Mohon tunggu...
Dzakiyyah FauziyahRifat
Dzakiyyah FauziyahRifat Mohon Tunggu... Freelancer - Fakir ilmu yang tertawan dosanya

Mahasiswa aktif pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam peminatan Kajian Islam di Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Potret Islam di Asia Tenggara: Perempuan

26 April 2021   10:20 Diperbarui: 26 April 2021   10:35 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu yang lalu, Indonesia baru saja memperingati Hari Kartini sebagai pengingat bahwa perempuan sudah tidak lagi nomor dua. RA Kartini melambangkan semangat emansipasi perempuan modern Indonesia agar bergerak menuju perubahan yang lebih baik, derajat yang lebih manusiawi. 

Perempuan saat ini telah terbukti memiliki peran dalam berbagai bidang seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya. Terkhusus dalam Islam, mereka dipandang sederajat dengan laki-laki sebagai makhluk Tuhan yang sama-sama memiliki potensi untuk dapat lebih unggul dalam hal ketakwaan dan ibadah. Namun secara kodrati, baik laki-laki dan perempuan memiliki perannya masing-masing yang saling melengkapi satu sama lain.

Di Asia Tenggara Islam tercatat telah masuk sejak abad ke-7. Pengaruhnya pun mencakup berbagai lini kehidupan, termasuk meninggikan derajat perempuan. Setelah sebelumnya perempuan dianggap sebagai makhluk yang hina, dengan hadirnya Islam, perempuan mulai mendapatkan tempatnya. Tulisan ini mencoba untuk mengulas perihal peran perempuan di Asia Tenggara secara umum dan Islam secara khusus.

Masuknya Islam di Asia Tenggara mendapat tanggapan yang berbeda-beda. Seperti di negara Indonesia, Malaysia dan Brunei, Islam mampu menjadi agama yang dianut oleh mayoritas penduduknya. Sedangkan di negara-negara lainnya, Islam menjadi agama minoritas, baik yang diberi kebebasan dan hak-haknya sebagai umat beragama maupun tidak.

Di negara mayoritas, perempuan yang memeluk Islam memiliki kebebasan dan hak-haknya ikut dilindungi oleh hukum, baik hukum nasional maupun hukum syari yang berlaku. Muslimah di negara-negara tersebut mampu berkiprah dan ikut berperan dalam berbagai bidang. 

Akan tetapi, di negara-negara minoritas, mereka lebih berfokus mendukung nilai-nilai Islam yang komprehensif serta hak-hak mereka termasuk penggunaan hijab dan mengenyam pendidikan Islam daripada sekolah sekuler nasional.

Dalam bidang politik perempuan di Asia Tenggara sudah menduduki 10-40% kursi parlemen. Beberapa tokoh perempuan yang berkiprah dalam bidang politik diantaranya Presiden Singapura Halimah Yacob dan mantan Presiden Indonesia Megawati Soekarno Putri. 

Dalam bidang ekonomi perempuan juga turut membantu baik itu bekerja maupun di sektor usaha menengah bahkan manajer industri ecommerce. Tercatat di negara Filipina perempuan menduduki posisi manajer industri sebesar 55%, Malaysia 42%, Thailand 40%, Vietnam 37%, Singapura 34% dan Indonesia 31%.

Di bidang sosial berbagai gerakan dan organisasi perempuan di Asia Tenggara bekerja sama saling membantu dalam pemberdayaan perempuan. Contohnya adalah organisasi Southeast Asian Women yang didirikan untuk mendidik, menghubungkan dan memberdayakan wanita di seluruh ASEAN dan menjawab tantangan regional dan global. 

Dan pada bidang budaya, perempuan ikut berkontribusi dalam pembentukan budaya bahkan trendsetter.

Jumlah perempuan di Indonesia pada tahun 2020 adalah sebanyak 49,42% dimana 51,2% tercatat bekerja. Dari jumlah tersebut, sebanyak 22,5% menduduki parlemen. Berbeda dengan tradisi Indonesia dahulu bahwa perempuan lebih berfokus pada perannya sebagai istri dan ibu dalam rumah tangga. Namun kini, perempuan Indonesia banyak pula yang bekerja di kota dan bahkan turut serta dalam pembangunan nasional. 

Dalam sejarahnya pun, perempuan di Indonesia juga tercatat pernah menjadi pemimpin di kerajaan-kerajaan seperti Sultan Sri Ratu Alam Safiatuddin di Aceh, Siti Aisyah W. Teriolle di Ternate dan Sanggramawijaya di Kerajaan Airlangga.

Pada masa kolonial, mengimbangi gerakan organisasi seperti Budi Utomo, lahir pula organisasi wanita seperti Wanito Mulyo, Wanito Utomo dan lain-lain. 

Dalam peraturan negara, perempuan pun juga mendapat porsinya. Tercatat pada tahun 1980 Indonesia telah menandatangani konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Selain itu juga telah terdapat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang mengurus hal-hal terkait hak perempuan. 

Tokoh seperti Megawati, Amani Lubis pun juga menunjukkan wujud kontribusi perempuan di Indonesia. Bahkan dalam hal hijab, Indonesia menjadi trendsetter hijab dunia dengan model hijab kreatifnya.

Tidak berbeda jauh dengan Indonesia, di Malaysia perempuan pun mendapat dukungan pemerintah dengan adanya Kementerian Urusan Wanita di tahun 2001. 

Sebagaimana penerapan aturan agama yang berlandaskan ajaran Islam, maka terdapat pula hukuman bagi siapa yang kedapatan berkhalwat dengan perempuan yang bukan muhrim. Hak perempuan dalam keluarga pun dilindungi dalam Islamic Family Law, salah satunya mengenai kriminalisasi kekerasan dalam rumah tangga. 

Dalam sektor ekonomi pun jumlah perempuan sebanyak 47% yang bekerja dimana 13,2% diantaranya menduduki kursi parlemen. Salah satu tokoh perempuan sosialis adalah Maharani Mahatir, anak dari Perdana Menteri Malaysia Muhammad Mahatir yang aktif menyuarakan hak-hak perempuan. Adapun ciri khas pakaian perempuan muslim Malaysia adalah penggunaan baju kurung dengan motif khasnya.

Negara dengan mayoritas muslim selanjutnya adalah Brunei Darussalam. Negara Brunei yang menerapkan ajaran Islam memosisikan perempuan dengan derajat yang tinggi. Mereka dilindungi oleh pemeritah dalam UU Pelecehan Seksual dimana pelaku akan mendapatkan hukuman berupa cambuk ataupun dipenjara. 

Selain itu juga terdapat unit khusus kepolisian yang menyelidiki kekerasan rumah tangga dan personilnya merupakan polisi perempuan. Perlu diketahui bahwa perempuan di negara ini adalah sebanyak 57%. Mereka pun juga bekerja bahkan di sektor angkatan bersenjata. 

Namun mereka tidak diperkenankan mengikuti perang. Adapun ciri khas perempuan muslim di Brunei adalah memakai penutup kepala yang disebut tudung.

Di Singapura tercatat sebanyak 56,5% perempuan bekerja dan 29,4% menduduki kursi parlemen. Meski demikian, dalam bisnis dan politik mereka masih relatif rendah dalam hal tingkat dan gaji dikarenakan kualifikasi serta pendidikan yang rendah dan pengalaman kerja yang lebih sedikit. 

Berbeda dengan negara-negara sebelumnya dimana perempuan muslim mendapatkan haknya, di Singapura mereka dihadapkan pada kualitas eksistensial yang unik. Hal ini dapat dipelajari lebih lanjut dalam buku Perempuan: Muslim Women in Singupore Speak Out. 

Pada masa pemerintahan perdana menteri Lee Hsein Loong, musilmah dilarang menggunakan hijab bagi siswi di sekolah-sekolah dan lembaga pemerintahan. 

Namun, berkembangnya Islam di negara ini pun juga memunculkan organisasi dakwah yang turut berperan mengurusi perihal perempuan, salah satunya organisasi dakwah Jamiyah.

Di Thailand, Islam berpusat pada daerah selatan selatan yang berbatasan dengan Malaysia, seperti Pattani, Yala dan Narathiwat. Masyarakat muslim di daerah ini mayoritas merupakan etnis Melayu sehingga kebudayaan mereka tidak jauh berbeda dengan Malaysia. 

Meski bersitegang dengan pemerintah terkait isu untuk melepaskan diri dari Thailand, masyarakat Islam mendapatkan kebebasan dan haknya dalam beragama. Begitu juga dengan perempuan, mereka diperbolehkan menggunakan hijab dalam kegiatan sehari-hari. 

Hal ini didukung dengan adanya Majlis Agama Pattani yang merupakan pusat pentadbiran hal-hal keagamaan dan umat muslim Pattani termasuk yang berkaitan dengan perempuan.

Jika berbicara tentang Islam di Asia Tenggara, tentunya diskriminasi etnis Rohingya tidak pernah luput diperbicangkan. Perlakuan kejam militer Myanmar sudah banyak diberitakan. Perlakuan mereka tidak manusiawi dan mendapat kecaman dunia, bahkan perempuan Rohingya mengalami pelecehan seksual oleh tentara militer. 

Kini di negara minoritas lainnya, seperti Kamboja, Vietnam dan Laos, kini masyarakat muslim tetap mendapatkan haknya. Hal itu ditandai dengan diperbolehkannya penggunaan hijab meski mereka adalah penganut agama minoritas. Tidak dengan Filipina. Perempuan muslim Filipina berfokus pada penyuaraan haknya untuk dapat menggunakan hijab. 

Di Kamboja, saat Khmer Merah berkuasa muslimah Cham pernah menjadi korban kejahatan Khmer Merah yang saat itu berkuasa untuk menurunkan populasi muslim. Namun kini penggunaan hijab telah diperbolehkan bahkan dalam sistem pendidikan yang menunjukkan tidak adanya diskriminasi. 

Dalam hal organisasi sosial, terdapat Cambodian Islamic Woment Developmen Association yang bekerja sama dengan PP Aisyiah dalam hal pemberdayaan perempuan. 

Tidak berbeda jauh dengan muslimah Kamboja, perempuan muslim Vietnam dari etnis Champ juga mendapat haknya dalam menggunakan hijab. Mereka mayoritas juga bekerja khususnya dengan menghasilkan kain tradisional Vietnam. Meski demikian, muslim Vietnam kesulitan dalam hal ekonomi dan mendapat banyak bantuan dari Indonesia dan Malaysia. 

Di Laos, masyarakat muslim lebih banyak yang merupakan pendatang dari Thailand dan Vietnam yang juga mendapatkan haknya sebagai muslim termasuk diperbolehkannya penggunaan hijab.

Dari pemaparan diatas menunjukkan perkembangan cukup dinamis. Spirit keislaman telah memantik semangat juang para muslimah khususnya untuk menyuarakan hak-haknya di negara minoritas Islam.

Sedangkan di negara mayoritas Islam, perempuan muslim berhasil ikut berperan dalam berbagai bidang. Hal ini memperlihatkan bahwa perempuan kini tidak lagi dianggap sebelah mata. Karena dalam Islam pada hakikatnya laki-laki dan perempuan memiliki potensi yang sama dalam hal kebaikan dan ibadah.

Refrensi

Pudji, T. M. (2008). Citra Perempuan dalam politik. Yinyang: Jurnal Studi Islam Gender dan Anak, 3(1), 3-16.

Thaib, L. (1999). The Problems of Muslim Minorities in Southeast Asia. Jurnal Usuluddin, 10, 135-144.

Satha-Anand, C. (1994). Hijab and Moments of Legitimation. Asian visions of authority: Religion and the modern states of East and Southeast Asia, 279.

Helmiati, H. (2013). Dinamika Islam Singapura: Menelisik Pengalaman Minoritas Muslim di Negara Singapura yang Sekular & Multikultural. TOLERANSI: Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama, 5(2), 87-99.

Helmiati, H. (2014). Sejarah Islam Asia Tenggara. LPP UINSUSKA Riau

Women, G. C. (2018). The mobile gender gap report 2018.

Othman, N. (2006, July). Muslim women and the challenge of Islamic fundamentalism/extremism: An overview of Southeast Asian Muslim women's struggle for human rights and gender equality. In Women's Studies International Forum (Vol. 29, No. 4, pp. 339-353). Pergamon.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun