Sebagai seorang putra daerah Belitung, pulang ke tanah kelahiran selalu menjadi momen yang penuh haru. Namun, pengalaman saya kembali ke pulau tercinta dari Jakarta kali ini diwarnai keheranan. Bandara H.A.S Hanandjoeddin, pintu gerbang utama Belitung, terasa sepi. Jumlah penerbangan terbatas, hanya segelintir maskapai yang melayani rute ini. Beberapa hari yang lalu, hanya ada tiga penerbangan di bandara yang sempat menjadi salah satu bandara Internasional di Indonesia itu. Bagi saya, apa yang saya alami ini adalah perkara yang bukan hanya fenomena transportasi, tetapi juga cerminan dari banyak persoalan yang menyentuh ekonomi, pariwisata, dan bahkan ancaman dari industri tambang yang marak di bumi laskar pelangi.Â
Bandara yang Sunyi di Pulau yang Kaya
Ketika menginjakkan kaki di bandara yang lenggang, saya tak bisa berhenti berpikir. Bandara H.A.S Hanandjoeddin bukan fasilitas kecil. Dengan infrastruktur yang cukup memadai, bandara ini sejatinya mampu menampung lebih banyak penerbangan. Beberapa tahun yang lalu, bandara ini sempat menjadi kebanggan masyarakat Belitung dengan dijadikannya sebagai salah satu bandara Internasional. Namun, perlahan aktivitas di bandara ini tidak mencerminkan gelar yang melekat di nama bandara ini. Semakin hari, seiring berjalannya waktu aktivitasnya jauh dari keramaian. Wisatawan pasti menurun. Apakah potensi besar Belitung belum dimanfaatkan sepenuhnya? Â
Pulau Belitung dikenal akan keindahan alamnya. Pantai-pantai seperti Tanjung Tinggi, Pulau Lengkuas, dan Danau Kaolin adalah bukti nyata bahwa pulau ini memiliki kekayaan alam yang sulit ditandingi. Namun, terbatasnya penerbangan dan aksesibilitas menjadi penghalang bagi wisatawan. Jika wisatawan sulit datang, bagaimana ekonomi pariwisata bisa bergerak? Â
Ancaman dari Tambang yang Merusak.Â
Namun, yang lebih mengganggu pikiran saya sepanjang penerbangan saat pesawat yang saya tumpangi hendak mendarat, alam seolah menjadi jawaban dari keherenan di tengah kelenggangan sudut-sudut bandara yang saya rasakan. Kenyataan yang harus diterima bahwa di balik keindahan Belitung, ada ancaman nyata yang mengintai: pertambangan timah. Belitung, sejak lama, dikenal sebagai salah satu penghasil timah terbesar di Indonesia. Tambang-tambang ini menjadi salah satu motor ekonomi daerah, tetapi dengan harga yang mahal bagi alam. Â
Lubang-lubang tambang yang ditinggalkan begitu saja menjadi luka menganga di tanah Belitung. Hutan-hutan yang dulunya rimbun kini berubah menjadi kawasan gersang dan tandus. Sungai-sungai yang dulunya jernih perlahan menjadi keruh oleh limbah tambang. Bahkan, ekosistem laut pun tak luput dari dampak buruk, karena aktivitas tambang turut mencemari perairan sekitar. Â
Saya adalah putra daerah yang tidak bisa menutup mata terhadap fakta ini. Saya sadar bahwa tambang bisa menjadi salah satu pekerjaan bagi banyak masyarakat di pulau kamu. Namun, saya juga sadar bahwa memang tambanh memberikan keuntungan ekonomi dalam jangka pendek, tetapi dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat sangat merugikan. Jika dibiarkan, aktivitas tambang ini tidak hanya merusak alam tetapi juga menggerus potensi pariwisata yang seharusnya menjadi solusi berkelanjutan bagi ekonomi Belitung. Â