Tiongkok mempromosikan identitas sebagai mitra yang ingin membangun masa depan bersama melalui BRI. Namun, kenyataan di lapangan sering kali menunjukkan penyimpangan dari visi ini. Akibatnya, dalam jangka waktu tertentu, kohesivitas ASEAN dapat rentan terancam.
Sementara itu, ASEAN secara keseluruhan menghadapi dilema antara menerima manfaat ekonomi jangka pendek dari BRI dan menjaga kedaulatan serta kesatuan regional. Beberapa negara, seperti Laos dan Kamboja, cenderung menerima BRI dengan antusias karena kebutuhan ekonomi yang mendesak. Namun, negara lain, seperti Malaysia, mengambil pendekatan yang lebih hati-hati untuk menghindari risiko ketergantungan.
Penting untuk kembali ditegaska bahwa BRI adalah program ambisius dengan potensi besar untuk memperkuat konektivitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi global. Namun, di kawasan ASEAN, implementasinya menghadirkan tantangan kompleks.Â
Hubungan antara Tiongkok dan negara-negara ASEAN dalam kerangka BRI mencerminkan kombinasi antara peluang dan risiko. Terutama bagi negara Malaysia. Dampak yang dirasakan, alih-alih menguntungkan, justru memperburuk keadaan. Tantangan inilah yang mesti diantisipasi oleh negara-negara lain di Asia Tenggara.
ASEAN perlu mengambil langkah strategis untuk memastikan bahwa kerja sama dalam BRI membawa manfaat yang adil dan berkelanjutan. Transparansi dalam negosiasi proyek, keterlibatan komunitas lokal, serta upaya untuk menjaga kedaulatan dan kesatuan regional menjadi kunci dalam menghadapi tantangan ini. Dengan pendekatan yang tepat, ASEAN dapat memanfaatkan BRI sebagai alat untuk mendorong pembangunan regional tanpa kehilangan kendali atas kepentingan nasional mereka.
ASEAN juga perlu memastikan bahwa dalm kebijakan regionalnya, perlu bersandar pada kohesivitas dan penghargaan terhadap perbedaan. Sebab, itu yang menjadi nilai ASEAN.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H