Romantisme Sumpah Pemuda yang sarat akan begitu banyak cerita mengenai sebuah persatuan serta kebhinekaan tanpa secuil kepentingan apapun, kecuali kepentingan sebuah bangsa pedamba kebangkitan dari keterpurukan sepertinya hanya akan menjadi sekadar romantisme usang belaka.
Apabila meninjau tiap butir Sumpah Pemuda, pengingatan kembali akan eksistensi tanah kelahiran menjadi reminder sederhana dalam krisis identitas yang dihadapi pemuda kala itu. Semangat kebangsaan dalam merajut asa perubahan sebuah bangsa menguatkan kemauan masing-masing individu dalam menghadapi sebuah konflik batin antara kemahsyuran Eropa dan nasionalisme Indonesia. Semangat persatuan saah satunya dibangun melalui bahasa—sebuah alat komunikasi pemersatu. Mengenyampingkan gengsi sebuah bahasa Eropa seperti Belanda dan Inggris. Atau mengalah pada semangat kedaerahan seperti Bahasa Jawa atau Melayu. Bahasa Indonesia sendiri hadir sebagai pemersatu awal yang merepresentasikan persatuan demi lepas dari belenggu Belanda.
Tapi dalam hemat saya, realisme Sumpah Pemuda tetaplah sebuah hal yang begitu realitis, semua nya menyangkut tentang jati diri, namun jati diri bangsa akan selamanya bergeser dan bergerak dalam dinamika zaman. Dalam menghadapi perubahan, diperlukan sebuah pedoman yang jelas dan fundamental. Tetapi setiap pedoman yang berkiblat pada publik berangkat dari pedoman pribadi, dan saya kira pedoman pribadi bersumber pada individu itu sendiri. Dan itu adalah tugas kita, tugas bangsa untuk mampu menjadi—dan mendidik individu-individu dengan pedoman pribadi yang dibutuhkan bangsa ini.
Bangsa ini butuh jati diri—jati diri yang utuh, jati diri penuh toleransi dan memandang untuk jauh maju kedepan. Saya kira bangsa ini belum bisa berpindah pada kepentingan lama—kepentingan atas golongan. Dulu Jong Java ada untuk Jawa, Jong Batak untuk Batak dan Jong-Jong lainnya untuk daerahnya, relevankah itu semua sekarang? Tentu sudah tidak, budaya daerah telah secara perlahan tergerus asimilasi dan akulturasi sehingga memudar kepentingannya. Tapi bagaimana dengan kepentingan agama, toh dari dulu sudah ada? Problematika ini sendiri memunculkan kompleksitas baru, karena memang dasar manusia—terutama manusia-manusia Indonesia bersumber dari agama.
Bangsa ini tidak butuh moral—bangsa ini butuh penyelesaian. Toh anak-anak miskin di jalanan itu butuh sesuap nasi, bukan sesuap moral. Memilih lepas dari paradigma umum bahwa pemuda dewasa ini sendiri dalam sebuah situasi akan degradasi moral, saya sendiri setuju pada apa yang Wahib katakan, “moral adalah produk dari sebuah sebab”. Moral berangkat dari pandangan umum masyarakat berbentuk norma dan cita-cita. Tapi apakah arti sebuah cita-cita tanpa sebuah perwujudan akan cita-cita itu sendiri? Yang dibutuhkan sekarang sudah bukanlah norma dan cita-cita, yang dibutuhkan sekarang adalah realisasi akan cita-cita.
Bangsa ini perlahan mendekati apatisme—bukan apatis layaknya sebuah individualisme yang tidak peka dan cenderung egois. Apatisme yang ada bahkan lebih primitif, meninggalkan bahkan mengobrak-abrik kepentingan lain demi kepentingan seglintir orang. Tidak, mereka begitu tahu dan mereka juga peduli. Mereka tentu harus tahu karena ingin meninggikan kepentingan mereka. Mereka tentu harus peduli karena ingin merusak lantas mengecewakan.
Bangsa ini perlahan meninggalkan pluralitas—menanggalkan perbedaan demi sebuah persatuan tunggal pembabat keberagaman. Persatuan dimana tiada pandangan berbeda dalam kebebasan berpikir dan berpendapat dapat diutarakan dan berkembang. Kita seringkali terpaku pada perspektif klasik hitam-putih, mengkotak-kotakkan sebuah perihal, memberikan sekat pembeda yang ekstrim pada sebuah perihal. Padahal justru adanya pluralitas itu sendiri mampu menambah adanya warna dalam berpikir dan memandang, bisa saja itu hijau, kuning, atau bahkan nila sekalipun.
Saya kira bangsa ini mendambakan para pemuda pemikir—pemikir sekaligus penyelesai, bukan sekadar pemikir teoritis tanpa usaha pembaharuan. Bangsa ini butuh pemikir-pemikir baru setelah Soekarno dengan kecerdasan serta keberingasannya menghancurkan Belanda dan Jepang. Setelah Gie dengan idealismenya menentang Orde Lama yang dinilai korup dan tidak humanis. Setelah Munir yang harus rela mati diracun di pesawat di perjalanannya ke Belanda dan hingga kini TPF nya hilang ditelan bumi.
Apakah manusia besar pembawa perubahan harus ada ketika bangsa dilanda kesengsaraan terlebih dahulu?
Menteng Dalam, 28 Oktober 2016
Memperingati 88 tahun Sumpah Pemuda 1928.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H