“Ketika negara terlalu berpihak dan menguntungkan koruptor, timbul spirit dan gagasan baru dari masyarakat sendiri untuk ”menghukum” pelaku korupsi. Sebagian besar publik menyerukan perlunya penerapan sanksi sosial bagi koruptor, meski dinilai belum tentu efektif”.
Pemberantasan korupsi menjadi agenda besar pemerintah yang tampaknya terus mengalami ganjalan. Di luar soal polemik institusi, yaitu ”Perseteruan” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian RI, ada pula persoalan sistemis, yakni penanganan dan pemidanaan pelaku korupsi. Ringannya hukuman bagi koruptor menjadikan publik belum bisa mengapresiasi sepenuhnya langkah-langkah pemberantasan korupsi oleh pemerintah.
Catatan Koalisi Masyarakat Sipil menyebutkan, hingga februari 2013 sebanyak 64 (belum terhitung kasus tahun-tahun sebelumnya) terdakwa korupsi melenggang bebas di pengadilan tindak pidana korupsi. Kalaupun dihukum, mayoritas vonis hukuman bagi koruptor 1-2 tahun. Dengan demikian, cukup mudah bagi para koruptor melewati ”Masa Penderitaan” ketimbang pelaku kriminal biasa yang bisa mencapai beberapa kali lipat masa hukumannya.
Tiga dari empat responden jajak pendapat melihat kadar vonis yang dijatuhkan bagi pelaku korupsi masih terlalu ringan dan dinilai tidak memberikan efek jera. Tidak heran, sinisme terhadap upaya pemberantasan korupsi tercermin kuat dari jajak pendapat kali ini. Hampir seluruh responden (89,9 persen) yang dihubungi di berbagai kota mengungkapkan ketidakpuasan akan situasi pemidanaan pelaku korupsi saat ini.
Pukulan telak bagi proses wacana dan gerakan pemberantasan korupsi bertambah saat sejumlah bekas terdakwa atau narapidana justru tetap bisa mengemban jabatan-jabatan publik. Peristiwa paling baru adalah pengangkatan Azirwan yang pernah dipidana 2,5 tahun penjara dalam kasus suap sebagai Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau. Pemerintah berpedoman pada argumen ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Kepegawaian yang menyebutkan, PNS yang dihukum kurang dari empat tahun tidak diberhentikan. Dari sisi aturan hukum, kebijakan ini tidak menyalahi undang-undang, namun dari aspek moral dan etika, promosi ini dipandang tidak patut. “Peran Etika Politik untuk mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia yang berpedoman pada Etika Politik. Bila batasan itu dilanggar, akan muncul hukuman moral”.
Aspek tanggung jawab dan kewajiban berhadapan pula dengan sumpah dan janji yang pernah diucapkan saat menjadi pegawai negeri (dalam UU Kepegawaian), yaitu bekerja dengan jujur dan mengutamakan kepentingan negara. Secara normatif, tengok pula pedoman umum dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Bersih dan Bebas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang semestinya menjadi pedoman para penyelenggara negara dalam mengedepankan semangat antikorupsi.
Sebagai contoh promosi jabatan bagi Azirwan tak pelak menjadi pertanyaan besar tentang keseriusan pemerintah dan konsistensi sistem hukum dalam upaya pembersihan korupsi di negeri ini. Hebatnya lagi, Azirwan bukanlah satu-satunya contoh bagaimana koruptor masih mendapatkan ruang gerak di negeri ini. Dalam dua tahun terakhir sedikitnya terdapat enam pejabat publik yang tetap dilantik meski terjerat kasus korupsi. Sejak disuarakan saat reformasi (terhitung sejak deklarasi kabinet indinesia bersatu versi satu dan dua), publik terus menanti kemerdekaan negeri ini dari praktik yang telah menggerogoti moralitas bangsa. Sayangnya, tingginya asa masyarakat masih berjarak atau berbanding jauh dengan kondisi realitas sesungguhnya.
Karena itu, tak heran bahwa publik melihat kini saatnya mekanisme ”Hukuman Sosial” diterapkan bagi koruptor. Sejauh ini hukuman sosial yang dimaksudkan adalah bentuk hukuman yang lebih bersifat sanksi di luar proses hukum Positif. Artinya, hukuman itu berada di ranah nonformal sistem peradilan. Meskipun demikian, tak tertutup pula bentuk hukuman sosial menjadi salah satu bagian dari proses pemidanaan dalam kasus korupsi.
Gagasan bentuk hukuman sosial yang paling banyak disetujui masyarakat adalah pengumuman koruptor di media massa, seperti televisi atau koran. Bentuk berikutnya adalah mengajak masyarakat untuk tidak memilih pejabat korup dalam semua kontestasi politik.
Dibanding hukuman badan (penjara), hukuman sosial memang kurang dinilai efektif meredam aksi korupsi. Bagian terbesar publik jajak pendapat ini tetap melihat perlunya pengenaan hukuman badan yang lebih tegas ketimbang sekadar pengenaan hukuman sosial. Meski demikian, bercermin dari lemahnya aturan dan sistem hukum, sebagian pengamat menegaskan perlunya kedua mekanisme itu diterapkan bersamaan. Sedangkan penerapan hukuman sosial oleh masyarakat memang bisa dimaknai sebagai sebuah “Perlawanan Publik” atas rasa putus asa publik terhadap kebijakan negara yang terlalu longgar bagi pelaku korupsi. Lebih jauh, korupsi dan berbagai penyimpangan etika dalam konteks politik bisa membahayakan perjalanan demokrasi karena menimbulkan krisis kepercayaan terhadap parlemen, bahkan negara.
Hukuman sosial bagi koruptor, menurut pengamat politik Universitas Airlangga, Kacung Maridjan, menyiratkan arti “dipenjara” secara sosial, tetapi memiliki dampak yang tidak kalah dahsyat dibanding hukuman penjara fisik. Contohnya, kepala daerah yang terbukti korup bisa dihukum untuk menjadi tukang bersih-bersih kantor di tempat mereka menjadi kepala daerah dalam kurun tahun tertentu.
Selain rasa tidak puas, minornya pemberantasan korupsi dan keberpihakan kebijakan kepada pelaku korupsi menggugah kesadaran masyarakat untuk memberikan hukuman dengan caranya sendiri. Selama ini, penyelenggara negara dinilai terlalu permisif terhadap pelaku korupsi. Menilik fakta yang terjadi, aturan hukum dan komitmen aparatnya menjadi celah yang dapat dimanfaatkan koruptor untuk kembali menduduki posisinya, hallnya pengangkatan mantan narapidana korupsi dan sejumlah kebijakan permisif terkait praktik korupsi bisa mengikis moralitas bangsa. Etika dan moralitas politik bukan lagi menjadi pedoman utama dalam kehidupan bernegara. Tidak hanya korupsi, tetapi juga berbagai pola tingkah politisi dan pejabat publik yang dinilai mulai menanggalkan etika dalam berpolitik.
Jika kita mengingat pendapat Robert Nisbet dalam Raho (2007; 47) mengatakan bahwa teori fungsionalisme structural merupakan satu teori yang sangat penting di abad ini di dalam ilmu-ilmu social. Hal ini kemudian ditambahkan menurut Davis dalam Raho kurang lebih menyampaikan bahwa analisa teori fungsionalisme structural lebih cocok dipergunakan untuk menganalisis masalah-masalah sosiologis termasuk korupsi.
Raho (2007) mengatakan bahwa fungsionalisme structural adalah salah satu perspektif di dalam sosiologi yang memandang masyarakat atau sesuatu sebagai satu system yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain, dan bagian yang satu tak dapat berfungsi tanpa ada hubungan dengan bagian yang lain. Perkembangan fungsionalisme didasarkan atas model perkembangan system organisme yang didapat dalam biologi.
Dalam mempergunakan analisa fuungsionalisme structural untuk mengupas solusi terhadap permasalahan korupsi sudah tentu tidak akan terlepas dari tokoh aliran ini yang cukup terkenal yaitu Talccot Parsons dengan ‘teori tindakannya’, Serta menurut Rachmad Dwi Susilo (2008) dalam bukunya ‘25 tokoh sosiologi modern’, bahwa Talccot Parson yang lahir tahun 1902 di Colorado Springs ini, selama hidupnya telah berusaha mengembangkan kerangka-kerangka teoritis. Termasuk teori fungsionalisme strukturalnya mengenai system tindakan, konsep tentang system tindakan merupakan inti dari setiap diskusi mengenai Talccot Parsons. Sebagaimana telah disebutkan diatas, teori Parsons mengenai tindakan meliputi empat system, yakni: system budaya, system social, system kepribadian dan system organism.
Parsons mendifinisikan empat system itu sebagai berikut. Pertama, adalah system budaya. Dalam system ini, unit analisis yang paling mendasar ialah tentang arti atau system simbolik. Contohnya adalah kepercayaan religious, bahasa, dan nilai-nilai. Kedua, adalah system social. Sistem social adalah interaksi antara dua individu atau lebih individu di dalam suatu lingkungan tertentu meliputi pula interaksi antara kelompok-kelompok, institusi-institusi, masyarakat-masyarakat dan organisasi-organisasi internasional. Ketiga, adalah system kepribadian. Sistem kepribadian ini dipahami bahwa kesatuan yang paling dasar dari unit ini ialah individu yang merupakan actor atau pelaku. Pusat perhatiannya dalam analisa ini ialah kebutuhan-kebutuhan, motif,-motif dan sikap-sikap seperti motivasi untuk mendapt kepuasan atau keuntungan. Sistem yang terakhir adalah system organism atau aspek biologis dari manusia atau aspek fisik dari manusia. Disamping arti tersebut, arti fisik ini lingkungan fisik dimana manusia itu hidup.
Untuk mempermudah analisa solusi problema korupsi, maka penggunaan konsep system tindakan Talccot Parson bisa dipergunakan. Penggunaan system tindakan sebagai solusi dari problematika korupsi, ini membukakan kita bahwa penuntasan korupsi haruslah dilihat secara sistemik tidak dilihat dari satu sisi saja. Sebab system tindakan sebagai solusi diibaratkan suatu rangkaian system yang satu sama lain berkaitan permasalahannya dan harus diperhatikan secara menyeluruh. Dengan demikian solusi problematika korupsi dengan menggunakan system tindakan dilihat sebagai berikut:
Pertama, dalam system budaya ini diperhatikan adalah kepercayaan religious, dan nilai-nilai. Tindakan korupsi yang begitu merugikan jelas ini bertentangan dengan fitrah manusia dan nilai-nilai agama manapun di dunia ini. Pelaku korupsi jelaslah orang-orang yang jauh dari nilai-nilai religi atau sama sekali tidak paham terhadap nilai-nilai religi atau kepercayaan. Maka peran system budaya ini sebagai solusi, haruslah ditranformasikan atau dipahamkan kepada para birokrat public melalui berbagai pelatihan-pelatihan, seminar, maupun pengajian-pengajian yang mengajarkan nilai-nilai religi. Konteks nilai dalam system budaya ini juga termasuk didalamnya adalah nilai-nilai hukum atau ganjaran hukuman bagi pelaku korupsi atau lebih dikenal dengan koruptor. Suatu hal yang patut bangsa Indonesia contoh dari Negara China dalam buku “Cermin dari China” (2006), bahwa hukuman yang dijatuhkan bagi para koruptor adalah hukuman mati. Hal ini memberikan efek jera dan bersifat prefentif bagi yang lainnya, sehingga orang yang akan korupsi akan berpikir dua kali. Inilah yang belum bisa dilakukan di Indonesia berupa pemberian hukuman mati bagi para koruptor. Nilai-nilai hukum seperti itulah yang seharusnya dipertegas lagi di Indonesia ini.
Kedua, dalam system social yang paling dasar adalah interaksi berdasarkan peran baik secara individu maupun kelompok. Termasuk didalamnnya peran masing masing-masing lembaga-lembaga pemerintahan, terutama lembaga-lembaga pengawas pemantau pemerintahan. Dalam hal ini, sebuah lembaga pengawas pemerintahan baik itu berupa lembaga bentukan pemerintah ataupu masyarakat haruslah melakukan pengawasan dan tindakan tanpa pandang bulu dalam memeriksa kasus-kasus korupsi. Peran social kelompok atau institusi yang objektif dan tegaslah yang harus ada, agar tidak menjamurnya prilaku-prilaku koruptif di berbagai institusi-institusi pemerintahan. Artinya peran intitusi pengawasan haruslah berperan secara maksilmal tanpa pandang bulu.
Ketiga, dalam system kepribadian yang paling dasar dari unit ini adalah individu yang merupakan actor atau pelaku. Pusat perhatiannya dalam analisa ini ialah kebutuhan-kebutuhan, motif,-motif dan sikap-sikap seperti motivasi untuk mendapt kepuasan atau keuntungan. Terkait dengan tindakan korupsi yang dilakukan para individu dalam hal ini para birokrat public, masalah motif mengapa mereka melakukan korupsi, atas dasar apa mereka melakukan tindakan korupsi haruslah dikaji secara komprehensif oleh pemerintah, sehingga pemerintah mengetahui motif-motifnya dan bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk dijadikan sebagai bahan antisipasi meminimalisir korupsi ke depannya.
Keempat, dalam system organism atau aspek biologis manusia dalam hal ini adalah lingkungan dimana manusia secara fisik itu hidup, sangat mempengaruhi sekali terhadap pemikiran dan prilakunya masing-masing. Terkait dengan tindakan korupsi di berbagai lembaga Negara. Maka dari itu, salah satu solusi terkait dengan system organisme tersebut haruslah dibuat sebuah suasana atau lingkungan yang bersih dari korupsi melalui proses tranparansi (Anggaran beserta Dana yang dihabiskan) lembaga-lembaga Negara tersebut. Agar supaya masyarakat ataupun lembaga pengawas Negara dapat bersama-sama untuk menciptakan dan mengawasi jalannya pemerintahan. Wallahu’ alam
http://indoboclub.com/?ref=dzakir
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H