Mohon tunggu...
Dzakwan Ariqah
Dzakwan Ariqah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Institut Teknologi Bandung

Senang menulis kalau gabut

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Revolusi AI dan Evolusi Kognitif

2 Februari 2025   00:13 Diperbarui: 2 Februari 2025   00:14 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustasi Manusia dan AI. Sumber gambar: hukumonline

Kecerdasan buatan (AI) kini telah mencapai titik balik yang mengubah peradaban manusia. Dari sekadar alat bantu di industri teknologi, AI telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, memengaruhi cara kita bekerja, belajar, dan berpikir. Baru-baru ini, kehadiran DeepSeek, model AI asal Tiongkok, telah menggeser dominasi Amerika Serikat dalam persaingan global. Ini bukan hanya pertarungan teknologi antara dua raksasa dunia, tetapi juga memunculkan pertanyaan mendasar yakni bagaimana AI memengaruhi perkembangan otak dan pola pikir manusia?  

Dari sisi positif, AI membuka pintu bagi evolusi kognitif manusia. Sejarah menunjukkan bahwa setiap lompatan teknologi selalu diikuti oleh peningkatan kemampuan otak manusia. Misalnya, penemuan mesin cetak meningkatkan literasi, sementara internet membuka akses tak terbatas terhadap pengetahuan. Kini, dengan kehadiran AI seperti DeepSeek, manusia bisa lebih fokus pada berpikir kritis, inovasi, dan kreativitas, sementara tugas-tugas rutin dapat diserahkan kepada mesin.  

Sebuah penelitian dari Harvard University mengungkapkan bahwa orang yang sering berinteraksi dengan AI dalam menyelesaikan tugas kompleks memiliki kemampuan analisis dan pengambilan keputusan yang lebih cepat dibandingkan yang tidak. AI membantu menyaring informasi dan memberikan solusi awal, memungkinkan otak manusia langsung melompat ke tahap pemecahan masalah yang lebih tinggi. Ini mempercepat proses belajar dan memungkinkan kita mengalokasikan energi mental untuk tantangan yang lebih besar.  

Selain itu, AI juga berperan dalam meningkatkan neuroplastisitas, yaitu kemampuan otak untuk beradaptasi dan berkembang. Contohnya, aplikasi AI dalam pendidikan membantu anak-anak memahami konsep sulit dengan cara yang lebih interaktif dan personal. Di bidang medis, AI digunakan untuk mendeteksi gangguan kognitif seperti Alzheimer sejak dini, memungkinkan intervensi yang lebih cepat untuk menjaga kesehatan otak.  

Namun, di balik manfaatnya, ada risiko besar yang mengintai. Salah satunya adalah ancaman terhadap kemampuan berpikir kritis dan kreativitas manusia. Ketergantungan pada AI bisa membuat kita malas berpikir mendalam. Dengan hadirnya AI yang semakin canggih, banyak orang lebih memilih solusi instan daripada menganalisis masalah secara mendalam.  

Sebuah studi dari MIT pada 2024 menemukan bahwa orang yang terlalu sering menggunakan AI untuk menyelesaikan tugas akademik cenderung mengalami penurunan daya ingat jangka panjang dan pemahaman konsep. Ini terjadi karena pola pikir mereka bergeser dari "memahami" menjadi "mengandalkan". Alih-alih berpikir kritis, mereka lebih sering mengandalkan AI untuk jawaban instan tanpa mempertanyakan kebenarannya.  

Selain itu, kemampuan AI dalam menghasilkan konten tulisan, gambar, dan musik bisa membuat kreativitas manusia mandek. Jika kita tidak lagi merasa perlu berlatih berpikir kreatif, apakah kita akan kehilangan esensi imajinasi dan inovasi? Sejarah menunjukkan bahwa karya seni, sastra, dan penemuan ilmiah terbesar lahir dari proses berpikir mendalam. Jika AI mengambil alih proses ini, kita berisiko kehilangan sesuatu yang sangat mendasar: kemampuan untuk menciptakan.  

Dampak Sosial dan Perubahan Pola Pikir. 

AI juga mengubah cara manusia berinteraksi dan memproses informasi dalam kehidupan sosial. Dengan sistem rekomendasi berbasis AI, kita cenderung hanya terpapar pada informasi yang sesuai dengan pandangan kita. Fenomena ini dikenal sebagai "filter bubble" di mana AI menyajikan konten yang disukai pengguna, alih-alih memberikan perspektif yang beragam.  

Akibatnya, manusia semakin terpolarisasi dan kurang terbuka terhadap pendapat yang berbeda. Dalam dunia politik, misalnya, AI bisa memperburuk polarisasi dengan hanya menyajikan berita yang sesuai dengan keyakinan seseorang, mempersempit wawasan mereka terhadap realitas yang kompleks.  

Di dunia kerja, semakin banyak perusahaan menggunakan AI untuk menggantikan manusia dalam tugas analitis dan administratif. Ini menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya keterampilan manusia dalam pengambilan keputusan. Jika terlalu bergantung pada AI, kita bisa kehilangan intuisi dan pengalaman mendalam yang tidak bisa direplikasi oleh algoritma.  


Bagaimana Menyikapi Transformasi AI?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun