Mohon tunggu...
dzawaata afnan
dzawaata afnan Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Raden Mas Said Surakarta

Diam seperti beban, bergerak nambah beban

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Beberapa Problem Dalam Hubungan Keluarga Pada Lingkungan Sosial

12 April 2023   21:42 Diperbarui: 12 April 2023   22:38 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1. Ekonomi yang berakibat pada KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) 

Problem tentang kelurga tidak akan jauh- jauh dari kaitannya dengan ekonomi, dan percaya tidak percaya kebanyak permasalahan dalam keluarga sumbernya adalah cuan (uang). Sebagaimana masalah terjadinya KDRT karena urusan keuangan, yang awalnya karena perekonomian tidak stabil dan dengan keadaan dimana antara pemasukan dan pengeluaran yang tidak disesuaikan dan di manage dengan baik oleh kedua belah pihak yaitu suami dan istri yang selanjutnya berakibat pengeluaran lebih banyak dari pada pemasukan yang ada entah pihak istri atau suami meminjam uang kepada rentenir atau kepada yang lain. Karena hutang ini membuat permasalahan di keluarga mulai dari perdebatan yang sampai pada KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga). 

Efek samping KDRT ini tidaklah sesederhana itu, bahkan dampaknya pada fisik yang luka karena kekerasan yang diperoleh dan mental yang mengalami guncangan juga. Padahal memgenai mental ini urusannya berkepanjangan bisa hingga tahap trauma. Jadi sadar tidak sadar KDRT berefek bagi setiap orang bahkan anak juga terdampak hal ini. 

Dan untuk solusi mengenai hal ini, perlulah antara suami dan istri saling menyadari bahwa harus saling memahami keadaan satu sama lain, tetap mesyukuri apa yang dimiliki karena perlu disadari bahwa ada yang keadaannya lebih dibawah atau lebih tidak mampu, dan juga harus paham bahwa KDRT urusannya tidak antara suami dan istri tapi juga berimbas pada anak-anaknya. Jadi dari awal dibutuhkan pengertian satu sama lain dan perlulah sebuah pemahaman dan prinsip untuk menjauhi kekerasan kepada sesama manusia juga menjaga dan mengatur emosi masing-masing agar tidak melukai satu sama lain.

2. Perselingkuhan

Selingkuh adalah perilaku yang melanggar kewajiban hubungan dan pada akhirnya merusak kepercayaan dalam hubungan romantis. Oleh karena itu, batas perselingkuhan kedua pasangan bisa berbeda-beda tergantung hubungannya. Secara umum, ada dua jenis perselingkuhan, yaitu perselingkuhan mental dan perselingkuhan fisik. Selingkuh fisik tidak harus disertai keintiman emosional, bisa terjadi di awal, perselingkuhan emosi bisa diakhiri dengan perselingkuhan fisik. Atau sebaliknya, dimulai dengan seks tanpa hati yang emosional. 

Selingkuh adalah keputusan sadar. Hal ini menunjukkan bahwa selingkuh pasti memiliki motif atau alasan tertentu. Sebagian besar alasan perselingkuhan adalah karena mereka merasa tidak puas dan harapan mereka tidak terpenuhi dalam beberapa aspek hubungan. Ini mendorong mencari kepuasan di luar pasangan utama, baik itu kepuasan fisik maupun emosional. 

Ada 8 penyebab utama perselingkuhan, yaitu: Kurangnya pengendalian emosi antar pasangan baik berupa emosi diri maupun berupa emosi nafsu, sikap gengsi satu sama lain yang mana tidak ingin harga dirinya jatuh, kurangnya rasa cinta satu sama lain, komitmen dalam hubungan yang kurang, sikap abai yang dilakukan pasangan atau kurang perhatian, hasrat seksual yang berlebihan dan kurang puas dengan pasangan, dan karena suatu situasi dan kondisi yang menyebabkan hal ini terjadi. 

Efek langsung dari hubungan yang terjadi perselingkuhan tersebut menjadi menegang/merenggang antara pasangan. Selain itu, juga memicu kekerasan dalam hubungan terutama ketika seseorang sudah menikah. Korban perselingkuhan memiliki emosi negatif yang kuat dan intens. Dan perasaan ini dialami pada saat bersamaan. Hingga akhirnya korban bisa merasa marah, kehilangan dan tak berdaya. Hal ini menyebabkan mood korban berubah dengan cepat dalam waktu singkat. 

3. Orang tua yang ikut campur masalah rumah tangga

Ketika sudah menikah, tidak jarang oramg tua masih khawatir kepada anaknya sehingga kekeuh untuk ikut campur dalam urusan rumah tangga anaknya. Pasangan suami istri seharunya sudah memiliki wewenang penuh dalam mengatur rumah tangga mereka tanpa campur tangan orang tua. Dengan orang tua yang terlalu sering ikut campur dalam urusan rumah tangga pasti membiat ketidak nyamana antara pasangan. Menghadapi orangtua yang suka ikut campur urusan rumah tangga anaknya pasti sangat membingungkan juga. 

Dalam sisi lain orang tua hanya ingin agar rumah tangga anaknya berjalan mulus dan lebih baik berdasarakan pengalaman yang dimiliki orang tua. Karena orang tua lebih tahu dan juga paham serta lebih berpengalaman dalan hal rumah tangga karena sudah lama dalan dunia penikahan. Namun sebagai anak dan suaminya pasti mungkin tersinggung jika orang tua terlalu berlebihan dalam menyampaikan keluh kesahnya untuk rumah tangga yang lebih baik.

Menghadapi orangtua yang suka ikut campur urusan rumah tangga Anda pasti membingungkan. Niat mereka mungkin hanya ingin rumah tangga anda berdua berjalan lebih mulus dari yang mereka alami. Mereka juga mungkin merasa lebih tahu, paham, dan berpengalaman dalam hal ini karena sudah lebih lama mengarungi perkawinan. Agar rumah tangga lebih baik tanpa terlalu ada ikut campur orang tua, kita harus saling menyatukan suara dengan pasangan yaitau apa saja hal yang di lakukan untuk menghadapi orang tua harus satu suara agar tidak menyinggung satu sama lain. pasangan perlu membuat batasan kira-kira mana hal yang boleh dicampuri dan mana yang tidak juga cara untuk menyampaikan hal tersebut agar orang tua juga tidak tersinggung. 

Selain itu jika orang tua suka ikut campur urusan rumah tangga anaknya maka jangan malah menjauhinya justu harus lebih mendekatkan diri kepada orang tua dan mertua agar orang tua lebih percaya dengan kehidupan anaknya dan tidak ikut campur lagi. Mengendalikan emosi juga diperlukan untuk menghadapi orang tua yang sering komplain atau ikut campur. Sangat wajar jika merasa kesal saat orangtua atau mertua yang selalu ikut campur urusan rumah tangga. Apalagi jika sudah menyangkut pola asuh anak. Akan tetapi, harus tetap menahan diri untuk tidak meluapkan emosi di depan orangtua atau mertua.

Jadi, jangan terlalu mengambil pusing tentang apa kata orangtua atau mertua. Di sisi lain juga perlu memiliki argumen yang kuat dan masuk akal untuk "menolak" apa yang mertua atau orangtua jika tidak sesuai. Karena orang tua ikut campur urusan rumah tangga pasti ada aasannya yaitu mereka merasa tahu mana yang terbaik. Dengan ini ang jelas dan berdasar, orangtua tidak akan memaksa untuk mengikuti apa yang menurutnya benar.

4. Lingkungan Keluarga yang toxic

Percaya tidak percaya orang tua itu akan bersikap dan bertindak seperti yang dilakukan orang tuanya kepada dirinya yang selanjutnya secara tidak langsung menerapkan hal itu pada anaknya. Dan saat orang tua yang diajar dengan keras oleh keluarganya akan menerapkan hal yang sama pada anaknya tanpa sadar bahwa sebenarnya keadaan saat orang tua menjadi anak dan keadaan anaknya itu jauh berbeda dengan kondisi mental yang berbeda juga. Dengan situasi seperti ini secara tidak langsung orang tua menciptakan keluarga yang toxic untuk sang anak. Toxic sendiri seperti sebuah racun yang menyerang perlahan. Dari lingkungan toxic yang menyebabkan anak tidak nyaman untuk berada dirumah dan berada dilingkungan keluarganya. 

Hal seperti itu sebenarnya secara tidak sadar dilakukan oleh orang tua namun efek sampingnya sangat banyak untuk anak salah satunya adalah anak akan mendidik keturunannya sama seperti apa yang dilakukan orang tua padanya jadi seperti sebuah prinsip mendidik yang menjadi turun temurun. Oleh karena itu dibutuhkan pendidikan Parenting sebelum berencana untuk memiliki anak agar terhindar dari terciptanya keluarga yang toxic untuk anak. 

Jadi untuk solusi dari masalah ini adalah perlunya kesadaran dari orang tua bahwa keadaan sudah berubah dan berbeda dari zamannya, dan dibutuhkan pendidikan untuk menjadi orang tua yang pas dan ideal untuk anak dengan belajar parenting. 

Kelompok 4 :

1. Ira Sagita Dewi (21212117) 

2. Fatimah (212121122) 

3. Achmad Wisanggeni (212121128) 

4. Dzawaata Afnan (212121134) 

Kelas : HKI-4D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun