Mohon tunggu...
Dzulfian Syafrian
Dzulfian Syafrian Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Researcher at INDEF | Teaching Assistant at FEUI | IE FEUI 2008 | HMI Activist.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mematahkan Argumentasi Dana Aspirasi

13 Juni 2010   03:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:34 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mematahkan Argumentasi Dana Aspirasi

Oleh : Dzulfian Syafrian[1]

Para wakil rakyat di Senayan nampaknya selalu senang membuat sensasi. Belum hilang dalam ingatan kita tentang wacana renovasi Gedung DPR yang konon katanya miring beberapa derajat akibat gempa. Pada waktu itu, DPR mengusulkan dana sekitar 2 triliun untuk merenovasi Gedung DPR. Kini, DPR kembali membuat sensasi baru yaitu isu tentang pemberian uang bagi tiap anggota DPR sebesar 15 miliar per tahun. Dana yang kelak akan menyerap uang negara lebih dari 8 triliun ini disebut dengan dana aspirasi.

Anggota dewan, khususnya Fraksi Golkar, berpendapat bahwa dana aspirasi ini digunakan untuk tujuan pemerataan. Dana aspirasi akan diberikan kepada setiap anggota DPR dan akan didistribusikan di daerah pemilihan (dapil) masing-masing. Dengan adanya dana aspirasi ini, Fraksi Golkar berpendapat bahwa dana ini akan menjamin percepatan dan pemerataan pembangunan di Indonesia.

Sepintas argumentasi yang dibangun oleh Fraksi Golkar memang cukup logis. Meminta dana APBN kemudian akan menyalurkannya kepada masyarakat berdasarkan dapil masing-masing anggota DPR. Pembagian berdasarkan dapil secara tidak langsung memang telah mengalokasikan dana aspirasi ke seluruh Indonesia. namun, pertanyaannya adalah sudah tepatkah dana aspirasi ini berdasarkan aturan dan tata negara republik ini?

Jika kita tinjau lebih dalam, isu dana aspirasi sebenarnya tidak sesuai dengan tata perundang-undangan kita. Setidaknya wacana pemberian dana aspirasi telah menyalahi dua aturan perundang-undangan, yaitu UU No. 23 tahun 2004 tentang Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan dan UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Pertama, dana aspirasi menyalahi kaidah otonomi daerah. Di era otonomi daerah seperti saat ini, Pemerintah Daerah dan DPRD memiliki otoritas yang cukup besar. Salah satu otoritas yang diberikan adalah otoritas dalam menyusun anggaran. UU No. 23 tahun 2004 menyebutkan bahwa otoritas penyusunan pemasukan dan pengeluaran APBD diberikan sepenuhnya kepada lembaga-lembaga di daerah. Pemerintah Daerah dan DPRD bersama-sama menyusun anggaran bagi daerah mereka masing-masing, sedangkan Pemerintah dan DPR pusat tidak memiliki hak untuk mencampuri urusan anggaran daerah.

Kedua, Dana aspirasi juga menyalahi aturan keuangan negara. Argumen yang dibangun oleh DPR adalah dengan menggunakan payung hukum yang digunakan oleh DPR adalah UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara khususnya pasal 15 ayat 3. Benar bahwa DPR dapat mengajukan perubahan terhadap RUU APBN, namun yang perlu dicatat adalah undang-undang ini juga mengatur bahwa pengelolaan keuangan negara dilakukan oleh lembaga eksekutif (Pemerintah), bukan legislatif (DPR). Jadi, DPR tidak memiliki hak untuk melakukan pengelolaan uang negara.

DPR sebaiknya berhenti untuk membuat sensasi. Daripada memperjuangkan dana aspirasi yang null substansi, lebih elok bagi DPR untuk memikirkan bagaimana caranya agar mereka dapat berdedikasi tinggi dan berkontribusi semaksimal mungkin bagi rakyat dan negeri ini. Wahai para anggota dewan, Jangan lagi kalian berulah diluar nalar dan logika sehat karena rakyat Indonesia pasti melihat dan memantau segala tindak-tanduk anda. Sadarilah bahwa masyarakat Indonesia kini sudah sadar dan melek politik. Semoga kalian sadar dan tersadarkan. Amin.

[1] Mahasiswa Ilmu Ekonomi, FEUI, Sekretaris Umum HMI FEUI dan Pusat Studi dan Gerakan BEM UI.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun