Mohon tunggu...
Dzulfalah
Dzulfalah Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia

Mahasiswa pendidikan sejarah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Grand Hotel de Djokja dari Masa Kolonial Hingga Sekarang

28 Desember 2022   01:24 Diperbarui: 28 Desember 2022   01:26 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Grand Hotel de Djokja Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id

Cagar budaya merupakan warisan kebudayaan yang bersifat kebendaan baik bangunan maupun situs. Di Indonesia, salah satu bangunan cagar budaya yang masih beroperasi sampai saat ini salah satunya adalah Grand Hotel de Djokja. Bangunan ini merupakan bangunan hotel yang telah berfungsi sejak zaman kolonial. Selain dikenal dengan bangunannya yang megah, Grand Hotel de Djokja yang saat ini bernama Grand Inna Malioboro juga dikenal atas nilai historisnya karena pernah dijadikan sebagai Markas Besar Utama (MBU) tentara Indonesia yang dipimpin oleh Jenderal Sudirman.

Grand Hotel de Djokja Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id
Grand Hotel de Djokja Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id

Bangunan Grand Hotel de Djokja terletak di Jalan Malioboro No.60, Yogyakarta. Dalam sebuah majalah De Indische Marcuur (edisi 17 Oktober, 1911), pembangunan hotel ini dimulai pada tanggal 10 September 1911. Adapun melalui surat kabar De Express (edisi 18 September 1912) bangunan ini menjadi hotel dengan fasilitas mewah pada masa itu. Peresmian hotel ini dilaksanakan pada tanggal 15 September 1912, melalui surat kabar De Express edisi 23 September 1912, peresmian Grand Hotel de Djokja diumumkan kepada masyarakat.

Sebagai bangunan cagar budaya, Hotel Grand Inna Malioboro/Grand Hotel de Djokja ini memiliki gaya arsitektur Belanda. Sama seperti bangunan Oranje Hotel di Surabaya, bangunan kedua hotel ini bercirikan arsitektur kolonial peralihan. Dengan desain yang mewah serta ciri khas Belanda yang sangat mencolok menjadikan Hotel Grand Inna Malioboro sebagai bangunan yang terkenal akan arsitekturnya.

sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id
sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id

Dalam sejarahnya, hotel ini pernah mengalami renovasi dengan menambah tingkatan pada gedung. Di akhir tahun 1930, tepatnya di bulan September hotel ini mengalami perubahan dari gaya bangunannya. Pada bangunan utama menghilangkan kedua tower pada bagian depan bangunan, mengganti ornamen balustrade dan tympanum dengan lubang ventilasi berupa roster dan jendela berbentuk persegi panjang yang berjajar.

Grand Hotel de Djokja menjadi salah satu hotel favorit yang banyak disinggahi para wisatawan. Nama hotel ini dicantumkan pada buku atau panduan perjalanan ke Yogyakarta. Salah satunya adalah buku Van Stockum's traveller handbook for Dutch East Indies (1930).

Tahun 1942, saat Jepang berkuasa di Hindia Belanda, Grand Hotel de Djokja berganti nama menjadi Hotel Asahi (Matahari Terbit). Hotel ini menjadi lokasi dari penerbitan koran Sinar Matahari. Kepemilikan hotel ini berada di bawah C.V Marba.

Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, pengelolaan hotel Kembali ke pihak Indonesia. Pada November 1946 pemerintah Republik Indonesia membentuk Badan Pusat Hotel Negara (BHPN). BHPN berubah menjadi Badan Hotel Negara dan Tourisme (HONET) pada 1 Juli 1947. HONET bertugas meneruskan pengelolaan hotel-hotel di Indonesia. Di bawah pengelolaan HONET semua hotel di Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Cirebon, Sukabumi, Malang, Sarangan, Purwokerto berganti nama menjadi Hotel Merdeka. Pergantian nama ini juga berlaku pada Grand Hotel de Djokja .

Sejak Desember 1950 Hotel Merdeka berganti menjadi Hotel Garuda. Pergantian nama ini diumumkan oleh pengelola (N.V. Grand Hotel de Djokja) di media massa, yaitu harian Algemeen Indisch dagblad de Preangerbode tanggal 13 Januari 1951.

Pada 1975 sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1975 25 Tahun 1975, Hotel Garuda menjadi Badan Usaha Milik Negara. Pergantian pengelola ini diikuti dengan renovasi hotel dan peningkatan level dari hotel berbintang satu menjadi hotel berbintang empat.

Pembukaan Hotel kembali dilakukan pada 29 Juni 1985, oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada tahun 1987 secara resmi Natour Garuda diresmikan oleh pemerintah melalui Depparpostel sebagai Hotel berkategori bintang empat.

Dalam perkembangan selanjutnya, PT. Natour bergabung dengan PT. Hotel Indonesia International menjadikan PT. Hotel Alam Indonesia. Nama komersial INNA digunakan setelah kegiatan merger ini.

Pada 15 Maret 2017, nama Inna Garuda kembali diubah menjadi Grand Inna Malioboro. Nama ini digunakan hingga saat ini. Bangunan Hotel Grand Inna Malioboro telah ditetapkan sebagai cagar budaya dengan Per.Men Budpar RI No. PM.89/PW.007/MKP/2011. Hotel Grand Inna Garuda mengalami pergantian nama beberapa kali mulai dari Grand Hotel de Djokja, Hotel Asahi, Hotel Merdeka, dan sekarang menjadi Hotel Grand Inna Yogyakarta di bawah Hotel Indonesia Group (HII). Hotel Grand Inna Yogyakarta masih mempertahankan keaslian dari bangunan di beberapa bagian seperti area lobby, sayap kanan dan sayap kiri hotel, serta air mancur. Namun untuk bagian dalam hotel yang lain sudah mengalami perubahan untuk mengikuti perkembangan zaman.

Meskipun sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, Grand Hotel de Djokja dengan arsitektur Belanda ini tentunya memiliki tantangan untuk mempertahankan status bangunan sebagai warisan budaya. Pihak manajemen hotel selalu melakukan pemeliharaan, yaitu upaya menjaga dan merawat agar kondisi fisik Warisan Budaya tetap lestari dan terjaga kondisi aslinya. Kemudian untuk kondisi-kondisi tertentu, pihak hotel melakukan pemugaran, yaitu upaya pengembalian kondisi fisik Benda Warisan Budaya, Bangunan Warisan Budaya, dan Struktur Warisan Budaya yang rusak sesuai dengan keaslian bahan, bentuk, tata letak, dan teknik pengerjaan untuk memperpanjang usianya.

Pengelola hotel tetap melakukan pengembangan, yaitu peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosi warisan budaya serta pemanfaatannya melalui penelitian, revitalisasi, dan adaptasi secara berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan tujuan pelestarian. Hal tersebut dilakukan dengan strategi adaptasi, yaitu upaya pengembangan warisan budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini dengan melakukan perubahan terbatas yang tidak akan mengakibatkan kemerosotan nilai pentingnya atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting. Selain itu, pihak manajemen hotel juga melakukan pengamanan yang cukup ketat dengan upaya menjaga dan mencegah warisan budaya ini dari ancaman dan gangguan yang dapat merusak nilai dari bangunan.

Berkaca pada apa yang membawa Grand Hotel de Djokja menjadi cagar budaya pada saat ini penulis melihat bahwa nilai historis merupakan salah satu nilai terpenting dari berdirinya Hotel Grand Inna Malioboro yang masih ada dan beroperasi hingga saat ini. Dengan dijadikannya sebagai bangunan cagar budaya, memberikan sebuah tanggung jawab bagi kita semua sebagai masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian terhadap warisan budaya. Dengan mengetahui nilai yang dimiliki oleh Hotel Grand Inna Malioboro, mampu memberikan perspektif kepada masyarakat bahwa dengan penjagaan dan pengelolaan yang baik, bangunan yang sudah tua akan tetap memberikan eksistensi dan estetika yang tinggi.

Depan Hotel Grand Inna Malioboro Sumber: Dokumen Pribadi pada Oktober 2022
Depan Hotel Grand Inna Malioboro Sumber: Dokumen Pribadi pada Oktober 2022

SUMBER : 

Ahmad Syarifudin (2018). "Renovasi Hotel Grand Inna Malioboro, Padukan Konsep Modern,Sejarah dan Kolonial." Tribunnews Yogyakarta, 10 Desember 2018, diakses 14 desember 2022

Antara (1990). "Hotel Garuda Yogya Tambah 120 Kamar." Bali Post, 20 januari 1990

Arsip halaman resmi PT Pembangunan Perumahan, diarsip 14 desember 2022

Luqman Hakim (2019). "Grand Inna bangun "ballroom" terbesar di kawasan Malioboro." ANTARA, 26 Desember 2019. Diakses 14 desember 2022 (arsip)

P12 (1985). "Hotel Garuda Diresmikan 29 Juni." Suara Merdeka, 24 Juni 1985

P12 (1985). "Pembukaan Hotel Garda Bertepatan Dengan Peringatan "Yogya Kembali"'."Suara Merdeka, 31 Januari 1985

Pam (1983). "Taman Garda Tak Akan Hilang." KOMPAS, 21 Mei 1983, hal. 8

Ronnie S. Viko (1991). "Hotel Garuda Menyimpan Citra Perjuangan." Kedaulatan Rakyat, 29 Juni 1991

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun