Tulisan ini sebenarnya terinspirasi dari pertemuan-pertemuan dengan sahabat karib saya kemarin lusa.
Tak jarang di antara mereka ada yang sudah menjalin hubungan, ya sebut saja pacaran.
Namun usut punya usut, ternyata di dalam diri saya pernah terbesit keinginan untuk pacaran, tapi karna saya sadar diri, saya urungkan projek pacaran yang katanya asik itu.
Tapi walhasil, kok ya ndilalah pertemuan kemarin seakan memberi saya pelajaran.
Iya memang benar, statusnya pacaran. Tapi akhirnya putus karena yang satu ternyata sudah di jodohkan orang tuanya, atau ternyata diam-diam salah satu dari pasangan itu sedang menjalin hubungan juga dengan teman pacarnya, cinta segitiga lah ringkasnya. Wkwk.Â
Rumit ya? Iya.. padahal Cinta itu sederhana, yang rumit itu kamu. mencintaimu itu mudah, yang rumit adalah membuatmu juga mencintaiku.. begitulah kata bang duta.
Baiklah-baiklah, sudah dulu ya basa-basinya. Kali ini aku mau serius.
Banyak cerita tentang laki-laki dan perempuan yang sudah tak mampu menahan diri, alias kebelet untuk segera menikah. Secara umum karena mereka sudah benar-benar tak sabar menunda keinginan, lalu respons dari orang tua atau keluargapun banyak menghalangi dan menahan, maka bisa memunculkan reaksi seperti kemarahan, kabur-kaburan, kawin lari, memaksa-maksa, dan lain-lain.Â
Padahal, maksud penangguhan dari keluarga dan orang tua hanyalah sebuah kebijakan yang realistis alias menghkawatirkan keberadaanya yang memiliki bekal apa-apa. Â Hayo mas? Katanya kemarin mau ke rumah? Udah punya bekal belum? Minimal bekal bacaan surat al ikhlas lah wkwk .
Lanjut lagi, sebenarnya keluarga itu bermaksud baik loh, mereka hanya khawatir kalau sampai tidak mampu menghidupi anak- istri.
Selain itu, pihak keluarga merasa sayang jika ketergesaanya untuk menikah lebih berupa pertimbangan yang dibuat sekehendak alias tidak matang.
Bila di antara anda ada yang sudah kebelet ingin segera menikah, sementara bekal pun masih jauh dari prediket optimal, bagaimana kira-kira solusinya? Apakah mengambil keputusan untuk tetap menikah dengan modal nekat? Atau, apakah terpaksa menunda keinginan dengan segudang kekecewaan? Atau.. tetap mematok TARGET untuk menikah di tahun sekian sehingga menjadi motivasi tersendiri untuk memiliki persiapan terbaik.Â
Namun, dalam kondisi emosi yang tengah labil, pilihan ketiga jarang sekali di jadikan pilihan, karena fitrah kemendesakann memang sulit di tunda dan kurang analisis. Ehe, ya nggak mas?
Nah, tentu hal ini menjadi dilemma. Walaupun pada akhirnya banyak yang lebih memilih untuk tancap gas alias menikah saja walau dengan segala keterbatasan.
Tetapi ada hal yang cukup penting untuk di lakukan, yaitu merenung sejenak. Sebentar saja, mungkin dari persiapanya si doi ada beberapa pertanyaan yang dia susun, ehe kok aku sok tau sih.
Satu, Bekal apa saja yang sudah saya punya?
Dua, cukupkah dengan bekal seadanya?
Tiga, Bagaimana kondisi mental saya. Apakah sudah terbilang untuk mengarungi bahtera yang penuh dengan drama ber- episode?
Empat, bagaimana dengan kedewasaan saya? Sudahkah cukup meyakinkan calon istri atau calon mertua saya?
Lima, mampukah saya memberi nafkah? Bagaianakah kalau istri saya nanti hamil? Bagaimana saya memenuhi kebutuhan anak saya? Bagaimana saya menghadapi kerewelan anak saya? Bagaimana saya membiayai sekolah anak saya?
Hoh mas, pie ngunuwi, gampang omong I LOVE YUUU, buktine opo ? wkwk
Sederet pertanyaan tersebut tidak ada maksud sedikit pun untuk membangun mental pesimistis, bukan juga provokasi untuk mundur sebenarnya, karena saya sendiri juga tahu tidak ada satu pun yang berhak mencegah atau menangkis takdir dari yang Maha Kuasa.
Ini hanya sekedar pertimbangan untuk kematangan sebuah rencana besar yang namanya pernikahan.
Bersambung......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H