Mohon tunggu...
Dzakwan Ariqah
Dzakwan Ariqah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Institut Teknologi Bandung

Sedang mengisi waktu luang dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Problematika Bahasa Tak Hanya Sekadar Miskin Kosakata

15 April 2024   00:02 Diperbarui: 15 April 2024   00:07 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu isu hangat yang menjadi sorotan kontroversial warga media sosial belakangan ini adalah mengenai pernyataan yang disampaikan oleh salah seorang content creator bahwa bahasa Indonesia miskin kosakata. 

Pernyataan ini menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat tak terkecuali para pakar ahli bahasa. Penulis menilai apa yang diutarakan oleh tokoh tersebut hanyalah sebuah opini yang bersumber dari pandangan pribadi. 

Para warga net juga mengetahui bahwa tokoh yang berpendapat demikian adalah seorang figur yang memang dikenal dengan kebiasaannya dalam menggunakan bahasa Inggris.

Hanya saja, jika kita telisik lebih dalam, statement tersebut rasanya kurang layak didengar dengan adanya kata yang berkonotasi negatif. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang disampaikan oleh salah satu tokoh bernama Ivan Lanin, pendiri Narabahasa dalam artikel yang dimuat pada ameera.republika.co.id bahwa kata miskin itu bermakna "tidak berharga;serba kekurangan". 

Beliau juga menambahkan bahwa lebih tepat jika untuk mengatakan jumlah kata bahasa Indonesia yang lebih sedikit dari bahasa Inggris.

Selanjutnya, terlepas dari maraknya perbincangan atas statement yang memicu kontroversi tersebut, ada hal yang memang mengkhawatirkan dan patut mendapatkan perhatian lebih. 

Isu yang mewarnai dunia linguistik perlu menjadi bahan perbincangan khususnya dikalangan generasi penerus bangsa agar orientasi berpikir kritis tidak hanya tumbuh pada hal-hal yang penuh sensasi di media sosial, namun lebih dari itu; berkontribusi pada penyelesaian problematika sebagai upaya untuk memakmurkan warisan para pendiri negeri ini.

Bahasa Indonesia sebagai warisan tak ternilai telah menyatukan berbagai perbedaan. Keragaman yang awalnya menjadi hambatan kini berubah menjadi sumber kekuatan dengan adanya bahasa pemersatu bangsa, bahasa Indonesia. 

Kompleksitas perubahan yang bergerak begitu cepat tidak dapat dihindari menuntut kesigapan kita sebagai penutur bahasa untuk proaktif dalam mengatasi berbagai permasalahan yang ada salah satunya adalah rendahnya rendahnya literasi bahasa. 

Rendahnya literasi bahasa adalah salah satu masalah serius saat ini. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Central Connecticut State University AS pada tahun 2016 menyebutkan bahwa Indonesia berada urutan kedua terendah dari 61 negara yang dinilai tingkat literasinya. 

Ini adalah data dari fakta yang menunjukkan bahwa minimnya kesadaran untuk membaca sehingga pemahaman masyarakat terhadap bahasa Indonesia yang baik dan bener masih tertinggal. Rendahnya kesadaran beliterasi membuahkan generasi yang "gagap membaca dan buta menulis".

Rendahnya literasi secara tidak langsung mengakibatkan kurangnya pemahaman akan bahasa Indonesia yang baik dan benar sehingga banyak kita temukan kesalahan dalam berbahasa oleh penutur bahasa Indonesia itu sendiri, baik secara lisan maupun tulisan.

Selain itu dengan perkembangan media sosial membawa banyak dampak negatif seperti berkembangnya bahasa gaul yang membuat generasi saat ini terbiasa mencampuradukkan bahasa. 

Fenomena ini sejatinya telah menjamur di masyarakat. Kendati bahasa gaul dapat memudahkan berkomunikasi, dikhawatirkan juga dapat merusak eksistensi, struktur, dan kaidah bahasa Indonesia yang sesungguhnya. 

Keterbatasan pengetahuan juga ternyata dapat menjadi bukti bahwa masyarakat kita belum mengenal bahasa Indonesia sepenuhnya. Banyak bahasa yang sering digunakan bersumber dari bahasa asing yang melalui proses penyerapan dan berakhir pada pembiasaan masyarakat dalam penggunaanya. Sebagai contoh, masyarakat kita terbiasa dengan sebutan "snack". Padahal sejatinya kata tersebut bukanlah asli bahasa Indonesia. 

Dalam KBBI "snack" disebut dengan kudapan. Masyarakat kita juga tidak terbiasa dengan istilah pelantang suara untuk menyebut mikrofon, pengeras suara untuk speaker, dan masih banyak lagi.

 Mengingat bahwa bahasa Indonesia adalah identitas negara kita, sudah selayaknya kita berusaha semaksimal mungkin dalam upaya melestarikannya. Adanya globalisasi menghadirkan tantangan besar bagi masyarakat Indonesia untuk mempertahankan bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa di tengah pergaulan yang begitu kompleks. Menjunjung tinggi bahasa Indonesia adalah sebuah keniscayaan sebagai pondasi tegaknya identitas bangsa yang beradab. 

Bahasa Indonesia tidak boleh pudar ditengah kompleksitas kehidupan dan kemajemukan perbedaan. Generasi muda yang kini terpapar nyata pengaruh globalisasi dengan munculnya kata-kata gaul dan populer harus sadar bahwa peran mereka dalam menjaga eksistensi bahasa sangat diperlukan. 

Kita harus menanamkan rasa bangga dan disiplin pada berbahasa Indonesia. Hal ini mendorong lestarinya bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah yang benar. Dengan demikian, diharapkan bahasa Indonesia akan mampu tumbuh dan menunjukkan jati dirinya dan tidak pudar oleh kompleknya tantangan global.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun