Negeri ini termashur dengan kekayaan sumber daya alamnya. Kelapa sawit (Elaeis guineensis) tanaman impor asal Afrika Barat dan Tengah ini mampu tumbuh menulang hingga 20 meter di atas permukaan tanah. Namun kekokohan sawit Indonesia semenjak April 2017 kemarin tertiup fitnah Parlemen Uni Eropa. Fitnah tersebut mengandung propaganda bahwa mengakarnya sawit di Indonesia memunculkan banyak masalah seperti cendawan di musim hujan:  deforestasi, beranak-pinaknya korupsi, berkembangya praktik kerja anak hingga, keserakahan yang  merenggut keperawanan hutan ulayat.
Namun semua itu hanya isapan jempol yang dilemparkan oleh ahli tipu muslihat. Seandainya Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests tidak disampaikan oleh makhluk seprominen Parlemen Eropa, niscaya tidak akan ada yang percaya. Ngibul!Bahkan sebaliknya, semisalkan, Indonesia adalah negara adidaya (insya Allah) mempublis informasi bahwa tingkat intoleransi Benua Biru--Eropa--lebih pekat dan lebih tinggi ketimbang Indonesia, pastinya tidak ada yang akan percaya. Tidak peduli se-salih  apa Indonesia dibanding negeri-negeri Eropa tetap saja Indonesia adalah piyik yang hanya bisa membual dan mencela kedigdayaan Benua Biru.
Hebatnya, usaha pemakzulan produksi minyak sawit Indonesia tersebut didukung oleh  640 anggota parlemen (93,29%), 18  anggota lainnya menolak (2,63%), dan 28 anggota abstain (4,08%) alias tidak memberikan suara. Bila dilirik dari kognitif Psikologi, mayoritas suara mendukung laporan tersebut bisa terjadi karena beberapa hal. Pertama, mereka sama-sama anggota Parlemen Uni Eropa di mana negara mereka saling berhubungan baik secara bilateral maupun regional, malu jika tidak sependapat. Saling berkongsi untuk menyukseskan tujuan bersama. Kedua, tidak menutup kemungkinan hal ini adalah gertakan agar Indonesia tunduk dan bisa disetir para pemilik modal asal Eropa.
Propaganda Memutarbalikkan Fakta
Negara juga tidak boleh munafik memungkiri laporan tersebut, bahkan jika negara dengan sengaja menutup-nutupi aib berarti hal tersebut benar. Tetapi desas-desus yang berkembang di masyarakat terkesan dilebih-lebihkan (hyperbola) dan memojokkan Indonesia. Mengapa? Fakta yang dipublikasikan oleh Parlemen Uni Eropa secara eksplisit kontras dengan data yang dihimpun dan diakumulasi oleh peneliti pribumi.
Pertama, Indonesia terjerat kasus pembalakan hutan, namun usaha untuk perbaikan hutan tidak disertakan. Berikut adalah fakta-fakta deforestasi yang dihimpun dari beberapa sumber
Banyak lembaga swadaya masyarakat baik dalam maupun luar negeri yang mengunggah informasi ke masyarakat yang secara langsung menyerang dendrit paradigma masyarakat untuk cenderung membenci produksi minyak dalam negeri. Banyak situs-situs Youtube.comyang menyajikan footage tentang anak-anak yang bekerja di perkebunan sawit. Betul bahwa lensa kamera merekam kegiatan mereka bekerja, padahal tidak menutup kemungkinan mereka sedang membantu orang tua, belajar menjadi pebisnis hebat di dunia persawitan, dsb.
Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja cilik tulang punggung keluarga dalam perkebunan sawit cukup kompleks karena meliputi penyemaian bibit, pemupukan, pemangkasan, penyemprotan, pengumpulan, dan pemuatan biji sawit (Finding on The Worst Forms of Child Labour 2015).
Setidaknya ada 5% dari jumlah populasi Indonesia anak umur 5-17 tahun bekerja di perkebunan sawit sesuai dengan statistik dari ILO dan UNICEF. Para pemilik kebun beranggapan bila terdapat anak kecil yang bekerja merupakan bentuk "membantu" orang tua selepas pulang sekolah, jadi bukan pelaksanaan kerja menggunakan tenaga anak di bawah umur. Beberapa beranggapan bahwa membantu orang tua mereka adalah bentuk interaksi dengan orang tua dan usaha dari orang tua untuk mengajarkan hidup tidak mengandalkan orang atau sekedar bermain. Selanjutnya perlu diketahui perusahaan-perusahaan perkebunan sawit mayoritas dikuasai swasta. mungkin bila dikuasai oleh BUMN akan memiliki kondisi yang lebih baik karena "negara ... [memberikan] jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan" (UUD 1945 amandemen ke-4 Pasal 34 (2)).
Hal ini bisa terjadi karena kemiskinan dan kesempatan pendidikan yang masih minim. Sistem pembayaran yang dipakai perusahaan pengepul biji sawit bergantung pada jumlah tandan sawit yang terkumpul. Semakin banyak yang terkumpul berarti semakin banyak upah yang diterima. Hal ini menjadi sebuah stimulus bagi petani untuk menggunakan jasa "kernet" yang berlata belakang keluarga (termasuk anak) untuk menambah kuota tandan biji sawit yang bisa dikumpulkan.
Bila upah yang diterima lebih besar, maka para petani tidak harus melibatkan "kernet" yang notabene anaknya sendiri untuk bekerja. Menurut ILO, patik ini terjadi karena sistem penerapan gaji di Indonesia diukur dari jumlah pengeluaran individu, bukan pengeluaran berdasar individu yang sudah memiliki keluarga dan anak.