Mohon tunggu...
Abdullah Dzakir Ahmad
Abdullah Dzakir Ahmad Mohon Tunggu... Guru - lama fakum menulis

Bukan siapa siapa!!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bukan Waktunya Ribut

6 Februari 2017   19:22 Diperbarui: 6 Februari 2017   19:33 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Abdullah Dzakir ahmad

                Tulisan ini saya buat dalam keadaan sadar, berdasar beberapa informasi di media yang tak terbendung terlepas berita itu kemudia hoax atau benar adanya. Tulisan ini dibuat bukan untuk menyindir siapapun, memihak atau mencela kelompok manapun. Sebelumnya jika tulisan ini nantinya dianggap tidak berlandaskan apa apa dan terkesan ngawur silahkan dikritik saja, karena Negara ini masih menggunakan asas demokrasi, saya boleh menulis dan pembaca yang budiman boleh mengritik, terakhir tulisan ini murni opini yang didapat dari beberapa media massa. Begitulah kira-kira, baik saya mulai.

                  Mula mula akan saya mulai narasi tulisan ini dengan informasi yang diperoleh dari lembaga ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI) bahwa Indonesia diketahui dalam observasinya ditemui sebnyak 6.127 pulau (1972) dan dikemukakan oleh pusat survey dan pemetaan ABRI (PUSSUTRA ABRI)  didapat temuan sebnyak 17.508 pulau, dimana 5.707 diantaranya telah memiliki nama. Kemudian jumlah suku dan etnik yang hidup di bumi Indonesia sebanyak 1.340 (sensus BPS: 2010) itu hanya sebagian informasi yang saya peroleh dari lembaga penelitian yang saya anggap rekomended.

                Indonesia atau yang dulunya dikatakan tanah jawa gemah rimpah loh jinawi merupakan tempat yang dihuni banyak suku-ban gsa  yang kemudian secara sadar hidup bersama sama adalah hal penting dan tak bisa ditawar, menciptakan keharmonisan keberagaman yan g tidak seragam dan tak harus diseragamkan, menghargai perbedaan yang lantas menjadi semboyan bersama, bhineka tunggal ika.

                Akui saja sejarah, sebelum pulau pulau yang berhamburan di bumi pertiwi ini bernama Negara kesatuan republic Indonesia (NKRI) banyak peristiwa yang terjadi, sampai orientasi untuk disatukannya bangsa bangsa yang ada tercapailah, bukan tanpa ceceran darah, banyak sekali darah yang mengalir, banyak sekali nyawa yang melayang dan sekarang adalah masa dimana saya dan anda pembaca yang budiman menerima hasil dari ceceran darah pendahulu kita.

                Saat semua sudah mudah, orang orang dengan bangga berkata bahwa “saya bangsa Indonesia” tanpa perlu takut geranat mengancam nyawa atau biji peluru bersarang di kepala, saat saat semua orang sepakat bahwa NKRI harga mati tidak boleh ditawar dengan apapun, iya. Saat ini maksud saya, apakah hanya akan buyar semata mata karena sebuah peristiwa ?

                Pertanyaan inilah yang selalu membuat saya was-was, akui saja. Sekarang bangga yang kita gadang gadangkan adalah kebanggaan warisan leluhur, kita bukan pejuang yang mati dimedan perang, kita ini penikmat masa gemilang para leluhur. Jika saya dan anda adalah bagian dari racikan sejarah masa silam, bolehlah dengan lantang dan sangar berteriak dimana mana. Namun, eling eling dan Tanya diri sendiri, siapa saya ?

                Saya tidak tahu apa jawaban yang muncul dari masing masing pembaca yang budiman, namun yang muncul pada diri saya adalah ‘saya bukan siapa-siapa’ hanya seorang remaja yang beruntung menikmati jerih payah leluhur saya, saya hanya berani mengatakan “saya salah satu dari bangsa Indonesia” iya hanya salah satu, bukan berarti Indonesia adalah milik perorangan, bukan. Saya akan ambil contoh sederhana, jika saya dan anda pembaca yang budiman ada dalam satu tempat, katakanan saja berkumpul seratus sampai lima ratus ribu kepala kemudia berteriak “kami bangsa Indonesia”  apakah kemudia dapat diartikan Indonesia milik mereka ? silahkan dijawab. Terserah apa jawaban anda, sekali lagi kita masih hidup di era demokrasi. Belum tentu berkumpulnya mereka mewakili dari sekian ribu banngsa bangsa yang ada dinegeri ini, begitulah kira kira pandangan saya.

                Sekali lagi, eling eling. Masih banyak yang lebih penting untuk dipikirkan, masih banyak yang lebih urgent untuk diperbincangkan, banyak sekali dan tidak Cuma satu itu. Masih ingat semboyan gemah rimpah loh jinawi ? semboyan itu bukan mengada-ada, adalah sebuah fakta bahwa Indonesia benar benar berlimpah kekayaan alamnya, harusnya bangsa indonesia di semua pulau adalah bangsa yang kaya kaya ? ingat, harusnaya. Bukankah ini lebih bermanfaat untuk digadang gadang menjadi persoalan bersama ?

                Dan satu lagi yang mulai menghilang dari jati diri saya dan mungkin bagi anda juga pembaca yang budiman, tak cukup sekedar semboyan bhineka tunggal ika dan gemah rimpah loh jinawi, ada satu lagi yang kita lupakan atau memang tidak kita ketahui, bahwa Indonesia juga menggambarkan toto tentrem karto raharjo, Indonesia itu tempat yang keadaannya tentram. Apa itu tentram apa indikatornya, itu bukan tugas saya untuk menjelaskan, cukup anda pembaca yang budiman menemukan jawabannya, anggap saja saya tidak tahu.

                Pertanyaan saya, jika tiga smboyan ini komplit apa yang akan terjadi ? sama, silahkan dijawab. Penutup, saya berani mengutip dari sebuah status facebook seorang gus  saya dipesantren dengan gaya bahasa saya tentunya.  Bahasa romantic untuk negeri.

Tentang ini dan itu

Banyak sekali yang angkat suara

Sampai sampai

Aku tak lagi mengenal suara apa dan siapa itu

Suara surga

Atau, suara neraka

Bantu aku mengenali suara tentang ini dan itu,

Jika saja boleh aku memilih menggunakan logika,

Saat panas begitu terik menyengat

Ada yang memanggilku berteduh ditempat teduh,

Kemanakah aku harus singgah ?

Berdiri dibawah terik yang sengat

Atau beralih menuju suara yang mengajakku teduh

Iya, aku pasti memilih

Teduh adalah pasti bukan neraka.

Dan berani aku dengan lantang berkata

Indonesia bukan neraka,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun