Oleh: Dzakiyyah Fauziyyah Rif'atÂ
Indonesia sebagai negara maritim yang memiliki banyak pulau, suku budaya, juga memiliki kemajemukan bahasa, tradisi, kesenian, cara hidup dan bahkan agama. Kemajemukan agama dan keyakinan yang dimiliki Indonesia mengandung nilai positif dan negatif.Â
Kemajemukan ini merupakan sumber nilai dan local wisdom bagi keutuhan bangsa ini. Pun juga, ia memiliki kendala yang sama banyaknya dalam hal negatif bahkan lebih dari keuntungan yang ada. Salah satu yang menjadi persoalan di antara negara yang memiliki kemajemukan agama adalah adanya konflik antar umat beragama. Tak dapat dipungkiri, bahwa hal tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia. Bahkan di negara Barat konflik tetap tidak dapat terhindarkan.[1]Â
Agama memiliki fungsi sebagai pedoman hidup seseorang yang mengatur nilai-nilai dan cara pandang seseorang. Agama dianggap sakral dan suci hingga patut untuk terus dilindungi. Hingga muncullah rasa fanatisme dan eksklusivisme berlebihan pada masing-masing penganut agama tersebut. Maka kedua rasa yang dimiliki penganut agama tersebut yang nantinya dapat memicu konflik yang terjadi antar umat beragama khususnya di Indonesia.Â
Mereka tidak ingin agama yang mereka junjung tinggi dihina ataupun disakiti oleh pihak lain hingga pada taraf berburuk sangka terhadap umat agama lain. Oleh karena itu penulis akan memaparkan mengenai beberapa konflik antar agama yang terjadi serta faktornya dan bagaimana Islam khususnya Al-qur'an memandang konflik tersebut.
Konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat inheren. Ini artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu, dimana dan kapan saja, tidak dapat dihindari kemunculannya.Â
Dalam pandangan ini, masyarkat merupakan arena konflik atau arena pertentangan dan integrasi yang senantiasa berlangsung. Oleh sebab itu, konflik dan integrasi sosial merupakan gejala yang selalu mengisi setiap kehidupan sosial. Hal-hal yang mendorong timbulnya konflik dan integrasi adalah adanya persamaan dan perbedaan kepentingan sosial.Â
Istilah konflik secara etimologis berasal dari bahasa Latin "con" yang berarti bersama, dan "fligere" yang berarti benturan atau tabrakan.[2] Â Pada umumnya istilah konflik sosial mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan dan pertikaian antar pribadi melalui konflik kelas sampai pada peperangan internasional. [3]Â
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan konflik berarti percekcokan, perselisihan dan pertentangan. Sedangkan konflik sosial yaitu pertentangan antara anggota atau masyarakat yang besifat menyeluruh di kehidupan.[4] Sedangkan dalam kamus sosiologi konflik adalah proses pencapaian tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan tanpa memperhatikan norma dan nilai yang berlaku.[5] Dalam pengertian lain, konflik adalah suatu proses sosial yang berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompok-kelompok yang saling menentang dengan ancaman kekerasan.[6] Menurut Robert M.Z Lawang, konflik diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang langka, seperti nilai, status, kekuasaan dan lain sebagainya. Dimana dalam hal tersebut memiliki tujuan yang tidak hanya memperoleh keuntungan tetapi juga untuk menundukkan pesaingnya.[7]
Dari beberapa pengertian yang telah disebutkan, dapat diambil kesimpulan bahwa konflik adalah percekcokan, perselisihan dan pertentangan yang terjadi antar anggota atau masyarakat dengan tujuan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan dengan cara saling menantang dengan ancaman kekerasan. Konflik sosial adalah salah satu bentuk interaksi sosial antara satu pihak dengan pihak lain di masyarakat yang ditandai dengan adanya sikap mengancam, menekan, hingga saling menghancurkan.
Konflik antar umat beragama selalu dipandang sebagai sesuatu yang berkonotasi negatif. Karena akibat yang ditimbulkan selalu membuat kerugian dibanyak pihak. Juga tidak adanya keuntungan dari terjadinya konflik. Namun, ditinjau dari pandangan umat beragama, terdapat beberapa motivasi dan alasan yang tidak bisa dihindari, sehingga memicu terjadinya konflik.
Pada peristiwa Maulaboh di Aceh Barat, umat Islam melakukan protes atas dibangunnya sebuah gereja di tengah-tengah perkampungan kaum muslimin yang tidak ada pemeluk Kristennya, tetapi golongan Kristen tidak mengacuhkannya. Maka terjadilah peristiwa Meulaboh itu. Juga peristiwa Makassar yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1967, ketika sebuah gereja dilempari batu-batu.Â
Suatu peristiwa yang diawali penghinaan oleh seorang pendeta Kristen kepada Nabi Muhammad, yang berkata pada murid-murid yang beragama Islam pada suatu sekolah bahwa Muhammad adalah seorang pezina, seorang yang bodoh dan tolol, dan tidak pandai menulis dan membaca.[8]
Juga konflik yang terjadi antara umat Islam dan Kristiani di Bogor, Konflik tersebut diawali dengan protes sebagian umat Islam dari forum ulama dan ormas Islam se-Bogor atas dibangunnya GKI Yasmin yang telah berdiri sejak tahun 2000. Yang kemudian izinnya dibekukan oleh Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamana Bogor, Yusman Yopi. Protes terjadi karena penggugat menyebut pihak Gereja telah memalsukan tanda tangan dukungan warga soal bangunan pada tahun 2006.
Dalam al-Qur'an ada beberapa term yang merujuk pengertian konflik secara umum, misalnya kata al-khasm, al-mukhashamah (bermusuhan) dalam Q.S. al-Zumar: 31), ikhtilaf (berselisih) dalam Q.S. Ali Imran [3]: 103, 105, al- Syu'ara: 14 dan tanazu' (pertentangan) dalam Q.S. al-Nisa'[4]: 59) dan al-qital, al-harb (perang), seperti dalam Q.S. al-Anfal [8]: 57, Q.S. Muhammad [47]: 4, al-Baqarah [2]: 217 dan lain sebagainya.
Al-Qur'an telah menggambarkan tentang keniscayaan konflik antara lain dalam firman-Nya:Â
"Manusia itu adalah umat yang satu. Namun setelah timbul perselisihan) maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus." (Q.S. al-Baqarah [2]: 213).Â
Tentang Q.S. al-Baqarah [2]: 213, Ibnu Abbas sebagaimana dikutip al-Zamakhsyari menyatakan bahwa manusia dulunya satu kebenaran syariah agama selama kurang lebih sepuluh abad, yakni era antara Nabi Adam dan Nabi Nuh. Ada pula yang berkata bahwa umat Wahidah (satu agama) terjadi ketika manusia hanya tinggal satu perahu di zaman Nabi Nuh as, yang diselamatkan akibat banjir bandang. Namun setelah itu, mereka berselisih.[9]
Selain itu, Sejarah konflik manusia sesungguhnya telah dimulai sejak anak cucu Adam, ketika Qabil dan Habil bertengkar memperebutkan istri karena konon istri Habil lebih cantik ketimbang istri Qabil. Pada akhirnya kedengkian Qabil memuncak dan tega membunuh saudara kandungnya sendiri. Sebagaimana diisyaratkan dalam ayat yang artinya, "Maka nafsunya mendorong untuk membunuh saudaranya, maka ia membunuhnya, maka ia termasuk orang-orang yang merugi" (Q.S. al-Maidah [5]: 30). Â
Di sisi lain, hal demikian juga tampak dalam sejarah setiap para rasul yang diutus Allah untuk menyampaikan risalah kepada para kaumnya. Keteganan dan konflik para nabi dengan kaumnya umumnya disebabkan lantaran keengganan mereka menerima ayat-ayat Allah atau risalah yang dibawa para nabi. Seperti pada ayat berikut:
"Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas". (Q.S Ali Imron [3]: 112)
Ayat-ayat tersebut memberikan beberapa isyarat bahwa perselisihan atau konflik yang terjadi pada umat manusia merupakan keniscayaan sejarah yang diciptakan tidak monokultural. Tetapi orang yang mendapat petunjuk Allah melalui kitab suci dan ajaran para rasul-Nya akan memperoleh kebenaran.Â
Maka ikutilah jalan lurus atau jalan kebenaran tersebut agar bisa meraih kehidupan yang selaras dan damai. Tampaklah bahwa al-Qur'an sebenarnya memiliki pandangan yang positif terhadap berbagai konflik yang terjadi pada umat manusia. Untuk itu manusia harus banyak belajar dan terus berlomba-lomba dalam kebaikan agar terjadi dinamika sosial menuju kehidupan yang beradab.[10]
Melihat beberapa tinjauan mengenai kasus yang terjadi diantara umat beragam, pasti dipelopori oleh faktor-faktor yang tidak sedikit. Telah banyak cendikiawan yang mencoba mengkaji dan mendalami akar konflik yang terjadi di Indonesia ini.
Menurut Firdaus M. Yunus, ada 2 faktor yang menyebabkan konflik antar umat beragama, yaitu:
- Â Klaim Kebenaran (Truth Claim). Masing-masing agama memiliki ajaran yang dianggap benar oleh para pengikut dan pemeluknya.
- Â Doktrin Jihad. Ajaran agama memang doktrin, dan agama memberikan kebebasan dalam menafsirkannya.
 Namun yang kemudian terjadi adalah kekerasan yang mengatas namakan Tuhan dan agama. Padahal, kekerasan tidak dibenarkan dalam ajaran manapun.[11]
Hal senada juga seperti yang dikemukakan oleh St. Aisyah BM, konflik sosial dalam masyarakat menjadi keniscayaan yang bisa disebabkan karena beberapa faktor seperti [12] :
- Perbedaan pendirian atau perasaan individu.
- Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.Â
- Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok, baik menyangkut politik, ekonomi, sosial, budaya atau agama, juga berpotensi konflik.Â
- Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Berdasarkan faktor yang dikemukakan diatas, menurut Rini Fidiyani politik ikut melatar belakangi munculnya konflik, dalam hal ini pemerintah yang menetapkan pengekangan atau pembatasan kebebasan beragama. Adapun kelompok yang terdiskriminasi oleh keputusan pemerintah, tidak serta merta nantinya akan mengikuti keputusan dan kebijakan pemerintah apabila timbul ketegangan dan konflik antara umat beragama yan bersangkutan. Dan konflik pun tidak dapat dihindari akibat dari hal tersebut.
Setelah pembahasan panjang mengenai konflik yang terjadi di Indonesia, penulis menyimpulkan beberapa hal yang berkaitan dengan potret konflik antar umat beragama di Indonesia. Bahwa Indonesia sebagai negara yang memiliki kemajemukan hampir disetiap lini kehidupan tidak lepas dari adanya konflik, khususnya yang terjadi di kalangan umat beragama, baik bersifat intern maupun antar mereka. Hal tersebut merupakan gejala sosial yang lumrah terjadi di masyarakat yang plural.Â
Dalam Al-Qur'an pun disebutkan bahwa konflik dalam kehidupan manusia adalah sebuah keniscayaan. Namun, yang menjadi permasalahan adalah apabila konflik-konflik tersebut tak kunjung menuai penyelesaian dan mufakat antar umat beragama. Dimana dalam kondisi terburuknya dapat mengakibatkan terjadinya perpecahan di Indonesia, dan bahkan peperangan yang mampu memakan banyak korban jiwa. Dalam hal ini, banyak sekali pendapat baik dari kalangan agamawan itu sendiri maupun pengamat dan cendikiawan yang berusaha menyumbangkan gagasan mengenai faktor-faktor yang menimbulkan ketegangan dan konflik.
Referensi
- Abu Hapsin, dkk., 2014, "Urgensi Regulasi Penyelesaian Konflik Umat Beragama: Perspektif Tokoh Lintas Agama", dalam Wali Songo, Vol. 22, Nomor 2, Institut Agama Islam Negreri Wali Songo, November, hal. 325
- Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalah Sosial Teori, Aplikasi dan Pemecahannya, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), 345
- Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1998), 156
- Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 587
- Soejono Soekanto, Kamus Sosiologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), 99
- J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), 68
- Robert Lawang, Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1994), 53
- Khotimah, 2011, "Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama", dalam Jurnal Ushuluddin, Vol. 17, No. 2, Juli, 215
- Lihat al-Zamakhsyari, al-Kasysya>f, Juz I, h. 187. Lihat pula al-Razi, Tafsir al-Kabir, Juz III, h. 246, dalam CD, al-Maktabah al-Syamilah edisi II.
- Abdul Mustaqim, Konflik Teologis Dan Kekerasan Agama Dalam Kacamata Tafsir Al-Qur'an, Epistem, Volume 9, Nomor 1, Juni 2014, h. 158
- Firdaus M. Yunus, 2014, "Konflik Agama di Indonesia Problem dan Solusi Pemecahannya", dalam Jurnal Substansia Vol. 16, No. 2, Oktober, 220-221
- St. Aisyah BM, 2014, "Konflik Sosial dalam Hubungan Antar Umat Beragama", dalam Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 15, No. 2, Desember, 195-196
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H