Kini, pengagungan dinasti otak kecerdasat (IQ) sebagai superioritas tunggal dalam proses pembelajaran sudah berakhir.
Dinasti ini telah berkuasa dalam jagad pendidikan dan pembelajaran selama berabad-abad. Dr Daniel Goleman dalam bukunya yang berjudul Emotional Intellegence, yang mana telah mematahkan mitos otak kecerdasan, dengan sebuah tesisnya bahwa otak kecerdasan itu kurang bermaslahat secara significan dalam kehidupan jika tanpa kehadiran otak emosional (EQ), yakni terutapa dalam interaksi dengan teman dan dalam sebuah ruang pekerjaan.
Meski Daniel sendiri mengakui hal ini hanya untuk pekerjaan tertentu, hanya pekerja dengan IQ tertentulah yang kecerdasan emosionalnyya dapat berkembang, ia melihat bahwasanya fenomena EQ ini sebagai fenomena sosial, yang mana artinya bahwa masuknya fenomena sosial dalam ranah otak kecerdasan berporos pada lahirnya ranah otak emosional.
Kita lihat pada dunia pendidikan kita, Budaya Keberbakatan
Mengapa ranah keberbakatan peserta didik kurang berkembanng, padahal mereka tergolong cerdas?
Beberapa hari yang lalu ialah jadwal pengumuan seleksi nasional (SNMPTN), apakah sudah menjamin PTN tersebut melahirkan lulusan yang bermutu?
Yang mana, secara fenomenal proses pendidikan dan pembelajaran di PTN/PTS masih menunjukkan adanya hegemoni atas dunia simbolis yang mengandung efek represif terhadap otak emosional mahasiswa, tidak terkecualu dalam mantra keberbakatannya.
Munculnya mahasiswa yang kreatif dan suka adu debat akademik dengan dosen diruang kuliah justru dinilai bersebrangan dengan jagat cultural sopan santun tradisional, yang belum bisa memisahkan mana ruang akademik, mana pula ruang gerak sosial seumumnya. Demikian juga metode ceramah catat tugas, secara satu arah bertentangan dengan nilai sejati kependidikan dimanan, para mahasiswa harus dilatih berekspresi secara dialogis atau studi individual.
Hal yang sama ini juga terjadi dijenjang sekolah dibawahnya, akibatnya pada dunia keberbakatan peserta didik terjerat oleh krangkeng legimitasi kebijakan akademik yang basis kognitif dan afeksinya hanya terbatas membuka kanal terbangunnya otak emosional melalui elaborasi eksrtra hati-hati atas gelombang besar Meinstream wacana system eksternal, sehingga terjadilah perselingkuhan antara hati nurani mereka dengan symbol-simbol yang boleh ditampilkan dipermukaan melalui dialog verbal dan karya tulisnya.
Â