Mohon tunggu...
Muhammad Dzaky Fauzi
Muhammad Dzaky Fauzi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UPN "Veteran" Yogyakarta

Berminat pada sastra, politik, sejarah, sedikitnya kucing, juga nasinya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Komersialisasi Pendidikan: Buah Adopsi Kebijakan Liberalisasi World Trade Organization (WTO)

31 Mei 2024   19:50 Diperbarui: 3 Juni 2024   16:48 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Belakangan, kabar soal kenaikan tarif Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai kampus di Indonesia, ramai menjadi sorotan. Kabar tersebut kian menuai perhatian setelah adanya tanggapan dari beberapa pemangku kepentingan. Salah satu yang menjadi kritik, terutama di kalangan akademis, adalah pernyataan dari Sekretaris Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud-Ristek, Tjitjik Sri Tjahjani, yang mengatakan pendidikan tinggi sebagai pendidikan tersier. 

Menanggapi hal tersebut, berbagai kelompok mahasiswa melayangkan protes dengan beragam cara. Di UGM misalnya, mahasiswa menyerukan agar berkemah di Balairung. Sementara, di media sosial, unggahan-unggahan bernada kritik terhadap Nadiem, selaku Mendikbud-Ristek, acap lalu-lalang di linimasa. 

Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah kebijakan Mendikbud-Ristek yang memicu melonjaknya tarif UKT, merupakan pangkal persoalan? Bagaimana proses terjadinya kenaikan tarif UKT? Lalu, apa kaitannya dengan proses adopsi kebijakan publik di Indonesia?

Sebelum diterapkan, pemangku kepentingan mesti melalui tahap-tahap yang menjadi dasar pembentukan kebijakan. Salah satu tahap yang berpengaruh terhadap proses implementasi kebijakan adalah proses adopsi. Tanpa proses adopsi, kebijakan yang diimplementasikan tidak relevan dan kontekstual. Artinya, membutuhkan alternatif yang telah disesuaikan dengan keadaan di mana persoalan muncul. 

Komersialisasi pendidikan atau tak jarang disebut sebagai industrialisasi pendidikan secara ringkas menggambarkan kondisi di mana lembaga pendidikan, alih-alih fokus pada proses dan mutu pembelajaran, justru mengesampingkannya dan lebih berorientasi pada profit. Kampus, tidak hanya di Indonesia, didorong oleh motivasi untuk mampu bersaing sampai pada tingkat teratas. 

Sehingga, tuntutan untuk mengembangkan kampus, mulai dari infrastruktur sampai kuantitas publikasi, telah terinternalisasi sebagai tujuan. Tentu, bentuk komersialisasi pendidikan tersebut tidak terjadi secara alamiah. Ada faktor yang mendukung praktik komersialisasi pendidikan sehingga lazim diterima.

Akar komersialisasi pendidikan dapat dilacak sampai pada awalnya berdirinya World Trade Organization (WTO), organisasi internasional yang mendorong perdagangan bebas bagi negara yang ingin melakukan kerja sama dengan mengurangi hambatan. Gagasan pembentukan WTO didasari atas kesadaran negara dalam mengatasi dan menyelesaikan sengketa perdagangan melalui mekanisme yang diatur oleh suatu lembaga. 

Keinginan untuk membuka pasar yang dapat diakses oleh seluruh negara timbul setelah mengalami dampak buruk proteksionisme. Negara-negara pasca Perang Dunia (PD II) menyadari bahwa proteksionisme akan menghambat laju pertumbuhan. Di Amerika Serikat (AS), misalnya. Demi melindungi petani lokal, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Smoot-Hawley dengan menaikkan tarif impor sebesar 59,1% pada tahun 1932. Sebaliknya, negara lain turut menaikkan tarif impor barang yang berasal dari AS. 

WTO bukan organisasi perdagangan dunia pertama. Sebelumnya, International Trade Organization (ITO) telah terbentuk pada tahun 1947 sebagai respon negara dalam menghadapi ancaman proteksionisme. Namun, organisasi yang terbentuk berdasarkan Piagam Havana itu gagal setelah Kongres AS enggan meratifikasi karena dianggap akan membatasi keadulatan. Sementara, pada tahun yang sama dengan terbentuknya ITO, di AS, tengah ditetapkan General Agreement on Tarrifs and Trade (GATT) yang diinisiasi oleh 23 negara. Pembentukan GATT dan penolakan terhadap ITO oleh AS melempangkan jalan GATT untuk berjalan. 

Dalam agendanya, GATT menyelenggarakan berbagai perundingan (putaran) tentang perdagangan dengan negara anggotanya. Pada putaran terakhir di Uruguay, GATT baru menyepakati adanya pembentukan lembaga perdagangan yang kemudian dikenal dengan WTO pada 1994. Tak lama setelah berdiri, WTO merumuskan kebijakan General Agreement on Trade in Services (GATS), yang di kemudian hari dikenal sebagai biang liberalisasi pendidikan di berbagai negara, termasuk Indonesia.

GATS bekerja dalam dua belas sektor jasa, diantaranya konstruksi, keuangan, kesehatan, bisnis, transportasi, distribusi, lingkungan, pariwisata, olahraga dan budaya, komunikasi, serta pendidikan. Kedua belas sektor tersebut akan diberi akses oleh negara dengan membuka kesempatan bagi negara lain maupun swasta untuk bekerja sama. Namun, dalam prinsipnya negara dibebaskan untuk memilih sektor apa saja yang akan diberi akses kerja sama. Sehingga, tidak semua sektor mesti diliberalisasi.

Salah satu yang penting untuk diperhatikan dalam proses liberalisasi pendidikan di Indonesia adalah bagaimana adopsi kebijakan WTO tersebut dapat diterapkan. Indonesia resmi menjadi negara anggota WTO pada tahun 1994 yang ditandai dengan adanya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization. Melalui UU tersebut, Indonesia secara otomatis menyepakati GATS sebagai salah satu kebijakan WTO. Pun secara langsung Indonesia membuka kesempatan bagi negara lain untuk melakukan kerja sama di sektor yang telah ditentukan, terutama pendidikan. 

Proses liberalisasi pendidikan oleh Indonesia kemudian ditandai dengan munculnya dua UU di sektor pendidikan, antara lain Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). 

Kedua UU tersebut, acap menuai kritik lantaran dinilai melepaskan tanggung jawab negara pada sektor pendidikan dengan memberi keleluasaan untuk mengelola dana secara mandiri. Perguruan Tinggi (PT), yang tidak masuk dalam program wajib belajar sembilan tahun, dengan adanya UU BHP, mengalami pergeseran orientasi. PT akan berusaha untuk mengejar keuntungan dengan membebankan mahasiswa dengan UKT tinggi, membuat jalur masuk mandiri, sampai mendirikan jurusan yang dinilai sedang diminati oleh pasar. 

Mengetahui bahwa kedua UU tersebut berpotensi mengubah orientasi pendidikan, khususnya bagi PT, MK kemudian menerima permohonan uji materi yang menghasilkan Putusan Nomor 5/PUU-X/2012 (UU Sisdiknas) dan Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 (UU BHP). 

Melalui putusan pertama, negara diminta agar dilakukannya pemerataan pendidikan dan mengalokasikan dana sebesar 20 persen bagi sektor pendidikan. Sementara, pada putusan kedua, negara diperingatkan agar tetap berpegang pada prinsip pendidikan sebagai hak dasar warga negara.

Penerapan UU Sisdiknas dan UU BHP yang bernapaskan semangat liberalisasi merupakan bentuk adopsi kebijakan melalui kesepakatan yang terbentuk pada taraf internasional. Indonesia, sebagai salah satu negara anggota, terikat dalam kesepakatan tersebut. Sehingga, secara langsung, proses adopsi kebijakan, yang mencakup dua belas sektor, mesti diikuti melalui liberalisasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun