Mohon tunggu...
Dzulfian Syafrian
Dzulfian Syafrian Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Researcher at INDEF | Teaching Assistant at FEUI | IE FEUI 2008 | HMI Activist.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menakar Peluang Prabowo

9 Juni 2014   01:26 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:39 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua Umum Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) sekaligus bakal calon presiden Prabowo Subianto (KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO)

Menakar Peluang Prabowo

Oleh Dzulfian Syafrian

[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Ketua Umum Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) sekaligus bakal calon presiden Prabowo Subianto (KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO)"][/caption]

Sedari awal, hampir semua pihak haqqul yaqin alias yakin 100 persen bahwa Jokowi akan menang dalam Pilpres 2014 sebagaimana SBY akan memenangi Pilpres 2009. Lembaga survei apa pun, selalu menempatkan Jokowi di puncak klasemen, sedangkan Prabowo selalu di posisi kedua. Hanya ada satu cara jika Prabowo ingin menjadi presiden: Jokowi tidak maju dalam Pilpres 2014 ini.

Kenyataan pahit bagi Prabowo karena pada akhirnya PDIP resmi mencalonkan Jokowi sebagai capresnya. Prabowo dan tim pun akhirnya mulai bergerak menyerang (offensive). Berbagai serangan mulai dilancarkan oleh Tim Prabowo, kritik-kritik pedas dan keras terhadap Jokowi dilontarkan, bahkan sampai ada yang membuat puisi satire yang menyindir kepemimpinan Jokowi. Prabowo beserta tim mulai gelisah.

Jas Merah: Tripolar

Jangan sekali-kali lupakan sejarah. Itulah salah satu jargon yang paling terkenal dari Bung Karno. Sejarah memberikan pelajaran yang amat berarti. Sejarah mengajarkan hikmah sehingga kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik di masa yang akan datang. Dalam Islam, belajar melalui sejarah dan mengambil hikmah adalah cara dan metode belajar paling efektif.

L’Histoire se repete, sejarah itu berulang. Kira-kira itu pepatah Perancis berpesan. Dalam disiplin ilmu ekonomi (economics), para ekonom pun mulai menempatkan sejarah ekonomi (economic history) sebagai salah satu alat (tools) yang sangat ampuh untuk menganalisis ekonomi saat ini dan memprediksi ekonomi di masa depan. Hal ini dikarenakan hampir setiap kejadian-kejadian penting dalam ekonomi di dunia mempunyai kesamaan pola umum (pattern).

Pola-pola umum ini pun sepertinya juga berlaku di dunia politik. Endang Saefudin Anshari/ESA (1981) dalam disertasinya di McGill University berpendapat bahwa selama tidak ada perubahan fundamental dalam sosiologis masyarakat Indonesia maka peta politik Indonesia tidak akan berubah dari default awalnya, yaitu Pemilu 1955.

Kita tahu bahwa ada 3 kelompok besar (tripolar) dalam pemilu 1955, yaitu PNI (Soekarno), PKI, dan Islam (NU dan Masyumi). Meskipun masih banyak partai lainnya, namun sisanya hanyalah pemain kecil.

Selama jaman Orba juga ada 3 kekuatan, Golkar, PDI dan PPP. Namun, selama periode Orba tidak dapat dijadikan acuan lantaran selama zaman ini politik sepenuhnya didikte oleh Pemerintah. Pemilu hanya basa-basi saja. Tanpa pemilu pun masyarakat tahu, Golkar akan menjadi pemenang dengan Soeharto sebagai presidennya.

Pendapat ESA dalam melihat pola politik di Indonesia nampaknya masih relevan. Ada benang merah yang bisa kita tarik antara pemilu 1955, 1999, dan 2014. Sebagaimana prediksi ESA, politik Indonesia, dulu, kini, dan nanti, nampaknya akan tetap dihiasi oleh 3 kekuatan utama, 1) Kubu Soekarno, 2) Kubu Islam, dan 3) PKI.

Perbedaan mendasarnya adalah entah di mana kekuatan PKI berada dan bersembunyi saat ini. Wajar jika PKI belum berani muncul ke permukaan setelah mereka ditekan secara represif oleh rezim Orba selama puluhan tahun. Selain itu, tidak sedikit masyarakat kita yang belum menerima kehadiran (kembali) PKI di ranah politik secara eksplisit, khususnya kubu Islam.

Perbedaan kedua adalah kekuatan politik Islam semakin terpolarisasi. Pada 1955 poros utama Islam adalah NU dan Masyumi, namun pada Pemilu 1999 dan 2014 ini terpolarisasi menjadi partai-partai (berbasis) Islam, seperti PKB, PPP, PAN, PKS, dan PBB. Di sisi lain, trah Soekarno bereinkarnasi menjadi PDIP. Branding PDIP sebagai penerus perjuangan Soekarno sangat kuat di masyarakat dan memang inilah dagangan utama PDIP di tiap-tiap pemilu.

Bipolar

Bagaimana jika kekuatan tripolar tersebut mengerucut menjadi hanya dua kekuatan utama (bipolar)? Bipolarisasi politik nasional terjadi setidaknya tiga kali, Pilpres 1999, Pilpres 2004 (putaran kedua), dan Pilpres 2014.

Jika terjadi bipolarisasi politik nasional, pola yang terbentuk adalah pertarungan antara Kubu Soekarno versus Kubu Islam. Meskipun frase “Kubu Islam” di sini saya tahu akan kurang pas karena ada sebagian “Kubu Islam faksi NU” yang merapat ke Kubu Soekarno. Dalam konteks Pilpres 2014 adalah PKB dan Pilpres 2004 adalah gerbong Hasyim Muzadi.

Entah apa yang terjadi jika pada Pilpres 1999, poros tengah tidak mencalonkan Gus Dur sebagai capres. Mungkin kejadiannya akan serupa Pilpres 2014 ini di mana PKB (Gus Dur) akan merapat ke Kubu Soekarno (PDIP). Namun, manuver Kubu Islam yang digerakan oleh poros tengah membawa suara PKB untuk bergabung sehingga mampu menjegal Kubu Soekarno (Megawati) untuk menjadi presiden, padahal ketika itu PDIP sudah di atas angin dengan perolehan suara lebih dari 30 persen.

Belajar dari Pilpres 1999, sejak saat itu PDIP mulai menarik simpati dan suara dari sebagian Kubu Islam. Kubu Soekarno sadar bahwa jika terjadi bipolarisasi politik nasional maka pola yang terbentuk adalah Kubu Soekarno versus Kubu Islam. Itulah mengapa pada pemilu 2004 dan 2014 ini, PDIP menggaet Cawapres yang merepresentasikan kekuatan politik Islam.

Peluang Prabowo

Bipolarisasi politik nasional kembali tercipta. Kali ini pertarungan antara Jokowi dengan Prabowo. Bipolarisasi ini adalah buah dari manuver politik Prabowo yang patut diacungi jempol. Prabowo melihat ada dua cara untuk mengalahkan Jokowi, yaitu dengan menciptakan bipolarisasi politik dan mendesain pertarungan sebagaimana Pilpres 1999.

Prabowo berhasil melakukan kedua strategi ini. Pertama, Prabowo mampu memobilisasi politik nasional hanya menjadi dua kekuatan utama, padahal sangat memungkinkan pada Pilpres 2014 ini kita mempunyai 3-4 kandidat.

Kedua, Prabowo mampu menggiring hampir semua kekuatan Kubu Islam merapat ke dirinya. Hanya PKB-lah partai Islam yang merapat ke Jokowi, sisanya PPP, PAN, PKS dan PBB semua merapat ke Prabowo. Pada menit-menit akhir Prabowo juga mendapat jackpot dengan bergabungnya Partai Golkar ke kubunya. Pola yang sangat mirip dengan Pilpres 1999.

Bermodal kekuatan ini, dengan mudah medan pertempuran didesain oleh Prabowo dan tim sebagai pertarungan Kubu Soekarno versus Kubu Islam. Nuansa islami begitu kuat di Kubu Prabowo-Hatta. Lihatlah bagaimana Prabowo-Hatta mencitrakan dirinya, kini kopiah dan kemeja putih selalu melekat dalam tubuh mereka. Kemana pun mereka pergi, pakaian ini nampaknya akan selalu kita jumpai minimal hingga 9 Juli 2014 nanti.

Lihat pula bagaimana deklarasi Prabowo-Hatta didesain. Nuansa islami juga terasa sangat kental.  Pertama, kata “Allah” dan “Insha Allah” terus diucapkan berulang-ulang oleh MC, tidak jarang diselingi gema takbir oleh para hadirin.

Kedua, pembacaan ayat suci Al-Qur’an di deklarasi. Ayat yang dipilih adalah ayat-ayat yang sangat familiar bagi warga NU dan Juga Muhammadiyah, dua ormas Islam terbesar di Indonesia.

Ketiga, Pembacaan Al-Qur’an dilakukan sebelum menyanyikan lagu Indonesia Raya. Hal ini lumrah dilakukan oleh berbagai ormas-ormas Islam di acara-acara resminya.

Melihat konstelasi seperti ini, Kubu Soekarno mulai terdesak. PDIP dengan “terpaksa” harus mencari cawapres yang mampu diterima oleh semua pihak, khususnya kubu Islam. Itulah mengapa JK-lah yang dipilih, the Chosen One. Nama-nama dari kalangan profesional yang sebelumnya digadang menjadi cawapres Jokowi, seperti SMI, Agur Martowardoyo, dan Abraham Samad pun akhinya masuk dalam peti.

Merapatnya PKB dan sosok JK adalah peredam utama dari serangan Kubu Prabowo. Tanpa PKB dan JK, sejarah Pilpres 1999 akan kembali terulang. Di sinilah perjuangan Prabowo lebih berliku dibanding poros tengah pada Pilpres 1999. Meskipun demikian, sejauh ini strategi positioning Prabowo sudah tepat. Jokowi harus waspada akan strategi ini. Jika tidak, bukan tidak mungkin Prabowo dapat menyalip di tikungan akhir.

Mahasiswa Pascasarjana, University of Warwick-UK.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun