85 Menit Bersama Marzuki Ali
“Sebuah Himpunan Kosong : DPR, Gedung Baru, dan Reformasi Kelembagaan”[1]
Oleh :
Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FEUI 2011[2]
Kamis, 15 April 2011 sekitar pukul 16.10 WIB rombongan BEM Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (BEM FEUI) tiba di ruangan Ketua DPR RI, Bapak Marzuki Alie untuk mengadakan audiensi terkait isu pembangunan gedung baru DPR di kompleks senayan. Kedatangan rombongan bertujuan untuk meminta data primer dari pihak DPR sekaligus menyampaikan sikap BEM FEUI terkait isu tersebut. Bapak Marzuki Alie sendiri menyampaikan penjelasan sesuai dengan peranan Ketua DPR yang termaktub dalam undang-undang. Setelah beramah tamah sebelumnya, diskusi dimulai dengan penjelasan dari Ketua DPR mengenai rencana strategis DPR RI periode 2009-2014.
Rencana strategis yang disusun oleh DPR sendiri merupakan upaya yang dilakukan DPR untuk meningkatkan kinerja anggota dewan sehingga nantinya dapat menaikan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap DPR. Sekedar informasi, berdasarkan hasil polling Kompas pada bulan Oktober 2009, kepercayaan publik (responden) terhadap lembaga legislatif ini sangat rendah yaitu berada dibawah 25 persen. Hal ini tentu bukan berita menggembirakan bagi Marzuki Alie, selaku Ketua DPR yang baru terpilih sehingga beliau mencoba melakukan SWOT analysis dengan beberapa ahli untuk dapat mengetahui kekurangan-kekurangan DPR periode sebelumnya.
Hasilnya diketahui bahwa salah satu kelemahan yang mendasar sejak reformasi 1998 adalah peralihan kekuasaan untuk membuat UU dari pemerintah kepada DPR selaku lembaga legislatif. Dimana perubahan ini merupakan salah satu amandemen UUD yang telah disahkan sebanyak empat kali sejak era reformasi.Namun sayangnya peralihan fungsi tersebut tidak disertai dengan penataan ulang institusi DPR. Akibatnya, DPR belum mampu menjalankan fungsi mereka dengan semestinya. Untuk itu, Marzuki Alie merasa perlu membuat rencana strategis DPR agar kerja DPR ke depanya memiliki tujuan dan arah yang jelas. Ide tersebut ditindaklanjuti dengan rapat bersama anggota dewan lain untuk melakukan pembahasan hingga akhirnya didapatkan kesepakatan bersama. Rencana strategis (renstra) itulah yang akan menjadi pedoman DPR dalam melaksanakan tugas-tugas kenegaraan sehingga diharapkan dapat mengokohkan peran DPR sebagai salah satu pilar demokrasi Indonesia.
Renstra dan Reformasi DPR
Selanjutnya renstra yang merupakan salah satu upaya untuk menciptakan reformasi kelembagaan dalam tubuh DPR dibagike dalam dua hal utama, yaitu reformasi kesekjenan dan reformasi kedewanan. Reformasi kesekjenan terdiri dari tiga hal. Pertama, mengenai pembangunan reformasi keahlian dalam menangai budget office, dll. Kedua, pembangunan legislation center yang berfungsi sebagai pusat database UU sehingga nantinya tidak akan terjadi tumpang tindih dalam pembuatan pasal-pasal UU dan juga UU satu dengan UU yang lainnya. Ketiga, meningkatkan fungsi pengawasan dalam kelembagaan DPR sendiri.
Di sisi lain, reformasi kedewanan akan ditambahkan beberapa staf ahli yang bertugas membantu kerja dari anggota dewan. Hal ini penting terutama saat adanya rapat dengar pendapat (RDP) dengan pemerintah, para anggota dewan telah memiliki pengetahuan yang cukup untuk melakukan analisis laporan yang diterima. Selain itu, yang kedua adalah dibentuknya database pengaduan masyarakat sehingga tiap tahunnya akan diketahui berapa banyak pengaduan yang diterima oleh DPR dan berapa banyak yang telah diselesaikan.
Logika Marzuki Ali
Marzuki Ali berpendapat bahwa untuk melakukan reformasi di tubuh DPR harus dilakukan reformasi menyeluruh. Reformasi DPR tidak akan berhasil tanpa adanya reformasi dari subsistem-subsistem yang ada di DPR dan salah satu subsistem yang harus dibenahi adalah sumber daya manusianya (SDM). Menurut Marzuki Ali, Salah satu permasalahan SDM di DPR adalah tidak mencukupinya kompleks perkantoran DPR bagi para staf DPR sehingga pembangunan gedung DPR adalah bagian dari reformasi DPR khususnya dalam bidang SDM. Keseluruhan proses tersebut harus dilaksanakan secara bersama-sama dan tidak dapat dipisahkan karena masing-masing bagian saling terkait satu sama lain. Untuk itulah, Bapak Marzuki Alie mengajak mahasiswa sebagai kaum intelek agar tidak melihat persoalan gedung baru DPR secara terpisah, melainkan secara utuh (keseluruhan) sebagai bagian dari rencana strategis untuk meningkatkan kinerja DPR. Disinilah penulis menangkap adanya perbedaan pendapat antara BEM FEUI dengan Ketua DPR RI.
Ketua BEM FEUI, Dzulfian Syafrian (Ijul), berpendapat sebaiknya DPR menentukan skala prioritas. Menurut Ijul, saat ini pembangunan gedung baru belum terlihat sebagai kepentingan yang mendesak. Seharusnya DPR lebih fokus pada peningkatan intesifikasi (kualitas anggora DPR) terlebih dahulu dibandingkan ekstensifikasi (pembangunan gedung baru DPR). Pembangunan sumber daya manusia (anggota dewan) yang berkualitas guna mendorong terwujudnya fungsi legislasi, pengawasan, dan budgeting yang lebih baik dapat menjadi prioritas utama dalam reformasi kelembagaan.
Sayangnya, Ketua DPR tetap bersikukuh bahwa pembangunan gedung ini merupakan bagian dari seluruh subsistem yang harus dikerjakan bersama-sama untuk bisa memberikan hasil maksimal. Beliau juga menambahkan bahwa seluruh hal tersebut sudah menjadi prioritas utama saat penyusunan rencana strategis. Perdebatan tersebut diakhiri dengan pernyataan Bapak Marzuki Alie bahwa grand design gedung tersebut sudah ditenderkan oleh DPR periode sebelumnya jadi beliau tidak bertanggung jawab atas hal tersebut. Namun setelah kami memberikan bukti bahwa Grand Design tidak merekomendasikan adanya pembangunan gedung baru melainkan hanya pembuatan grand design kompleks parlemen yang memungkinkan penambahan kapasitas ruangan bagi DPR melalui pengambilalihan aset-aset yang ada di kompleks senayan seperti TVRI dan Manggala Wanabakti. Terkait hal ini beliau tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan selain memberikan dua dokumen terkait tender tersebut. Adapun 2 dokumen yang diberikan hanya berisikan tandatangan Setjen DPR dan tidak ada perwakilan DPR sehingga pernyataan bahwa Gedung DPR adalah berasal dari DPR sebelumnya dapat dikategorikan sebagai kebohongan publik.
Menyoal Luas Lahan dan Anggaran
“Jumlah orang yang diperkirakan akan menghuni gedung-gedung di kompleks senayan 25 tahun mendatang adalah kurang lebih 3000 orang. Gedung yang ada saat ini hanya berkapasitas 800 orang, bagaimana rasionalitasnya? Apa mungkin gedung dengan kapasitas 800 dihuni 3000 orang?”,
- Marzuki Alie-
Pertanyaan berikutnya adalah masalah anggaran yang muncul sebesar 1,8 Triliun dan kemudian turun menjadi 1,1 Triliun. Ketua DPR menuturkan bahwa sesungguhnya keputusan mensahkan anggaran adalah keputusan semua fraksi dalam rapat tersebut, beliau hanya bertindak sebagai representasi suara-suara fraksi. Jadi, jika semua fraksi menyatakan setuju, beliau tidak mungkin menolak hasil kesepakatan bersama.
Turunya anggaran pembangunan gedung baru tersebut dilaksanakan karena melihat banyaknya tekanan dari masyarakat. Akhirnya didapatkan harga per meter persegi untuk masing-masing ruangan “hanya” kurang lebih 7,2 juta rupiah. Beliau juga memberikan perbandingan harga ruangan per meter persegi dengan pembangunan gedung Badan Pengawas Keuangan (BPK) dan Mahkamah Konstitusi (MK) yang notabenenya lebih mahal dibanding rencana pembangunan gedung baru DPR. Argumentasi ini sempat dibantah oleh Ketua BEM FEUI karena lebih murahnya harga/m2 biaya pembangunan gedung baru DPR dapat dijelaskan oleh teori Economic of Scele.[3]
Rombongan BEM FEUI lantas memberikan data dari Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI) perihal luas bangunan baru yang dibutuhkan, yaitu sebesar kurang lebih 80.000 m2. Pada grand design baru, luas bangunan ini melonjak hingga 157.000 m2. Marzuki Alie memberikan alasan bahwa perubahan tersebut terjadi karena adanya perubahan asumsi-asumsi baru yang telah dikonsultasikan dengan para ahli dari UGM, ITB dan UI. Misalnya adalah penambahan jumlah staf hingga 5 orang serta adanya ruang rapat yang dapat digunakan anggota dewan sehingga tidak perlu diadakan rapat di hotel yang justru menghamburkan lebih banyak uang. Untuk itu dibutuhkan ruangan sebesar 111 m2 bagi masing-masing anggota. Marzuki Alie mencitrakan diri bahwa beliau adalah tipe orang yang visioner, tidak hanya melihat DPR dalam jangka pendek (5 tahun ini) saja, melainkan juga untuk 25 tahun mendatang. Beliau dengan percaya diri, bahkan terkesan keras kepala, untuk melakukan reformasi di tubuh DPR. Sayangnya, semangat beliau tersebutbaru terlihat sebatas pembangunan gedung baru DPR saja.
Sesi Terakhir
“Secara Personal saya menolak pembangunan Gedung DPR ini tetapi saya tidak menjamin suara saya adalah suara Demokrat”,
-Marzuki Ali-
Akhirnya setelah salah seorang protokoler memberi tanda bahwa waktu akan habis, rombongan BEM FEUI menyampaikan sikap mengenai pembangunan gedung baru kepada Ketua DPR RI. BEM FEUI sepakat adanya reformasi kelembagaan di tubuh DPR. Dukungan tersebut diberikan guna mengurangi distrust masyarakat dan menjadikan DPR sebagai lembaga yang sehat. Namun, posisi kami, BEM FEUI, tegas bahwa kami tetap menolak pembangunan gedung baru DPR karena momentum yang tidak tepat dimana masih banyak masyarakat yang mengalami kesulitan ekonomi serta kinerja DPR yang belum memuaskan. Pembangunan gedung baru dapat mengakibatkan semakin menurunnya tingkat kepercayaan dalam masyarakat kepada DPR. Kami juga menilai bahwa isu ini jika dibiarkan berlarut-larut dapat mengganggu kinerja DPR sekaligus memakan waktu dan energi masyarakat sehingga lebih baik diselesaikan secepatnya.
Pertanyaan terakhir yang diajukan ketua BEM FEUI adalah mengenai pendapat pribadi Bapak Marzuki Ali tentang pembangunan gedung baru. Beliau menjawab bahwa karena isu ini telah mengganggu privasi serta ketenangan beliau dan keluarga, maka secara pribadi jika bisa memilih beliau akan menghentikan rencana ini. Mengingat rencana pembangunan tersebut adalah keputusan bersama maka pembangunan akan tetap dilanjutkan. Disinilah perlu digarisbawahi bahwa Ketua DPR akan menghentikan proses karena adanya gangguan terhadap dirinya maupun keluarga, bukan disebabkan oleh aspirasi rakyat yang memang menolak rencana pembangunan gedung baru. Sungguh suatu hal yang memilukan, sebagai ketua lembaga yang mewakili seluruh rakyat Indonesia, kepentingan pribadi justru diletakan diatas kepentingan rakyat. Akhirnya, apakah pembangunan gedung baru tersebut akan tetap dilaksanakan tanpa mengindahkan aspirasi masyarakat atau mungkin DPR masih memiliki hati nurani untuk mendengarkan suara rakyatnya? Kita tunggu saja.
[1] Tulisan ini dibuat berdasarkan hasil Audiensi BEM FEUI 2011 dengan Ketua DPR RI Periode 2009-2014, Marzuki Alie pada hari Kamis, 15 April 2011 di Gedung DPR.
[2] Penulis Galuh Iswardani (Wakil Dept. Kastrat BEM FEUI 2011), Editor Dzulfian Syafrian (Ketua BEM FEUI 2011).
[3] Penjelasan mudah terkait Economic of scele adalahsemakin banyak/besar skala produksi maka biaya (cost) yang dibutuhkan akan semakin rendah. Contoh nyata dari economic of scele ini adalah harga-harga barang Cina yang relatif lebih murah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H