Mohon tunggu...
Dzulfian Syafrian
Dzulfian Syafrian Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Researcher at INDEF | Teaching Assistant at FEUI | IE FEUI 2008 | HMI Activist.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Memahami Perbedaan dalam Intra Umat Islam

3 Maret 2011   01:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:07 1695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Dzulfian Syafrian[1]

Siapa yang menyangkal bahwa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, bangsa yang plural. Bangsa yang terdiri tidak hanya berbagai ras, suku, kepercayaan, agama, bahkan aliran agama. Umat islam sebagai penduduk mayoritas di negeri ini pun tidak terlepas dari perbedaan.

Islam di Indonesia sangatlah unik. Begitu banyak variasi aliran/pemikiran di Indonesia. Perbedaan itu bukanlah suatu yang aneh karena memang dalam sejarah perkembangan islam di dunia, islam memang mengalami banyak perbedaan baik dari segi politik dan pemikiran pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW.

Belajar dari Sejarah

Jika ada umat islam yang gamang dalam memahami perbedaan dalam islam, salah satu faktornya mungkin adalah dia kurang memahami atau bahkan tidak mengikuti perkembangan diskursus perkembangan islam khususnya setelah wafatnya Rasulullah SAW. Islam memang telah dijadikan sebagai agama yang paripurna dan penyempurna agama lain sebagaimana dalam firman Allah:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kusempurnakan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhoi Islam sebagai agama bagimu.”, Al-Maidah (5):3

Ayat ini diturunkan ketika Rasulullah sedang menjalankan ibadah Hajji Wadda’ (Terakhir). Ibadah haji terkahir yang ditunaikan oleh Rasul karena tidak lama setelah peristiwa tersebut, Rasul mengalami sakit. Delapan puluh satu hari sejak itu, Nabi Muhammad SAW wafat di usianya yang ke 63 tahun.

Pasca wafatnya Rasul umat islam mengalami kegamangan. Umat islam bertanya-tanya, siapakah yang memimpin kita semua (umat islam) setelah Rasul tiada. Kisruh kekosongan kepemimpinan (Vacuum of Power) di tubuh islam juga disebabkan karena pada saat itu umat islam percaya bahwa Rasul tidak pernah menunjuk secara khusus siapa yang akan menjadi penggantinya. Berangkat dari keyakinan inilah kaum Anshar ketika itu menginisiasi musyawarah untuk menentukan khalifah (pemimpin) di Sagifah Bani Saidah (semacam balairung di Kota Madinah).

Pada awalnya, kaum anshar menunjuk Saad bin Ubadah sebagai pemimpin mereka. Namun, setelah beberapa tokoh Muhajirin mengikuti jalannya musyawarah kemudian jalannya sidang sempat mengalami perdebatan antara kaum Anshar dan Muhajirin. Perdebatan seputar siapakah yang layak menjadi pemimpin umat islam, kaum anshar atau muhajirin?

Untunglah ketika itu Abu Bakar maju kehadapan dan mencoba menjernihkan suasana. Abu Bakar menawarkan solusi bahwa sebaiknya yang memimpin umat islam saat itu ada dua nama yaitu, dua orang tokoh muhajirin: Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah Ibnu Jarroh. Mendengar pidato Abu Bakar tersebut kemudian Sahabat Umar berkata:

“tidak! Tidak mungkin saya diangkat sebagai pemimpin satu kaum sedang kaum itu ada engkau (Abu Bakar)”.

Lalu Umar lanjut berkata,

“Ulurkan tanganmu(Abu Bakar), untuk aku bai’at”, lanjut Umar.

Tak lama setelah Umar berkata seperti itu, seluruh hardirin saat itu setuju dengan usul Umar. Jadilah Abu Bakar saat itu menjadi Khalifah pertama pasca wafatnya Rasulullah.

Napak Tilas Perkembangan Pemikiran Islam

Kisah pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah di atas menggambarkan bagaimana umat islam mengalami kegamangan pasca ditinggalkan oleh Rasulullah. Perbedaan sebelumnya dapat diselesaikan dengan mudah selama Rasul masih hidup. Umat islam pada saat itu cukup bertanya ketika ada hal yang tidak mengerti atau mengadu ketika ada perbedaan satu dengan yang lain kepada Rasul. Dengan segala kharisma, wibawa, dan pengetahuannya Rasul dengan mudah mendamaikan perselisihan di antara intra umat islam.

Islam memang satu, namun begitu banyak aliran atau varian dalam berislam. Hal ini dikarenakan memang dikursus tentang islam terus terjadi pasca wafatnya Rasul. Berbagai macam pembaharuan-pembaharuan pemahaman islam terus dilakukan oleh para ulama terdahulu. Nama-nama beken seperti Al-Hasan Al-Bashri (wafat 110 H/728 H), Abu Hanifah-Imam Hanafi (wafat 150 H/768 M), Malik ibn Anas-Imam Malik (wafat 179 H/795 M), Al-Syafi’i-Imam Syafi’i (wafat 204 H/819 M), dan Ibn Hanbal-Imam Hambali (wafat 241 H/855 M) adalah ulama yang mewarnai wajah, corak, rupa, pemikiran islam saat ini.

Belum lagi para Ulama di abad pertengahan seperti Al-Asy’ari (wafat 300 H/913 M), Al-Farabi (wafat 339 H/950 M), Ibnu Sina-Avicenna (wafat 428 H/1038 M), Al-Ghazali (wafat 505 H/1111 M), Ibn Rusyd (wafat 594 H/1198 M), dan Ibn Taymiyah (wafat 728 H/1328 M). Perbedaan pendapat para ulama tersebut dalam memahami islam bukanlah hal yang tabu. Mereka berargumentasi menggunakan hujjah yang kuat, dalil-dali Qur’an dan Hadits.

Perbedaan pendapat bahkan saling “menyerang” pemikiran satu sama lain juga dilakukan di antara mereka. Contohnya adalah bagaimana Al-Ghazali yang berdiri tegap menantang falsafah, khususnya Metafisika dalam beragama yang dikenalkan oleh Ibnu Sina. Tak lama kemudian pemikiran Al-Ghazali pun kemudian ditantang oleh pemikiran yang dilontarkan oleh Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd mencoba membangkitkan kembali falsafah di kalangan umat islam yang sempat meredup. Walaupun gagal melakukan hal tersebut di tubuh umat islam, pemikiran Ibnu Rusyd sukses mempengaruhi perubahan pemahaman agama (kristen) di Eropa dan membawa Eropa ke era Renaissance.

Itulah beberapa gambaran perbedaan dalam islam baik dalam perbedaan politik (menentukan pemimpin/khalifah) maupun dalam pemahaman agama (diskursus teologi islam). Umat islam di Indonesia seharusnya belajar dari sejarah. Kita jangan lagi mudah dihasut dengan cap-cap pelabelan dia itu Islam A, si Anu islam B. Perbedaan adalah sebuah keniscahyaan, sebuah Sunattullah. Jika Allah menghendaki, sangatlah mudah bagi Allah mejadikan kita menjadi satu tetapi Allah hendak menguji kita dengan kelebihan-kelebihan yang kita miliki. Maka berhentilah menilai-nilai sesama muslim. Yang harus kita lakukan adalah berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan (fastabiqul khairat). Karena kepada Allah-lah kita semua kembali. (Al-Maidah (5):48).

Konsep Persaudaraan dalam Islam

Konsep persaudaraan dalam islam dikenal dengan istilah Ukhuwah Islamiyah. Perbedaan apapun dalam tubuh umat islam selam kita masih dalam satu dalam aqidah dan iman maka kita sejatinya semua adalah saudara. Bagaimakah konsep persaudaraan sesama muslim dalam ajaran islam. Allah telah memberikan gambaran yang jelas bagaimana kita membangun ukhuwah islamiyah dalam surat Al-Hujurat (49):10-14.

sesungguhnya kaum beriman itu semuanya bersaudara, maka damaikanlah antara dua saudaramu (yang berselisih). Dan Bertaqwalah kepada Allah, semoga kamu semua dirahmati-Nya.

Wahai sekalian orang beriman!Janganlan suatu kaum menghina kaum yang lain, kalau-kalau mereka (yang dihina) itu lebih baik daripada mereka (yang menghina). Begitu pula, janganlah para wanita (menghina) para mereka (yang lain), kalau-kalau mereka (yang dihina) itu lebih baik daripadamu, dan jangan pula saling memanggil sesamamu dengan panggilan yang tidak baik. Seburuk-buruk nama adalah nama ialah (nama yang mengandung) kejahatan setelah adanya iman. Barangsiapa tidak bertaubat maka mereka itulah orang-orang zalim (jahat).

Wahai sekalian orang beriman!Jauhilah olehmu banyak prasangka karena sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa (jahat). Jangan pula kamu saling mengumpat sebagian kamu terhadap bagian yang lain. Apakah ada seseorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya dalam keadaan mati, sehingga kamu menjadi benci kepadanya?Dan bertaqwalah kepada Allah.

Wahai sekalian umat manusia!sesungguhnya Kami ciptakan kamu sekalian dari pria dan wanita, dan Kami jadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Mahatahu dan Mahateliti.”, Al-Hujurat (49):10-14.

Ayat itu sudah cukup jelas menjadi pedoman bagi kita dalam memaknai dan membangun persaudaraan sesama muslim. Kewajiban kita semua sekarang adalah mari kita amalkan ayat tersebut. Semoga kita semua tergolong orang-orang yang beruntung dan masuk dalam barisan di belakang Nabi Muhammad SAW di padang mahsyar nanti. Insya Allah. Wallahu a’lam.

[1] Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEUI angkatan 2008. Sekretaris Umum HMI FEUI Periode 2010.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun