Mohon tunggu...
Muhammad Dzaky Fauzi
Muhammad Dzaky Fauzi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UPN "Veteran" Yogyakarta

Berminat pada sastra, politik, sejarah, sedikitnya kucing, juga nasinya.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kaisar Michoacan: Dari Penakluk Catalan Sampai Jadi Buronan (1)

29 Juli 2024   14:48 Diperbarui: 29 Juli 2024   14:51 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.skysports.com/football/news/11827/5662617/marquez-close-to-new-deal

Miguel Hidalgo sukses membebaskan Meksiko dari kungkungan Kolonial Spanyol dalam Perang Kemerdekaan pada 1810. Tak kurang dari dua abad, Rafael Marquez balik bertandang ke sisi terluar bagian Utara Kerajaan Spanyol, Catalua, mencuri perhatian di sana, sebelum akhirnya masuk dalam daftar buron Polisi Amerika.

Layaknya sebuah kota, Zamora turut menyimpan denyut nadinya di antara bentang alam yang tersisa. Presa De La Ruz mengalir tenang sepanjang tahun 1979. Gunung Pericutin pun demikian, pulas terlelap sejak letusannya yang terakhir tahun 1952. Zamora seperti sedang menyiapkan sesuatu. Atau lebih tepatnya, seseorang. 

Rafael Mrquez Esqueda mungkin pernah menyangka, dalam salah satu lamunannya, kelak ia memiliki keturunan yang bermain di tim Eropa dan membawa Meksiko ke piala dunia. Bukan hal yang berlebihan, tentu saja. Pada masanya, ia bisa disebut sebagai salah satu ikon sepak bola Meksiko. Maka wajar jika ia memimpikan seorang anak yang akan mengejar capaiannya.

Rafael Mrquez lvarez. Nama pemberian sekaligus gabungan kedua orang tuanya, Rafael Mrquez Esqueda dan Rosa Mara lvarez. Bagi saya, Rafa punya modal yang cukup untuk mengarungi pentas sepak bola Eropa. Ia diasuh oleh tangan dan kota yang tepat. Sejak dini, banyak keputusan berat yang mesti dirinya ambil. Disinilah pentingnya peran kedua orang tua Rafa.

Saat dipanggil untuk bergabung dalam tim Michoacn mewakili Zamora pada turnamen sepak bola domestik yang diadakan Kementerian Pendidikan, misalnya. Saat itu, Ibu Rafa meminta agar anaknya diizinkan cuti dari sekolah selama limas belas hari. Kepala sekolahnya menolak dan memberi Rafa pilihan, bertahan atau keluar dari sekolah. Kedua orang tua Rafa tegas. Mereka kompak memilih untuk menyertakan Rafa dalam turnamen. Pilihan yang kelak mengantarkan Rafa menjadi seorang penakluk Eropa.

Rafa sempat menempuh sekolah sepak bola yang dilatih Ayahnya selepas pensiun dari klub Zamora. Sepanjang turnamen, Rafa menunjukkan bakatnya. Tim Michoacan kandas semifinal. Namun, bakat Rafa terendus Atlas, tim asal Guadalajara yang saat itu tengah mencari bakat muda sepak bola di sekolah-sekolah. 

Sebagai tim sepak bola, Atlas bukan yang terbaik di Meksiko. Mereka bahkan diperolok dengan sebutan Si Bebek Buruk Rupa yang Kecil dan Memalukan. Mengingat, kiprahnya yang selalu stagnan di dasar klasemen dan berujung degradasi. Keputusan berat kembali menerpa Rafa. Di Atlas, ia tak kerasan dan ingin kembali ke Zamora. Melalui sambungan telepon, Rafa meminta pada Ibunya agar dijemput dari Guadalajara. Ibunya mengingatkan Rafa bahwa Atlas dan sepak bola adalah impiannya. Sambungan telepon diputus saat Rafa ingin bicara dengan Ayahnya.

Di bawah asuhan La Volpe, permainan Rafa berkembang di Atlas. Penampilan ciamiknya kemudian mengantarkan Atlas sampai ke final melawan Toluca pada musim panas tahun 1999. Dua tahun sebelumnya, Rafa juga sempat dipanggil oleh Tim Nasional Meksiko untuk melakoni laga persahabatan melawan Ekuador. 

Rafa kembali dipanggil pada laga melawan Chile di gelaran Copa America 1999. Tanpa ia sadari, seusai laga, agen dari AS Monaco, yang sedang mencari bibit unggul sepak bola, menghampiri Rafa dan mengajaknya untuk bergabung dengan tim berjuluk Les Rouge et Blanc, Si Merah dan Putih.

Awalnya kedatangannya ke Monaco, sebagaimana lumrah di kalangan pemain yang baru merumput di liga dan negara baru, Rafa merindukan Meksiko. Namun, itu tak membutuhkan waktu lama. Rafa segera beradaptasi di Monaco. Alhasil, pada tahun yang sama dengan kedatangannya, ia berhasil menjuarai Ligue 1 medio 1999/2000.

Panggung untuk Rafa belum berakhir. Dua tahun berselang, dirinya ditarik untuk memperkuat tim nasional (timnas) Meksiko pada Piala Dunia 2002. Itu merupakan Piala Dunia pertamanya pada usia 23 tahun. Ia diboyong bersama skuad untuk bertarung di grup G menghadapi Italia, Kroasia, dan Ekuador. Pelatih Meksiko saat itu, Javier Aguirre, mempercayakan Rafa sebagai kapten. 

Meksiko jelas tidak diunggulkan. Terakhir kali mereka mentas di piala dunia tahun 1970. Itu pun berhenti di perempat final. Namun, anak asuh Javier bermain seperti tak pernah ada hari esok. Hasilnya, Meksiko berhasil menumbangkan perlawanan Kroasia dan Ekuador serta berbagi skor kontra Italia. Capaian yang mengantarkan mereka merengkuh tujuh poin dan sukses sebagai pemuncak klasemen grup.

Di babak 16 besar, Meksiko datang dengan dada membusung. Dalam benak mereka, Amerika Serikat (AS) bukanlah hambatan berarti. Apalagi jika melihat tren positif di fase grup. Kendati mengejutkan karena berhasil mengalahkan Portugal dengan skor 3-1, AS hanya mampu menorehkan empat poin, hasil imbang melawan Korea Selatan dan tumbang di tangan Polandia. Di sisi lain, Meksiko adalah rival mereka di Utara. Cukup pada Perang 1848 saja Meksiko bertekuk lutut, di lapangan, AS bukan lawan sepadan.

Kepercayaan diri segenap penduduk Meksiko mesti terkubur dalam-dalam setelah melihat konsentrasi Rafa dan kawan-kawan mengendur. Baru 8 menit laga berjalan, Brian Mcbride sukses menyarangkan golnya ke gawang scar Prez Rojas. Terlalu asyik menyerang, di babak kedua, gawang Meksiko kembali terkoyak. Kali ini lewat tandukan Landon Donovan. Tak cukup sampai di situ, Meksiko mesti kembali menelan ludah setelah kapten mereka, Rafa, diganjar kartu merah oleh wasit. Hari itu, harga diri Meksiko lenyap tak bersisa.

Pukulan bagi Rafa kembali menerpa. Kali ini datang dari keluarga. Ayahnya dinyatakan meninggal pada 2 Oktober 2010 setelah berjuang melawan tumor perut dan komplikasi internal. Rafa yang tengah menjalani operasi lutut di Meksiko, dengan maksud agar dekat Ayahnya, di saat bersamaan, diminta Monaco kembali. Banyak keputusan berat yang orang tua Rafa tempuh demi masa depannya. Kini tinggal Rafa seorang yang memutuskan. Sesaat sebelum keberangkatan, di bandara, Rafa mengurungkan niatnya. Ia berbalik meninggalkan bandara  dan memilih untuk menemani Ayahnya.

Ada satu dialog dengan Ayahnya yang masih basah dalam ingatan Rafa. Saat itu, Meksiko sedang mengidap demam Madrid. Tak lain adalah Hugo Sanchez yang jadi penyebabnya. Ia direkrut Real Madrid dengan mahar 1.2 juta poundsterling dari rival sekotanya, Atletico tahun 1985. Ia juga menjadi pemain Meksiko pertama yang merumput di tim Eropa sejak kepindahannya dari UNAM Pumas ke Atletico tahun 1981. 

Dalam satu kesempatan, Rafa berjanji pada Ayahnya akan bermain di Eropa, khususnya untuk tim Hugo Sanchez. Momen itu bertepatan saat Ayahnya telah divonis sakit. Rafa meminta pada Ayahnya agar tetap bertahan supaya dapat melihat dirinya bermain untuk Los Blancos. Ayahnya berkata, sambil menganggap itu sebagai lelucon, "Aku yakin kau pasti bisa."

Dan, benar saja. Satu tahun berselang, namanya terpampang di Camp Nou, kandang Barcelona. Bukan di Santiago Bernabeu. Namun, ia berhasil menunaikan janjinya. Bermain di Eropa, berhadapan dengan tim pendahulunya, Real Madrid.

Bersambung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun