Belt and Road Initiative (BRI) merupakan salah satu strategi global di bidang ekonomi yang diinisiasi oleh Tiongkok sejak 2013 di bawah kepemimpinan Xi Jinping. Kebijakan tersebut bertujuan untuk menghubungkan berbagai negara di Asia, Eropa, Afrika, dan kawasan lainnya melalui pembangunan infrastruktur, termasuk jalur kereta api, pelabuhan, dan jaringan perdagangan. Menggunakan nama dan konsep Jalur Sutra kuno, Tiongkok memposisikan BRI sebagai simbol kerja sama internasional yang bertujuan meningkatkan konektivitas global.
ASEAN, sebagai salah satu kawasan yang berdekatan dengan Tiongkok, memainkan peran penting dalam BRI karena tingginya permintaan terhadap infrastruktur dan sumber daya manusia yang melimpah. Proyek-proyek besar seperti East Coast Rail Link (ECRL) di Malaysia menjadi gambaran Tiongkok dalam memperkuat konektivitas ekonomi di kawasan ini. Selain itu, kerja sama dalam proyek seperti Malaysia-China Kuantan Industrial Park menunjukkan bagwa Tiongkok dan negara-negara ASEAN bekerja sama dalam pengembangan ekonomi dan perdagangan.
Tiongkok dalam hal ini turut mempromosikan konsep "jalan perdamaian, kemakmuran, keterbukaan, inovasi, dan penghubung peradaban. Mereka menawarkan visi kerja sama tanpa eksploitasi, saling menghormati kedaulatan, dan kesetaraan ekonomi. Kendati demikian, visi yang diusung tak sejalan dengan fakta di lapangan.
Di Malaysia, misalnya. Meskipun ada proyek-proyek besar seperti ECRL, tantangan yang dihadapi termasuk risiko ketergantungan ekonomi dan ketidakadilan pembagian manfaat. Misalnya, pemerintah Malaysia di bawah Mahathir Mohamad sempat meninjau ulang proyek-proyek BRI karena kekhawatiran akan biaya yang terlalu besar dan potensi ketidakseimbangan ekonomi.
Secara keseluruhan, terdapat beberapa dampak buruk BRI di Malaysia. Pertama, dari sisi ekonomi, keterlibatan Malaysia dalam proyek BRI sering dikaitkan dengan peningkatan utang nasional. Beberapa proyek infrastruktur besar, seperti East Coast Rail Link (ECRL), membutuhkan pembiayaan yang besar dan melibatkan pinjaman dari bank-bank China. Ketergantungan pada utang ini meningkatkan risiko beban fiskal jangka panjang, yang dapat mengancam kedaulatan ekonomi negara. Pada tahun 2016, misalnya, untuk membangun jalur kereta api Timur-Barat, Malaysia mesti berhutang pada Tiongkok sebesar 14 juta dollar.
Kedua, dampak sosial juga menjadi perhatian. Proyek BRI sering melibatkan tenaga kerja asing dari China, sehingga menciptakan ketegangan di antara penduduk lokal yang merasa terpinggirkan. Selain itu, proyek-proyek ini sering kali tidak sepenuhnya mempertimbangkan kepentingan masyarakat setempat, sehingga menimbulkan ketidakpuasan.Â
Tercatat, pada tahun 2022, Malaysia menerima tak kurang dari 3000 pekerja asing yang berasal dari Tiongkok. Hal tersebut membuat Malaysia menjadi salah satu negara dengan pekerja Tiongkok terbanyak di dunia.
Ketiga, dampak lingkungan dari proyek BRI juga cukup serius. Pembangunan infrastruktur skala besar sering kali mengabaikan kelestarian lingkungan, seperti deforestasi dan pencemaran akibat aktivitas konstruksi. Di Malaysia, proyek-proyek BRI telah memicu kekhawatiran terhadap hilangnya ekosistem penting, seperti kawasan hutan dan laut.
 BRI, kendati dipandag sebagai kebijakan ekonomi yang memberikan peluang dan menguntungkan, dampak negatifnya di Malaysia, terutama dalam aspek utang, ketimpangan sosial, dan kerusakan lingkungan, menimbulkan tantangan besar yang perlu ditangani secara serius oleh pemerintah.
BRI membawa manfaat potensial, seperti pembangunan infrastruktur, peningkatan investasi, dan penguatan hubungan perdagangan. Di sisi lain, pendekatan bilateral yang sering dilakukan Tiongkok dalam kerja sama BRI dianggap dapat melemahkan kesatuan ASEAN sebagai organisasi regional. Pendekatan ini berpotensi menciptakan ketergantungan ekonomi yang tidak seimbang dan memperkuat dominasi Tiongkok.
Selain itu, kritik terhadap BRI juga mengemuka terkait isu "jebakan utang." Dalam beberapa kasus, negara mitra BRI harus menghadapi risiko kehilangan kendali atas aset nasional penting jika gagal membayar utang. Hal ini menciptakan kekhawatiran bahwa BRI lebih condong menjadi alat geopolitik Tiongkok.