Ini sekedar pertimbangan untuk kematangan sebuah rencana besar bernama pernikahan. Dan ini sekedar brain stroming bagi para laki-laki jomblo untuk dapat berfikir realistis. Maksudnya, realita kehidupan ketika berumah tangga pun perlu diperhitungkan.Â
Berbagai permasalahan khas dalam kehidupan rumah tanggapun perlu di dalami. Jangan sampai, kita tak mampu atau tak sanggup menghadapi complicated-nya kehidupan rumah tangga sehingga anaklah yang menjadi korban. Jangan sampai pula, hanya karena keterbatasan materi, anaklah yang harus menadi objek kemarahan sang istri karena merasa tak tahan dengan kondisi yang ada, bila anak sudah menjadi korban tentu saja sangat di sayangkan.
Dan tidak sedikit pasangan yang sangat tergopoh-gopoh menjalani kehidupan rumah tangga, tidak punya biaya untuk istri melahirkan, tidak mampu membeli susu ketika ternyata sang istri terbatas air susunya.Â
Mungkin hal ini menjadi sangat menarik ketika suatu saat kehidupan rumah tangga sudah mapan. Tetapi apakah kondisi demikian itu, selamanya di anggap baik. atau, haruskah kondisi yang mengundang iba itu harus tetap terlalui sebagai sebuah standar kebanyakan pasangan di tahun-tahun pertama berumah tangga.
Tentu tidak demikian, ketika istri lebih banyak menaggung beban mental saat hadapi kondisi tersulit, bukan tidak mungkin memunculkan korban. Dan korban itu adalah anak, sang buah hati, ada seorang anak laki-laki lucu, gembil, senang berceloteh dan menggemasan tentu saja. Namun perlahan, cerewetnya hilang ditelan  peristiwa demi peristiwa.
Mungkin karena sang bocah itu sering memergoki ibunya yang tengah marah, yang tengah bersedih, yang tengah menangis hingga menghilanglah keceriaannya. Pun dengan kepercayaan dirinya. Anak manis itu tumbuh menjadi sosok yang pemalu, ragu-ragu dan sangat segan pada ibunya sendiri.Â
Alih-alih bisa curhat atau mengekspresikan perasaan, yang ada malah takut dan tak berani menyampaikan. Mengingat kemungkinan buruk yang mungkin akan mucul, lebih baik berpikir ulang dari pada menyesal kemudian. Karena pernikahan itu sendiri adalah sebuah itikad baik untuk mengandung sebanyak-banyaknya keberkahan dan keajaiban. Pernikahan itu bagian dari ibadah. Dan ingat-ingat, pernikahan  itu bukan main-main.
Pernikahan bukan sebuah sandiwara untuk dilakoni alam waktu sesaat. Pernikahan juga bukan untuk satu tujuan sederhana.
Ingat kawan, buah dari pernikahan itu ada sesosok mungil yang tak berdosa bernama anak, bilakah konisi kita memprihatinkan serba terbatas baik materi maupun non materi, tentu saja rentan. Atau dengan kata lain, bagaimana anak akan terpenuhi kasih sayangnya dengan penuh jika orang tuanya alam keadaan galau karena memikirkan keterbatasan yang ada. Bagaimana anak akan terbina dengan sempurna jika kedua orang tuanya banyak bertengkar akibat kekurangan yang ada. Bagaimana anak akan diberi sikap terbaik jika sang istri ekspresi memikirkan hari ini dan hari esok.
Keterbatasan memang akan menjadi sebuah cerita dramatis yang sangat berkesan an tak akan terluoakan. Apalagi jika banyak orang sukses yang membuktikan kehidupan rumah tangganya benar-benar dari nol, bahkan ari kondisi yang sangat minus.belum punya apa-apa, belum punya penghasilan, masih numpang di rumah orang tua an lain-lain. Lalu beberapa waktu kemudian ia menjadi orang yang mampu dari sebelumnya.Â
Terhadap contoh yang demikian, sebaiknya dipelajari kembali bagaimana perjalanan atau perjuangannya. Jangan hanya di cerna secara sederhana dan dengan pikiran yang praktis. Jangan sampai,hanya bermodalkan semangat yang membara tetapi karena ketiakmampuan menjalani proses, malah berakhir engan cerita yang memilukan, anaklah yang kemudian kembali menjai korban.
Melahirkan dan mendidik anak bukanlah sebuah percobaan. Oleh karena itulah, pernikahan sebagai awal dari kelahiran seorang anak, bukan pula sebagai percobaan. Jadi, tarik kembali semua bayangan semua tentang indahnya pernikahan.Â
Singkirkan jauh-jauh dari benak anak tentang pragmatisme indahnya pernikahan yang sering kali di-publish di banyak cerita. Jangan muah terbuai dengan cerita picisan di banyak media yang mempropagandakan indahnya kehidupan suami istri yang mempunyai daya tayang sinetron yang tinggi.
Ingat ya, pernikahan tak hanya sebatas pada konteks kesenangan berdua-duaan, sehingga merasa bahagia yang sangat dalam ketika dunia ini hanya miliki berdua
Pernikahan, bukan sekedar konteks melayani dan di layani, sehingga terlampau merasa suka cita bahwa ketika telah menikah, ada yang membuatkan secangkir kopi, the hangat, menyiapkan sarapan, dan lain sebagainya.
Pernikahan bukan sekedar konteks mendampingi dan di damping, sehingga merasa lebih percaya diri dengan bersama-sama di depan orang lain.
Pernikahan bukan sebuah variable kebanggaan, di mana hanya untuk menunjukkan berhasil telah mendahului kerabat, atau teman sekitar.
Pernikahan bukan sekedar indahnya memberi dan di beri perhatian, sehingga kita merasa nyaman di beri perhatian oleh pasangan.
Jika bayangan kita hanya yang indah-indah saja, tentu siapapun yang belum menikah, ingin bersegera untuk menikah. Bahkan tak tahan untuk sesegera mungkin, tetapi cukupkah bayangan indah itu sebagai pengobar semangat, cukupkah bayangan indah itu sebagai pengobar semangat, cukupkah bayangan indah itu menjadi satu-satunya inspirasi, cukupkah bayangan indah itu sebagai moal utama berikhtiar. Sementara tugas pernikahan itu sangatlah panjang. Menghidupi, melindungi, menjaga, membahagiakan, membesarkan anak-anak dan lain-lain.
Maka dari sinilah, mari pikirkan, pertimbangkan, dan persiapkan lebih matang. Sekali lagi, pernikahan bukan percobaan, bukan sebuah pilihan karena suasana hati yang sedang kesepian. Pernikahan itu ibadah, pernikahan itu penuh dengan kompleksitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H