Menengok kembali konferensi Asia Pasifik yang ke-4 tentang keberbakatan, yang pernah digelar di Jakarta tanggal 4-8 Agustus 1996.
Tentunya tema pada konferensi ini menarik yaitu Mengoptimalkan Keunggulan dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia.
Dalam hal ini  (Danim 2006) menyatakan bahwasanya praktik pendidikan kita selama ini masih diwarnai oleh kerancuan berfikir, yang mencampur adukkan keunggulan (excellence) dengan keberbakatan (Giftedness).
Mengapa hal ini dapat dikatakn sebagai kerancuan dalam berfikkir? Karena keunggulan dan keberbakatan ini berbeda secara konsep dan praktisi pengembangannya didunia pendidikan dan pembelajaran.
Yakni, yang pertama keunggulan sebenarnya mengacu kepada kejeniusan, sedangkan keberbakatan itu bisa tunggal dan bisa jamak. Selanjutnya, yang kedua yakni keunggulan dengan mudah berkembang melalui asah otak intelektual, seperti melalui proses pendidikan dan pelatihan; sedangkan keberbakatan itu cenderung berkembang melalui asah otak emosional. Ketiga, secara genetis otak penalaran telah terbentuk sejak lahir, akan tetapi otak emosional sangat ditentukan oleh bagaimana cara lingkungan memberikan stimulus terhadap otak manusia itu sendiri.
Hal ini yang menjadi sebuah pernyataan yang kurang teat, mengapa? Bahwasanya tafsir praktik pendidikan atas keunggulan dan keberbakatan ini tercermin dalam proses pembelajaran yang cenderung berporos pada pengembangan tunggal yakni mengacu pada prestasi akademik, yang mana hal ini ditandai dengan system pembelajaran yang tidak tersendirikan, praksis pragmatis pendidikan dengan mengejar skor melalui latihan, komunikasi guru murid yang cenderung satu arah. Dan pengorganisasian pembelajaran cenderung hanya mempermudah kerja guru, dan sebagainya.
Asumsi dasarnya adalah makin tinggi intensitas asah otak intelektual, makin tinggi pula keberhsilan pendidikan.
Contoh realnya seperti pelatihan mengerjakan soal, kegiatan bimbingan belajar, les privat dan lain sebagainya yang mana hanya sebagai sebuah aktivitas yang berpusat pada sekedar tahu apa yang dipelajari.
Akhirnya, muncul anak-anak dan generasi muda yang kian cerdas, namun tidak disertai dengan optimalisasi otak emosional.
Mengenai otak emosional ini dapat kita peroleh melalui Akhlak atau budi pekerti dan pembangkitan sifat-sifat humanities dan menjadikan manusia agar memiliki rasa kemanusiaan.
Yang kita lihat, fenomena bertripping ria, tawuran, kekerasan pada remaja-remaja sekolah, perbuatan asusila, dan lain sebagainya, yang akhir-akhir ini merupakan bukti nyata kegagalan asah otak emosional, karena hal itu justru mayoritas yang dilakukan oleh orang-orang tengah atau yang telah menemuh jenjang tertentu.