Piagam Madinah sebagai landasan filosofis Masyarakat Ideal (Nilai-Nilai Demokratis dan Pluralis)
Dalam konteks negara Madinah, inklusif di definisikan sebagai sebuah kota yang terbuka yang menurut pengertian nexcity.org, inclusive city adalah : kota insklusif adalah kota yang secara politik menghargai warganya secara setara,yang miskin didengar suarannya, terlibat dalam proses perencanaan dan penganggaran, dan secara fisik mereka memperoleh akses terhadap layanan dasar bagi kehidupan (Arif Maftuhin, 2017) Sedangkan, menurut Debora (dalam Sitanggang, 2022) Insklusifitas adalah sebuah pengakuan dan penghargaan atas keberadaan atau eksistensi keberbedaan dan keberagaman.
Dari definisi di atas dapat kita simpulkan secara sederhana bahwa pengertian dari inklusif adalah sebuah sikap dimana kita memposisikan diri dalam satu level atau tataran yang sama dengan orang lain, tanpa melihat suku, ras, agama, jabatan, dan hal-hal lainnya.
Dalam konsep paradigma politk Islam kontemporer kita melihat ada suatu pemikiran yang disebut dengan inklusif-subtantif dimana nilai ini dirasa cukup untuk mengakomodasi semua kepentingan minoritas dan mayoritas sehingga dapat menjadi penopang dalam berkehidupan berkebangsaan yang rahmatan lil alamin (Ramadhan, 2022) dimana hal tersebut telah menjawab apa yang menjadi keresahan, Alwi Shihab (1998) yang mengatakan umat harus dibangun dengan landasan satu pemahaman mengenai perbedaan yang merupakan sunnatullah, mengandung semangat pluralisme agama dan toleran.
Berdasarkan analisa nilai-nilai yang terkandung dalam insklusifitas ialah mengajarkan sikap positif, empati, atau inklusif terhadap orang lain tanpa memandang latar belakang, gender, dan perbedaan lain.
Pada hakikatnya nilai-nilai insklusifitas era Rasulullah telah terejawantahkan dalam suatu dokumen atau perjanjian tertulis (kontrak sosial) antara rakyat dengan penguasa yang oleh Jimly Ash-Shidiqqie disebut dengan konstitusi tertulis pertama di dunia yang di sebut piagam Madinah.
Masyarakat Madinah merupakan bukan masyarakat yang homogen (Burhanuddin, 2019) artinya sebagaimana diakui banyak pemikir dan penulis baik dari kalangan Muslim atau pun orientalis yang mengakui bahwa masyarakat Madinah era Rasulallah SAW adalah masyarakat yang haterogen dan beranekaragam (Mulia, 2010).
Oleh sebab itu penghormatan terhadap nilai-nilai pluralitas menjadi hal yang paling menentukan. sebelum peristiwa hijrah terjadi masyarakat yasrib di kenal sebagai masyarakat yang sering berkonflik antar sesamanya. Untuk itu, menurut Engineer (2000) menyebutkan masyarakat yang plural dan majemuk ini senyatanya tidak memiliki suatu penguasa atau pemimpin yang berpengaruh. Seiring waktu berjalan dan konflik yang berkepanjangan dua khabilah besar aus dan khajraz diwakili beberapa orang menemui Rasulullah di bukit Aqobah pada sekitaran tahun 11/12 nubuwah(tahun kenabian) yang melahirkan suatu konsensus yang di kenal dengan sebutan bait al-Aqobah I (Ihsan, 2022). Yang ternyata melahirkan suatu perjanjian kembali yang menitikberatkan pada kesanggupan dua kabilah tersebut untuk menerima Rasulullah beserta kaum muslimin untuk berhijrah ke yasrib. Hal ini kemudian di kenal dengan perjanjian Baitul Aqobah II.
Namun dengan adanya harapan dari kedua kabilah tersebut agar nabi SAW dapat menjadi simbol pemersatu atau pemimpin di negara Madinah. Maka tak heran Asy-syannawi (2006) mengatakan syarat seorang pemimpin khilafah bukan hanya mereka harus seorang muslim atau keturunan quraisy melainkan sifat yang dimilikinnya dapat mempersatukan entitas-entitas yang berkonflik.
hal yang kemudian Rasulullah untuk memenuhi tantangan tersebut meminjam penjelasannya Mulia (2010) adalah dengan mempersaudarakan antara kaum ansar dengan kaum muhajirin. kemudian, menilik keterangan Chalik (2017) bahwa nabi SAW membuat suatu simbol persatuan yang dikenal dengan sebutan masjid Nabawi. Selain itu, dalam pelaksanaan ketatanegaraan dan berkehidupan sosial masyarakat nabi menerapkan atau menginplementasikan inai-nilai pluralitas dan demokratis.
Menurut Harold coward dalam (Tarmizi Taher, 2022) Nilai pluralitas dapat dimaknai sebagai kemajemukan atau tantangan bagi agama-agama. Kemudian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pluralisme adalah keadaan masyarakat yang majemuk, yang memiliki keterkaitan dengan sistem sosial dan politik (tim penyusun, 1996).
Konstitusi piagam Madinah atau yang di sebut juga shahifat al-madinah (amrusi jailani, 2016) adalah perjanjian yang di sepakati oleh Rasulullah SAW sebagai pemimpin besar umat islam (muhajirin dan anshar), dengan beberapa penduduk yahudi Madinah yang terdiri dari berbagai suku dan kabilah. Piagam Madinah dibuat dengan maksud untuk memberikan kepada kaum muslimin waktu itu tentang bagaimana cara bekerja sama dengan penganut agama yang bermacam-macam pada waktu itu yang pada akhirnya menghasilkan kemauan untuk bekerjasama dalam upaya mempertahankan agama.
Pluralitas juga dapat berarti kesediaan untuk menerima keberagaman (artinya) untuk hidup secara toleran pada tatanan masyarakat yang berbeda suku, golongan, agama, adat hingga pandangan hidup. Pluralisme mengindikasikan pada tindakan yang bermuara pada pengakuan kebebasan beragama, kebebasan berpikir, atau kebebasan mencari informasi. Sehingga untuk mencapai pluralisme diperlukanadanya kematangan dari seseorang atau sekelompok orang.
Nilai-nilai demokratis menjadi sesuatu yang fundamental diterapkan dalam berkehidupan politik di Madinah, Menurut Hendri B Mayo (2012) mengemukakan nilai dalam demokratis yaitu:, dalam
- Menyelesaikan persoalan secara damai dan melembaga, dalam hal ini Rasulallah SAW membuat suatu perjanjian dimana hal tersebut merupakan kunci untuk melaksanakan kehidupan yang harmonis dan damai;
- Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai alam suatu masyarakat yang sedang berubah, perubahan yang terjadi diantara masyarakat Yasrib ditopang pula oleh desentralisasi kuasa dari Nabi SAW kepada para pemeluk agama untuk melakukan penegakan hukum sebagaimana apa yang mereka sepakati;
- Menyelenggarakan pergantian pemimpin secara teratur, meski tidak terjadi di era Rasulallah SAW tetapi beliau banyak mendelegasikan para sahabat kepada beberapa wilayah sebagai duta penyebar Islam;
- Â Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman, penghormatan terhadap pluralitas merupakan kunci kehidupan masyarakat Madinah yang haterogen tanpa penghormatan terhadap nilai-nilai ini mustahil masyarakat Madinah mencapai keharmonisan yang didambakan;
- Menjamin tegaknya keadilan.
nilai-nilai yang terkandung diatas kemudian terejawantah dalam tiga hal, yakni: persamaan hak, persaudaraan, dan kebebasan(mulia, 2010). nilai-nilai ini apabila dapat dipegang serta terimplementasi dengan baik maka hasilnya ialah suatu kehidupan harmonis sebagaimana apa yang di dambakan oleh seluruh masyarakat dunia dari dulu hingga masa mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H