agama dan etnis menjadi tegang.
Ketegangan sosial ini tidak hanya terjadi pada masa kampanye politik, tetapi juga berlanjut dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat menjadi lebih terfragmentasi, dan prasangka antar kelompok meningkat. Polarisasi ini merusak modal sosial yang diperlukan untuk menjaga persatuan dan toleransi di masyarakat.
2. Menurunnya Kualitas Demokrasi
Politik identitas sering kali mengalihkan perhatian dari isu-isu kebijakan publik yang penting. Alih-alih berfokus pada program pembangunan atau solusi atas masalah sosial-ekonomi, perdebatan politik berfokus pada isu identitas yang emosional. Ini menyebabkan diskursus politik menjadi dangkal dan tidak substantif.
Selain itu, penggunaan politik identitas yang berlebihan dapat melemahkan institusi demokrasi. Pemilu yang seharusnya menjadi ajang kompetisi ide dan kebijakan berubah menjadi arena pertempuran identitas, di mana pemilih memilih berdasarkan kesamaan identitas, bukan atas dasar kualitas atau program kandidat.