Mohon tunggu...
A. Dzulfikar Adi Putra
A. Dzulfikar Adi Putra Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Mahasiswa informatika kelahiran 1989 yang belajar terjun ke dunia wirausaha . Suka baca cerpen, dan juga menulis tutorial tentang desain 3D,2D dan artikel-artikel. -learning from the little thing-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tukang Sol Sepatu

12 November 2009   07:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:22 1162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang hari, udara Surabaya tercinta ini sungguh menyengat. Belum lagi macetnya jalanan kota akibat pengerjaan proyek di pinggir jalan. Melewati daerah Kertomenanggal, ada kesejukan yang saya dapat. Melihat sopir truk+keneknya di satu tempat, dan tukang sol sepatu di tempat lain, namun tempatnya berdekatan. Mereka tidur beralaskan koran di bawah pohon rindang di pinggiran sawah. Ah, bayangkan betapa nyamannya mereka, hanya saya lihat sambil lalu, harus melanjutkan mengantar surat ke kantor PWM (Pimpinan Wilayah Muhammadiyah) Jawa Timur. [caption id="attachment_24485" align="alignnone" width="300" caption="truk-sopir-kenek"][/caption] Saat balik, teringat sepatu yang saya pakai sedang jebol alasnya. Teringat tukang sol sepatu tadi, saya pun kembali lagi kesana. Saya bangunkanlah dia (jadi ganggu tidurnya). Tahukah bagaimana tukang sol sepatu yang saya temui itu? Tubuhnya tak lagi muda, rambutnya memutih, kulit coklat terbakar sinar matahari, dan keriput disana-sini. Setelah kuberikan sepatuku untuk diperbaiki, sekedar berbasa-basi kutanyakan “Biasa istirahat siang teng mriki nggeh pak?” (Biasa istirahat siang disini ya pak?). Jawabnya, “Nggih, panas buanget Suroboyo, mriki enak mas, adem” (Iya, panas sekali Surabaya, disini enak mas, sejuk). [caption id="attachment_24484" align="alignnone" width="300" caption="tukang sol sepatu"][/caption] Memang benar kata pak sol sepatu (harusnya kupanggil mbah/kakek , sudah tua pak sol sepatu itu) disitu sejuk. Terasa angin semilir dari arah sawah, walau sawahnya terletak di tengah-tengah perumahan, hanya duduk beralaskan koran, dan beberapa meter dari tempat itu juga jalan raya dengan segala suara deru mobil, namun tak mengganggu kenyamanan berada tempat itu. Saat itu juga bisa kurasakan betapa nikmatnya tidur beralaskan koran, di bawah pohon rindang di pinggir sawah. Bisa anda bayangkan nikmatnya? [caption id="attachment_24487" align="alignnone" width="300" caption="pohon rindang di pinggir sawah Kertomenanggal Surabaya"][/caption] Saat membayar ongkos sol sepatu, karena kembaliannya kurang, maka saya bilang “ndak usah pak kembaliannya”. Dijawabnya dengan mata yang berbinar “suwun yo mas, suwun” (terimakasih ya mas, terimakasih). Ternyata sebegitu berartinya uang yang bagi kita tidak sebegitu berarti. Jadi cobalah untuk menghargai uang yang kita keluarkan untuk senang-senang, masih banyak orang yang kekurangan. Sungguh indah pelajaran yang saya dapat secara tak langsung dari tukang sol sepatu ini, ternyata tak perlu mahal untuk mendapat suatu kenyamanan hidup. Asal anda mau dan tidak malu, itulah kuncinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun