Nippon cahaya Asia, Nippon pelindung Asia, Nippon pemimpin Asia.
"Dateng lagi?"
"Tengok aja sendiri."
Kakek tua itu datang lagi. Sebagian tetanggaku sudah tidak asing dengan sosoknya. Pahlawan. Kisahnya sudah sering mengudara di langit-langit gang rumahku. Meski begitu, tidak semua telinga di sini tau. Setiap beberapa bulan sekali, beliau pasti datang jauh-jauh dari Sukabumi ke rumahku.
Setiap yang dia katakan adalah mantra. Kalimat dan tutur katanya membius orang-orang di sini, membuat mereka berdecak kagum. Setiap yang dikatakan adalah kejujuran. Setiap intonasinya penuh makna. Terlebih lagi tahun ini usianya genap 88 tahun. Pak Tengsek, seorang saksi hidup tawa dan air mata negeri ini.
Terlihat di depan teras rumahku pak Tengsek yang sedang menuturkan kisahnya dengan menggebu-gebu kepada tetangga dan sanak saudaraku di sini. Tentang anak semata wayangnya yang merupakan seorang jugun ianfu. Hari itu pak Tengsek menceritakan bahwa ketua tonarigumi diperintahkan oleh Dai Nippon mengumpulkan wanita dalam jumlah tertentu untuk dijadikan pemuas hasrat seksual tentara Jepang. Siapa yang melawan pasti tau akibatnya.
"Kalau kepala desa sudah keliling, Rumsanih pasti saya suruh sembunyi. Dimana saja yang penting harus sembunyi!" ujar pak Tengsek dengan raut ekspresi di wajahnya yang sebenarnya sudah penuh keriput, gestur tubuhnya juga sudah sedikit kaku, namun koar suara lansia lantang seakan menjadi ciri khasnya. Haha, mungkin tetangga-tetanggaku yang mendengarkannya lupa kalau dia sedang mendengar seorang kakek tua berusia delapan puluh tahunan.
Apanya yang cahaya?
Apanya yang pelindung?
Apanya juga yang pemimpin?
Setan. Orang-orang Jepang sama saja dengan para Kompeni. Tidak, bahkan lebih buruk. Mereka menculik para perempuan di rumah-rumah, di jalan, bahkan di sawah selagi mereka bekerja. Kala itu menjadi cantik adalah malapetaka.